Aku dan Kegilaan
Cerpen Karya: Alan Maulana
Tuhan tak
pernah gagal menciptakan manusia. Aku bangga bisa dilahirkannya ke bumi,
ditakdirkan punya ayah dan ibu yang keren. Meskipun cara didik mereka kepadaku
cenderung otoriter, tapi aku tetap memahami apa yang mereka kehendaki. Aku
tahu, pasti semua yang mereka inginkan itu karena takut masa depan anaknya
tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Aku
memiliki minat lebih dalam ilmu teknik mesin dan fisika. Aku memiliki mimpi
untuk membuat sebuah mobil katak yang bisa melompat, berjalan di tembok
gedung pencakar langit seperti cicak. Demi mewujudkan hal tersebut aku mulai
merancang kerangka mesin serta melakukan eksperimen ilmiah. Eksperimenku yang
aneh membuat aku jadi dikurung oleh ayah dan ibu di dalam kamar. Aku dianggap
sudah kena gangguan jiwa serta tidak diperkenankan lagi untuk sekolah.
Awal
mula ayah dan ibu mengira aku terkena gangguan jiwa mungkin ketika aku sering
memain-mainkan kodok serta mencari rongsokan sebagai bahan pengamatan. Setiap
hari kuamati kodok itu, kuhitung berapa kecepatan ia melompat setiap kalinya.
Kemudian aku akurasikan dengan mesin yang kubuat. Selain kodok dan bahan
rongsokan, aku juga meneliti spatuale, bantalan perekat pada cicak sebagai
acuanku dalam pembuatan mobil.
Aku
berencana membuat mobil yang bisa melompat dan berjalan di dinding gedung
pencakar langit. Tapi impianku ini yang malah membuat kedua orangtuaku malu
memiliki anak sepertiku. Mereka mungkin malu ketika melihatku mencari barang
bekas di tempat sampah untuk kujadikan sebagai bahan eksperimen. Ayah dan ibu
malu ketika aku diomongkan oleh tetangga. Mereka menyelaku yang sebagai seorang pelajar yang rajin sekolah, tapi hobinya malah mencari barang bekas.
Ayah dan ibuku menganggap ada masalah dalam diriku sehingga aku dipaksa untuk
mau dibawa ke psikolog.
“Martin, ini demi kebaikan kamu. Mau ya, ke
psikolog?” tanya ibu, ketika aku pulang dari mencari bahan eksperimen.
“Sampai hati ayah dan ibu menganggapku
sudah kena gangguan jiwa. Anakmu ini masih normal, Bu! Martin hanya mau
menunjukkan kalau Martin bisa membuat mobil sendiri” jawabku.
“Kalau hanya mobil-mobilan ayah bisa belikan, Nak.
Kamu mau jenis apa, Alphard? BMW? Atau apa? Bicaralah. Tapi tolong hentikan
perbuatan konyolmu ini. Selama ini ayah tidak pernah tidak menuruti
keinginanmu. Tapi, tolong, janganlah kamu seperti ini. Diberi mudah malah minta
sulit!”
“Ayah, aku hanya ingin berkarya”
“Berkarya dalam kegilaan maksudmu?”
Beberapa
kali sudah aku jelaskan apa sebenarnya yang ingin kuperbuat. Tetapi kedua
orangtuaku tetap saja tidak mengerti.
Esoknya setelah kejadian tersebut ayahku malah memberiku sebuah brosur
pendaftaran Akademi Militer. Kutolak karena aku tak mau jadi tentara. Cita-citaku
ingin jadi ilmuan besar, tapi ayah marah besar ketika itu. Kejadian itulah yang
kemudian membuat mereka memaksaku untuk dibawa ke psikolog. Mereka menganggap
ada yang tak beres dari pola berpikirku. Ayah dan ibuku kemudian mengikatku
secara paksa ketika aku tertidur. Hal ini yang kemudian membuatku memutuskan
untuk lebih baik pura-pura gila saja.
Mula-mula
kuperlihatkan kelaminku saat aku diperiksa oleh dokter. Sangat biadab memang,
tapi tidak ada cara lain yang menurutku lebih meyakinkan. Dokter yang
memeriksaku terkejut, aku langsung divonis benar-benar gila. Setelah dinyatakan
benar-benar gila, kuputuskan untuk berlari pergi meninggalkan mereka semua.
Kupakai kembali celanaku, pergi menuju tempat rahasiaku menyimpan tabungan.
Tabungan
itu rencananya akan kupakai nanti sebagai biaya masuk kuliah. Akan tetapi
semuanya sudah jelas. Kedua orangtuaku tidak akan mungkin menyetujui kalau aku
memilih program studi yang tidak sesuai dengan apa yang dikehendakinya.
Kuputuskan saja sebagian dari tabunganku kubelihan buku-buku pelajaran secara
diam-diam. Aku berhasil membeli 10.000 buku dan sebagiannya lagi kubelikan
kerangka mesin untuk membuat mobil.
Awalnya,
aku memutuskan untuk hidup di jalanan, akan tetapi karena ayah dan ibu
memaksaku untuk pulang, aku tidak melawan. Di rumah aku menyusun skenario
mengamuk layaknya orang gila sungguhan. Merasa ketakutan, kedua orangtuaku
mengurungku di kamar tidurku yang sudah berubah jadi gudang buku.
Kamarku
terletak di lantai bawah, dengan panjang 13 meter dengan lebar 14 meter. Selama
2 tahun aku dikurung di sana, dengan segudang buku yang kubeli tanpa
sepengetahuan ayah dan ibu. Mereka hanya tahu tiba-tiba kamarku sudah dipenuhi
gudang buku. Setiap hari aku menjelajahi dunia meski dikurung. Dengan membaca
novel dan karya ilmiah, menjadikan aku seolah bebas dan memiliki kehidupan
sendiri. Aku jadi lebih leluasa menyiapkan eksperimen ilmiahku.
Ayah
dan ibu takut kepadaku, mereka berdua paling melihatku kalau mau mengantar
makanan. Itu pun hanya di depan pintu karena khawatir aku menyerang. Memang
meyedihkan berpura-pura gila. Sebenarnya aku rindu sekali dunia luar, berkumpul
dan bicara dengan kedua orang tuaku, akan tetapi itu semua mustahil kulakukan.
Mereka berdua tidak mungin memahami apa yang ingin kulalui ini.
Keseharianku
hanya membaca dan menatap luar rumah dari balik jendela yang disegel oleh balok
kayu. Terdapat sedikit celah di jendela untuk aku bisa menatap ke luar ruangan.
Sebenarnya, bisa saja aku keluar rumah dengan membuka semua segel rumahku
dengan besi dan kunci inggris yang ada di dalam kamarku. Alat-alat bengkel
tentunya selalu aku gunakan untuk membantu pekerjaan merakit mobil katak. Tapi,
sekali lagi aku katakan aku sedang pura-pura gila, pastilah berita kegilaanku
sudah tersebar dari mulut ke mulut tetangga. Mereka semua pasti takut kepadaku
kalau aku berkeliaran.
Aku
sering melamun tapi tak pernah gelisah. Kuhabiskan sebagian waktuku untuk
membaca, bermain gitar, kadang juga aku senam, kemudian melanjutkan pekerjaan
merakit mobil. Kebiasaan-kebiasaanku yang terkurung di dalam kamar jadi berubah
ketika datang hari itu. Ketika aku melihat dua orang tamu datang ke rumahku.
Orang itu disambut ayah. Satu laki-laki yang usianya sekitar 40 tahun, yang
satu perempuan seusia denganku. Paras cantiknya membuatku ingin memberanikan
diri untuk pergi keluar menemuinya.
Aku
lihat mereka berdua dipersilahkan untuk masuk ke dalam rumah oleh ayah, selepas
itu terdengar suara teriak girang ibuku menyebutkan nama “Dira”. Seolah memberiku kesimpulan kalau nama wanita
cantik ini adalah Dira. Selepas semuanya masuk, hatiku kecewa karena tidak bisa
ikut masuk. Tetapi aku menjadi senang kembali ketika ternyata mereka semua
kemudian mengobrol di sofa teras rumah. Alhasil jadi mudah aku melihat dan
mendengarkan pembicaraan dari mereka semua.
“Kurang lebih usiamu sama dengan Martin,
Dira. Senang sepertinya kalau melihat anakku bisa berkenalan dengan kamu. Kalau
tidak sakit, pasti Martin mau jadi temanmu” ujar ibuku kepada Dira.
“Martin sakit apa memangnya, tante?” tanya
Dira, selepas itu kulihat air mata ibuku menetes.
“Mungkin karena tekanan dari kami, Martin
jadi memiliki gangguan jiwa. Ini memang salah kami yang terlalu otoriter
mendidik Martin. Aku merasa gagal menjadi orang tua. Martin memang masih hidup,
tapi Martin yang dulu sudah mati. Mungkin kalau aku bisa sebentar saja bertemu
dengan jiwanya yang mati itu, meskipun aku ibunya, aku pasti akan bersimpuh
mencium kakinya untuk minta diampuni segala kesalahan” jawab ibu, kulihat ayah
juga menangis mendengar ini.
“Boleh kapan-kapan kami lihat Martin, Bu?”
tanya ayah Dira.
“Dengan senang hati. Tapi harus tetap
hati-hati karena Martin sering mengamuk”
Mendengar
apa yang ibuku katakan, tak terasa air mataku menetes. Hari-hari berikutnya
Dira dan ayahnya jadi sering main ke rumah. Tetapi mereka masih tidak berani
untuk melihat Martin si gila ini. Hingga pada akhirnya, bertepatan dengan
rampungnya mobil rakitanku, Dira dan
ayahnya berani menengokku ketika aku kebetulan sedang menyanikan lagu Soledad
dari Wetslife.
“Maaf, tante. Sebelumnya memang Martin les
musik, les tarik suara atau tidak ya? Kok bisa orang yang mengalami gangguan
kejiwaan bisa tetap hafal kunci gitar?” tanya Dira, di ambang pintu.
“Mungkin yang ia ingat hanya itu, Dira.
Kami juga berusaha agar bisa memulihkan kembali ingatan Martin, tapi itu hal
yang mustahil” ujar ibu, seraya membuka pintu kamarku. Aku berhenti memainkan
lagu ketika pintu terbuka.
Sebelum
mereka datang, sudah kupersiapkan semua apa yang seharusnya mereka lihat. Sebelum
hari di mana Dira memberanikan diri untuk melihatku, aku terlebih dulu
mempersiapkan diri untuk berani menatap matanya secara dekat. Aku jadi lebih
semangat merakit mobil, mandi pagi dan sore, serta membersihkan kamar. Mobil
buatanku selesai sebelum Dira menemuiku. Ketika ayah dan ibuku pergi bekerja,
kucoba menghidupkannya dengan hanya memanaskan. Aku puas ketika mobil ciptaanku
akhirnya bisa menyala. Kutimbun mobilku dengan buku-buku, seluruh pakaianku di
dalam lemari, kemudian kain jarik hitam agar bisa tertutupi. Kamarku meski bersih lantainya tetapi
terlihat tak elok karena gundukan buku, pakaian, dan kain yang menggunung.
“Wah! Tante, Martin banyak sekali bukunya.
Wajahnya juga bersih, tidak seperti orang gila pada umumnya. Dira heran, kok ada
ya penyakit seperti ini?” tanya Dira, matanya terus menatapku. Raut mukaku jadi
merah, membuatku jadi sembunyi di balik gundukan buku, pakaian, dan kain itu.
“Sebelum Martin sakit memang dia orang yang
rajin membaca buku. Ia terkenal pendiam di kelas. Bahkan Martin pernah cerita
kepadaku kalau ada satu gurunya, mengira kalau Martin berpacaran dengan buku”
jawab ibu.
“Wah, aku jadi ingin pinjam bukunya, Tante.
Bagus-bagus! Boleh aku ke sana?” tanya Dira, aku terkejut.
“Boleh, asal tetap hati-hati. Ini, bawa
tongkat pemukul kasti untuk jaga-jaga”
Aku
hanya bisa diam dan senyum-senyum sendiri dibalik gunung tumpukan buku. Setiap
suara langkah kecil dari Dira membuat jantungku goyang dumang.
“Tunggu, tante. Kok di sini bau bensin ya?
Itu ada jerigen bensin juga. Apa memang sengaja ditaruh di sini?” ujar Dira,
batinku berkata ini saatnya!
“Eh! Kami tidak pernah menaruh ini
sebelumnya, biar aku rapikan gundukan barang-barang yang menggunung ini agar
enak dipandang. Semoga Martin tidak menyerang” mendengar itu, aku pura-pura
tidur.
Ibu
dan Dira merapikan satu persatu gundukan buku, kain, dan pakaianku. Satu demi
satu mereka kutip dan simpan kembali ke tempat yang semestinya, sampai akhirnya
ketika badan mobilku terlihat, ibu memeluk aku yang sedang berbaring pura-pura
tertidur.
“Maafkan ibu, Nak. Maafkan ibu! Aku salah
telah meremehkan rencanamu yang sangat jenius ini” ibu menangis seraya
memanggil ayah.
“I love you, Ma” kupeluk ibu dengan air mata dan penuh rasa hormat.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Dira,
aku tersenyum.
“Kekuatan cinta telah membuatku sembuh”
Selepas
itu ibu dan ayah menjelaskan semuanya kepada Dira tentang keinginanku yang
begitu aneh. Kujelaskan pula kepada mereka semua mengapa aku memilih untuk gila
saja. Karena menurutku, kita semua ini pada hakikatnya adalah orang yang gila.
Hanya beda profesi saja. Ada yang profesinya gila harta, gila jabatan, gila
cinta, bahkan gila ilmu juga ada.