Ingatan Kecil Tentang 3,5 th Lalu
Isna Wardati Handayani
13 juli 2019,
ya,,, sejarah dimana aku berhasil menghujani mereka dengan perasaan gagal luar biasa. Hari dimana mereka hancur sehancur-hancurnya, jatuh sedalam-dalamnya. Tak perlu Panah Pasopati seperti Pangeran Arjuna membunuh saudaranya, Karna, juga tak perlu menjatuhkan bom atom dalam mematikan apa yang ada di depan mata, bahkan aku tak membutuhkan satu bambu runcing-pun untuk membuat mereka terluka sedalam itu. nyatanya hanya dengan mulut tak beradap ini aku dengan tak sengaja membuat mereka seterpuruk tiga setengah tahun lalu.
“Bun,,, aku pengen penerbangan, bunda sendiri yang bilang dulu ayah ambil kedokteran atas kemauannya sendiri” kataku menggebu, selalu saja begitu hanya masalah ingin masuk jurusan penerbangan saja bunda selalu jadi penentang terkeras atas apa yang ku kehendaki. “apa kabar dengan bunda? Bunda juga ambil hukum karena bunda suka dunia politik,buda pilih sendiri apa yang ingin bunda ambil dulu, giliran aku, hah” kubuang nafasku kasar, tepat didepan bunda aku bicara dengan intonasi setinggi itu. “aku hanya ingin masuk penerbangan, bun. Apa salahnya, masalah uang? Aku yakin ayah sama bunda sanggup biayain aku sampai lulus, toh biayanya ngak semahal masuk kedokteran kok. aku punya cita cita sendiri , aku_”
PLAK...
Panas, hal pertama yang aku rasakan setelah telapak tangan itu mendarat sempurna di wajah bagian kiriku. Bukan lagi kutangkap bunda dalam retina ini, melainkan ayah telah berdiri dengan kedua tangannya yang masing-masing mengepal disisi kanan kirinya, mata yang menatap nyalang dengan deru nafas amat berat menghadap kearah ku
“Puas!” bentakan itu adalah pertanda bahwa amarahnya tengah membuncah, tak terima atas perlakuan sang putra terhadap bundanya sendiri
“Puas kamu, sudah membuat istriku mengeluarkan air mata, lihat dia menangis karenamu puas sudah menghancurkan kami, kami mendidik bukan untuk dihardik, kami hanya orang tua yang memimpikan punya anak dengan moral terdidik, jika tak mau diatur pergi!”
Hembusan berat itu tertangkap pendengaran ku, baru kusadari saat ayah berbalik dan merengkuh tubuh wanita parubaya yang kini tengah berderai air mata, menuntun bunda masuk lebih dalam ke rumah, baru satu langkah kulihat bunda meremat lengan sang suami seraya menghentikan langkah, berbalik dan tak kusangka melontarkan kata-kata lembut namun terasa mennyayat hati
"Pergilah nak,,, kejar mimpimu, ingat, jika sudah tercapai, saat bertugas fokuslah, jika lelah istirahat dulu ya, tidur mu dijaga, makannya juga, kami melepasmu nak, maaf tadi ibu sempat melarang mu," Masih dengan linangan air di pipinya, ia menyematkan senyum disetiap lontarkan kata-kata penggerak jiwa, berbalik lalu menggandeng lengan ayah, kulihat bahu itu bergetar, disertai isakkan kecil yang kala itu kian terdengar nyaring. bunda meneruskan kalimatnya,,,
"Bunda cuma tidak ingin putra satu-satunya bunda pergi dalam tragedi yang sama, kecelakaan pesawat 8 tahun lalu sudah merenggut nyawa adik bungsu bunda nak, maaf maafkan bunda sekali lagi, ayo mas" Penutup dengan ajakan kepada sang suami untuk segera meninggalkan ruang keluarga, ternyata se-sesak ini melihat hati orang yang kita cintai remuk akibat dari mulut penentang sepertiku. Hingga punggung mereka hilang ditelan pembatas ruangan, aku melihat map coklat muda tergeletak diambang pintu ruang yang ku tempati, ya aku ingat, itu map yang sempat dbawa ayahku sebelum ia melemparkannya setelah menamparku tadi, Buru-buru ku dekati barang itu,
'RADEN' satu kata yang tertulis dibagian depan map dapat kubaca degan jelas, itu adalah nama ku, dadaku bergemuruh, tak tau kenapa hanya dengan hanya membaca bagian depannya saja jantungku seakan ingin menerobos keluar dari sarangnya, 'Tuhan,,, ada apa ini'
Tangan gemetaran dan detak jantung yang kian bertambah kencang, ku beranikan membuka map untuk menilik isinya.
Hanya ada dua kertas di dalamnya, kertas pertama, uju raku tidak tau itu membahas tentang apa, kulewati dan segera membaca kertas yang ada di baliknya
DEG
‘Surat Perjanjian Pernyataan Penyerahan anak’
‘Tuhan apa lagi ini’, tabir yang baru ku ketahui seolah mempermainkan apapun menyangkut duniaku, tangan ini tak mampu lagi menggenggam sehelai kertas pun, nama ayah dan bunda serta tanda tangan entah milik siapa yang menjadi penguat bahwa aku memang hanya seorang pendatang yang tak tau apa-apa. Kala itu dimana katanya aku dikatakan lahir ke-dunia, kudapati sepucuk surat yang menyatakan bahwa aku bukan berasal dari rahim yang selama 18 tahun ini kusebut ia sebagai bunda. Kala itu pula adalah awal dimana aku berikrar untuk kebaikan, ‘tahun-tahun berikutnya aku bukan lagi anak pembangkang seperti aku di tiga setengah tahun lalu, awal dimana aku membuang jauh-jauh sifat tak beradap yang sialnya pernah aku miliki dulu, orang tua adalah nomor satu dari segalanya,kujanjikan mereka tak lagi sakit karna mulut ataupun tingkahlaku ku’
Entah tetes keberapa yang telah turun melewatiku, aku tak membermasalahkannya. Segera membangunkan diri aku berlari mencari dua malaikat ku sampai akhir hayat nanti, tanpa mengetuk pintu kamar didepanku aku langsung menerobos masuk ke dalam, aku tau memasuki kamar orang tua tanpa seijin pemiliknya adalah tindakan tak sopan. Sekarang yang ada dikepalaku bukan tentang itu, melainkan aku harus segera memintamaaf atas semua yang telah terjadi. Kuhampiti dua orang paru baya yang kala itu tengah duduk ditepian ranjang, aku bertekuk lutut di depan mereka, dengan kata maaf yang tak henti-hentinya keluar dari bibirku dan sebuah janji untuk meninggalkan mimpi memasuki jurusan penerbangan, bukankah mimpi bisa dibangun ulang? Isak tangis semakin terdengar hebar disetiap sudut ruangan kala bunda memelukku erat, merengkuh tubuhku yang tak lagi ada daya hanya untuk sekedar bangkit dari lantai dingin itu,
“berjanjilah nak, jangan tinggalkan kami, bunda hanya takut orang yang bunda sayang pergi, bunda sama ayah hanya punya kamu Raden” aku mengangguk cepat diiringi tangan kekar ayah yang menuntunku dan bunda agar sama-sama duduk ditepian tempat tidur. Ingatan itu tak pernah hilang dari benakku, bayang-bayang seberapa sayangnya ayah dan bunda kepadaku telah menempel didadaku, kini dengan hanya menempuk tiga setengah tahun aku telah menyandang gelar seperti bunda, Raden singsagama S.H. Aku sekarang bukanlah aku di tiga setengah tahun lalu,,,
Ayah,Bunda percayalah aku sayang kalian, terimakasih
By: Handayani Isna Wardati