PRASASTI KEHIDUPAN
Karya: Majda Prawiranegara
Dokter Luna mengulaskan senyum manisnya kepadaku, aku merasa beruntung karena kehadirannya telah sedikit mengurangi rasa cemas dalam diriku. Setelah menerima selembar kertas hasil pemeriksaan hari ini akupun keluar dan pergi dari rumah sakit ini. Kini aku berdiri di depan zebra croas, garis hitam putih itu mengingatkanku pada suatu kejadian, yang sialnya kejadian itu adalah awal dari kesengsaraan yang aku tanggung hingga kini.
Aku berhasil mendapatkan taxi setelah lama menunggu di trotoar, tidak lama, hannya butuh waktu tiga puluh menit untuk kami sampai di Yayasan Mental Healt, setelah mendapatkan ongkos mobil warna biru itu pergi meninggalkan perkarangan Yayasan. Bersamaan dengan itu sekelompok anak berlarian dan memelukku secara bersamaan, kebahagiaan mereka tersalur menjadi kekuatan dalam diriku yang bias membuatku bertahan hingga saat ini.
“kak willy bagaimana kabarnya?” tannya seorang anak yang menjadi maknae di antara mereka semua.
Aku tersenyum, “ kakak selalu seneng selama biasa bertemu dan bermain dengan kalian”.
“kak willy sudah datang” teriak seorang wanita yang keluar dari dalam, wanita cantik dengan dres bunga-bunga warna coklat Namanya Miraa, ketua Yayasan Mental Healt, umurnya 32 tahun dan sekarang dia berprofesi sebagai psekiater di sebuah rumah sakit. Sifatnya yang ramah, sabar, baik hati dan juga keibuan membuatnya terpilih untuk mendapat kepercayaan mengurus Yayasan yang sudah berdiri sekitar dua puluh tahun ini, dan Sudah tuju tahun lamanya aku mendidikasikan diri di Yayasan ini.
Yayasan ini didirikan sebagai wadah atau rumah dari anak-anak yang memiliki ganguan pada mental atau psikisnya, anak-anak yang memiliki riwayat hidup menyakitkan, kehidupan keras yang tidak selayaknya didapatkan oleh seorang anak.
“Selamat pagi teman-teman,” sapaku kepada mereka semua.
Kami duduk membentuk lingkaran, saat asik memperhatikan wajah mereka ada satu anak yang asing dimataku, sepertinya dia anak baru, korban baru dari kehidupan.
“hai siapa namamu?, aku tidak pernah melihatmu sebelumnya”, kami saling melempar pandangan, bisa ku rasakan tatapan sendu darinya.
“Namanya jeno kak, kami biasa memanggilnya jen” jawab salah satu anak
“wow… keren sekali, aku suka namamu, baik teman-teman berarti ini saatnya jeno berkenalan dengan kita semua sebagai tanda bahwa dia telah bergabung dengan kita” ucapku banjang lebar, “talia bisa kau contohkan bagaiamana cara berkenlan dengan benar!”
Talia berdiri dan mulai memberi contoh “hai semua, perkenalkan namaku talia roberti, usiaku lima belas tahun, aku mengidap Anxiety Disorder” semua orang memberikan tepuk tangan kepada Talia sebagai bentuk penghargaan.
“Terimakasih Talia, Jeno sekarang giliranmu!”.
Semua mata tertuju pada jeno namun anak itu tidak memberikan reaksi apapun, padahal kami sudah menunggu.
Akan ku panggil sekali lagi “Jeno!”
“AKU TIDAK MAU MELAKUKANNYA” dia malah menolak dengan suara tinggi, “KENAPA AKU HARUS MELAKUKAN ITU,KAU INGIN MENYIKSAKU DENGAN PENGATAKAN KEKURANGANKU PADA SEMUA ORANG” aku tidak bermaksud seperti itu, perkataan Jeno membuatku sedih dan merasa bersalah.
Selepas itu Jeno pergi meninggalkan kami semua, karena tidak baik meninggalkan Jeno sendiri di situasi seperti ini aku pun mengejarnya.
Anak malang itu duduk sendirian di taman menenggelamkan wajahnya diantara dua lutut, kemudian aku mengambil tempat di sampingnya.
“ahh… kak willy minta maaf karena kau merasa tidak nyaman dengan situasi tadi, tapi kau tenang saja ini wajar untuk orang baru sepertimu, suatu hari nanti saat kita sudah dekat aku yakin kau tidak akan berhenti bicara seperti Talia”
“TIDAK, kenapa kau mengikutiku dan kenapa kau malah menghasutku, aku tidak suka situasi ini tidak suka tempat ini jadi berhentilan untuk terus bicara” rentetan kaliamat yang Jeno keluarkan membuatku semakin yakin kalau dia masih sangat dini dengan kondisi ini, tapi aku tidak akan menyerah.
“dulu aku juga sama sepertimu” saat aku mulai berbicara jeno malah menutup telingan dengan kedua tangannya, namun aku terus melanjutkannya “tidak terima dengan keadaan yang menimpaku, tapi aku tidak punya pilihan lain toh aku juga takut dengan rasa sakit saat nyawa tercabut. Hari ini aku datang ke dokter untuk melakukan pemeriksaan prihal Bipolar dan Psikpotik menghipnotis Jeno dengan cerita hidupku.
“Bipolar itu penyakit yang disebabkan oleh depresi berat dan trauma akan sebuah kejadian, orang dengan Bipolar akan mengalami perubahan sikap dalam rentan waktu yang lama, kadang saat mereka merasa sedih bisa sampai bunuh diri”
Jeno membuka lebar mulutnya “Bunuh diri, apa kau pernah mencoba melakukannya?”
“sekali saat langit dan bumi seakan menhimpitku dan membuatku tidak bisa bernafas, namun setelah itu aku sadar tuhan ingin aku terus hidup, buktinnya aku dipertemukan dengan anak-anak manis seperti kalian, kau mau tahu cerita keren apa yang sudah aku lewati?”
“katakana! Aku ingin mendengarnya”
“ sini lebih dekat!” jeno menggeser duduknya lebih dekat denganku, kemudia tanganku bergerak mengangkat celana jens yang menutupi kaki kiriku, Jeno terkejut saat melihat kaki palsu yang terpasang disanah.
“apa kakimu diamputasi” aku mengangguk.
“keren kan aku bisa bertahan hidup dengan satu kaki, bahkan aku lebih kuat dari spederman dan capten America”
“kenapa dia harus dihilangkan?”
“aku mengalami kecelakaan saat usiaku Sembilan tahun, kakiku harus diamputasi atau aku tidak akan selamat, sejak saat itu aku mengalami depresi ditambah hubungan ibu dan ayah tiriku yang tidak harmonis, dari segala sisi aku dihancurkan jen, saat itulah aku mencoba bunuh diri namun aku malah selamat hehe… lucu sekali dunia ini”
“dunia pasti memiliki rencana yang indah untukmu, mangkanya kau masih bisa bertahan” ucap jen tiba-tiba menjadi biaksana.
“kau anak yang pintar” pujiku sambal mengusap surainya, “lalu apa yang terjadi padamu, sekarang waktumu untuk bercerita” aku harap jen mau untuk berbagi ceritanya kali ini.
“keluargaku dibantai satu bulan yang lalu, ayah, ibu, kakak, dan kakek nenekku mereka semua meninggal, aku jadi merasa bersalah karena hidup sendiri di sini, mengapa aku tidak ikut dengan mereka saja” tangis jen langsung pecah mengingat hal tragis yang menimpanya, aku sendiri juga tidak menyangka anak sekecil dia harus mengalami ini.
“jangan di lanjutkan, kau akan baik-baik saja disini” kudekap tubuhnya menyalurkan ketenangan yang bisa kuberikan “perlu kau tahu jen tempat ini di dirikan bukan dengan tujuan ingin mengadu nasib kalian, tapi kami ingin kalian menjadi lebih baik dan bahagia dalam hidup, disini penderita sakit mental tidak merasa sendiri dan kesepian, percayalah kita akan menjagamu”.
Aku tahu aku tidak pernah sendiri, sesungguhnya rasa sakit dan ujian hidup adalah teman yang sebenarnya awalnya mereka memberikan rasa sakit tapi mereka juga yang mengajarkan kita banyak hal tentang dunia dan manusia-manusianya yang berharga.