Dijodohkan dengan Gus Muda
Oleh : Zulfa Faiqoh
Adiba Syakila Falisha, seorang gadis desa yang cantik, pintar juga santri, hidup dalam keluarga petani sederhana. Kehidupan mereka berjalan biasa saja, sampai suatu hari nanti datang kabar yang mengguncang hati Adiba. Ayahnya, Pak Dodi, memutuskan untuk menjodohkan Adiba dengan Gus Agam, putra dari Kiyai Pondok Pesantren Al- Iman di Jawa Tengah. Ayahnya sudah memiliki perjanjian dengan Ayah dari Gus Agam, Kiyai Hasan, yang merupakan sahabat karib dari kecil untuk menjodohkan putra putri mereka jika waktunya sudah tepat.
Adiba terkejut. Ia belum pernah bertemu dengan Gus Agam, dan selama ini ia selalu berpikir bahwa ia akan menikah dengan pilihan hatinya sendiri. Namun, Adiba tahu betul bahwa ayahnya selalu membuat keputusan terbaik untuk keluarga.
Di sisi lain, Gus Agam adalah seorang pemuda yang tampan dan berbudi pekerti luhur serta menjadi incaran para santri-santrinya. Sebagai putra Kyai, ia memiliki ilmu agama yang luas dan selalu berusaha menjadi teladan bagi masyarakat sekitar. Namun, mendengar kabar perjodohan ini, Gus Agam juga merasa terkejut.
Pertemuan pertama mereka berlangsung di rumah Kyai Hasan, di mana mereka saling bertukar pandang dan saling membaca ekspresi. Adiba merasa canggung dan tidak tahu harus berbuat apa, sedangkan Gus Agam mencoba untuk menenangkan diri dan bersikap ramah.
Dua bulan berjalan….
Hari-hari berlalu, bulanpun juga berlalu dan mereka berdua mulai mengenal satu sama lain. Mereka belajar untuk menerima dan menghargai perbedaan satu sama lain. Adiba mulai melihat sisi lain dari Gus Agam, sisi yang lembut dan penyayang. Sementara itu, Gus Agam terpesona dengan kecerdasan dan kebaikan hati Adiba.
Saat hari pernikahan tiba, Adiba merasa gugup. Adiba juga tidak bisa menyembunyikan kalau hatinya berdetak begitu kencang. Namun, melihat Gus Azam yang tersenyum padanya, ia merasa tenang. Tanpa disadari pipi Adiba seketika langsung berubah menjadi merah merona. Mereka berdua berjanji untuk saling mendukung dan mencintai satu sama lain, dalam suka maupun duka hingga maut memisahkan.
Setelah menikah, kehidupan mereka berdua berubah. Mereka berdua belajar untuk menjadi pasangan yang baik, saling menghargai, dan saling memahami. Mereka juga berusaha untuk menjadi teladan bagi masyarakat sekitar, menunjukkan bahwa pernikahan bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang komitmen dan tanggung jawab.
Suatu hari, Adiba dan Gus Agam duduk di teras rumah mereka, menikmati senja yang sangat indah. Adiba memandang Gus Agam dan berkata, "Terima kasih, Gus. Karena telah menerima saya dan menjadikan saya bagian dari hidup Anda."
Gus Agam tersenyum dan membalas, "Tidak, Adiba. Saya yang harus berterima kasih. Karena telah menerima perjodohan ini dan membuat hidup saya lebih berarti."
Mereka berdua tersenyum, memandang matahari terbenam, dan merasa bersyukur atas segala hal yang telah terjadi. Mereka tahu bahwa perjodohan ini bukanlah akhir dari cerita mereka, tapi awal dari perjalanan baru yang akan mereka lalui bersama.
Satu tahun kemudian….
Suatu pagi yang cerah, Adiba merasa ada yang berbeda. Ia merasakan gejala yang mengindikasikan bahwa ia sedang hamil. Kemudian dia langsung mengeceknya dengan tespek dan hasilnya positif hamil. Adiba sangat bahagia dan segera memberitahu Gus Agam tentang kabar gembira ini.
Gus Agam tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Ia merasa terharu dan bersyukur atas karunia yang diberikan Allah kepada mereka. Mereka berdua pun segera mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kehadiran sang buah hati.
Bulan-bulan berlalu dengan penuh kebahagiaan dan harapan. Adiba menjalani kehamilannya dengan baik, selalu menjaga kesehatan dan berdoa agar bayi mereka tumbuh sehat dan kuat.
Akhirnya, setalah 9 bulan, tiba saat yang ditunggu-tunggu. Adiba mulai merasakan kontraksi dan mereka segera pergi ke rumah sakit. Gus Agam mendampingi Adiba dengan penuh kepedulian dan kekuatan. Gus Agam terus-menerus memberikan semangat kepada Adiba, mengusap kepala Adiba dengan lembut dan terus berdoa agar persalinannnya berjalan dengan lancar.
Setelah proses persalinan, akhirnya Adiba melahirkan seorang putra yang sehat. Air mata kebahagiaan mengalir di wajah Adiba dan Gus Agam saat mereka melihat wajah mungil sang bayi yang baru lahir. Setelah dibersihkan Gus Agam langsung mengadzani putranya.
Mereka memutuskan untuk memberikan nama Muhammad Naufal Hanafi kepada putra mereka, sebagai ungkapan rasa syukur atas kehadiran buah hatinya. Nama tersebut adalah nama yang diberikan oleh kakeknya, yaitu Kiyai Hasan.
Kehadiran Muhammad membawa kebahagiaan dan keceriaan dalam rumah tangga Adiba dan Gus Agam. Mereka berdua dengan penuh kasih sayang merawat dan mendidik putra mereka sesuai dengan ajaran agama yang mereka anut.
Tiga tahun berlalu..
Setelah sholat maghrib Adiba dan Gus Agam selalu mengajarkan hal-hal yang baik untuk Muhammad. Hal tersebut seperti solat, berwudhu, mengaji, dan doa-doa pendek. Muhammad tumbuh menjadi anak yang cerdas dan berbakti kepada orang tuanya.
Adiba dan Gus Agam merasa sangat bersyukur atas karunia yang diberikan Allah kepada mereka. Mereka menyadari bahwa menjadi orang tua adalah tanggung jawab besar, namun juga merupakan anugerah yang tak ternilai. Ibu sebagai madrasah pertama bagi anaknya dan Ayah adalah kepala sekolahnya.
Setiap hari, mereka berdua mengajarkan nilai-nilai agama kepada Muhammad dan membimbingnya agar menjadi pribadi yang berakhlak mulia. Mereka berharap bahwa Muhammad kelak akan menjadi pemimpin yang baik dan berguna bagi umat.
Kehidupan keluarga Adiba, Gus Agam, dan Muhammad penuh dengan cinta, kebahagiaan, dan keberkahan. Mereka selalu bersyukur atas karunia yang diberikan Allah dan berdoa agar keluarga mereka tetap dalam lindungan-Nya.
"Dijodohkan dengan Gus" bukan hanya cerita tentang perjodohan, tapi juga tentang bagaimana kita menerima dan menghargai perbedaan, dan bagaimana kita berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik. Karena pada akhirnya, cinta bukanlah tentang menemukan orang yang sempurna, tapi tentang bagaimana kita melihat kesempurnaan dalam ketidaksempurnaan.