Buku Yang Tak Pernah Usai
Karya : Alfri Mauzizah
Di sudut kamar yang kosong, Icha menatap layar laptopnya dengan gundah. Sudah berjam-jam ia mencoba menulis baris demi baris kata, namun tak juga ia temukan sebuah kalimat. Sebagai penulis muda, ia sering merasa terjebak dalam kebuntuan kreatif. Namun malam ini, rasanya lebih buruk dari malam-malam sebelumnya.
“Kenapa yaa, aku ga bisa nulis apa-apa?” gumamnya sendiri menatap layar laptop yang masih bersih tanpa sepenggal kata.
Setelah sekian lama termenung, tanpa sengaja pandangannya tertuju pada tumpukan buku-buku tua di rak yang ia warisi dari almarhum neneknya. Matanya terpaku pada satu buku berjilid kulit yang tampak usang termakan zaman. Buku itu tak memiliki judul, hanya tulisan samar dari sampulnya yang hampir tak terbaca. Tanpa pikir panjang Icha membukanya dengan hati-hati.
“Hmm, cerita apa ini?” Batinnya penasaran.
Saat ia membuka buku tersebut isinya adalah naskah tulisan tangan yang belum selesai. Ceritanya tentang seorang gadis yang tersesat di hutan dan mencari jalan pulang, tapi anehnya di halaman terakhir kosong, seolah penulisnya menghilang sebelum menyelesaikannya.
Icha merasa tertantang. Ia mengambil pulpen dan mulai menuliskan akhir cerita itu. Saat ia menuliskan kalimat pertama, tiada angin tiada hujan tiba-tiba lampu di kamarnya berkedip. Angin dingin berhembus dari jendela yang tertutup rapat.
“Pliss lah, perasaan jendelanya ketutup deh,” ucapnya sambil melirik sinis ke arah jendela.
Keesokan harinya, keanehan mulai terjadi. Saat ia bangun, ia menemukan lukisan di dinding kamarnya yang sebelumnya kosong. Lukisan itu menggambarkan hutan gelap, persis seperti yang ia tulis di buku itu.
“Ini nggak mungkin,” bisik Rara, matanya tak percaya. “Masa si aku lagi bermimpi?”
Ia mencoba mengabaikannya, tapi rasa penasaran terus menggerogotinya. Ia kembali membuka buku itu dan menulis lebih banyak.
Semakin ia menulis, semakin banyak kejadian aneh yang terjadi. Suara bisikan di malam hari, bayangan yang bergerak di sudut matanya, dan mimpi-mimpi buruk tentang hutan yang sama. Hal itu sangat menggangu aktifitasnya, bahkan sampai teman-temannya mulai menjauh.
“Icha, kamu kenapa sih akhir-akhir ini kok aneh banget?” tanya Alma sahabatnya, saat mereka bertemu di kafe.
“Aneh gimana?” balas Icha, mencoba bersikap biasa.
“Kamu kayak… nggak fokus. Terus, sering banget melamun. Kenapa sih, ada masalah?”
Icha menghela napas. “Aku nggak tahu, Al. Aku cuma…”
“Cuma apa Cha? Jangan bikin orang penasaran deh” gerutu Alma karena Icha menggantungkan ucapannya.
“Aku kayak nemu sesuatu. Sesuatu yang bikin aku nggak bisa berhenti memikirkannya.”
Alma mengerutkan kening. “Sudah ga usah dipikir dalem-dalem. Jangan sampai kamu keterusan.”
Malam itu, Icha memutuskan untuk menyelesaikan cerita itu sekali untuk selamanya. Ia menulis dengan cepat, mengakhiri kisah gadis itu dengan menemukan jalan pulang. Tapi, saat ia menuliskan titik terakhir, seluruh ruangan terasa bergetar. Buku itu tiba-tiba terbuka lebar, dan cahaya terang memancar dari halamannya.
“Apa-apaan ini?!” teriak Icha, panik.
Tiba-tiba, ia tersedot ke dalam buku itu. Ia terbangun di tengah hutan, persis seperti yang ia tulis. Di depannya, gadis dari cerita itu berdiri, tersenyum sedih.
“Kau harus menyelesaikan ceritaku dengan benar,” bisik gadis itu.
Icha terkejut. “Nenek? Ini… ini kamu?”
Gadis itu mengangguk. “Aku meninggalkan cerita ini sebagai pesan terakhir. Tapi, kau harus menulisnya dengan hati, bukan sekadar kata-kata.”
Setelah kejadian itu, dengan hati-hati Icha menulis ulang akhir cerita, mengungkapkan kebenaran tentang neneknya yang hilang di hutan itu puluhan tahun lalu. Saat ia selesai, ia kembali ke kamarnya. Buku itu kini tertutup rapat, dan keanehan berhenti.
Icha tersenyum. Ia akhirnya mengerti: cerita itu bukan sekadar tulisan, tapi warisan yang harus ia selesaikan dengan hati.
“Terima kasih, Nek,” bisiknya, memeluk buku itu erat. “Aku janji, aku akan menjaganya.”
Dari cerita ini dapat kita tarik kesimpulan, bahwasanya setiap cerita memiliki makna dan tanggungjawab tersendiri. Tokoh utama dalam cerita ini belajar bahwa menulis bukan sekedar merangkai kata-kata, akan tetapi juga tentang bagaimana memahami pesan dan emosi di dalamnya. Selain itu cerita ini juga mengingatkan warisan dari orang terdahulu harus dihargai. Buku tua itu adalah simbol warisan neneknya, dan Icha menyadari bahwa ia harus menyelesaikannya dengan penuh penghormatan. Kebenaran dan ketulusan juga menjadi kunci untuk bisa menyelesaikan cerita ini dengan hati tidak sama halnya dengan menyelesaikan tugas. Cerita ini mengajarkan kita untuk menghargai setiap proses, terutama ketika berhadapan dengan sesuatu yang memiliki nilai sejarah atau emosional yang mendalam.
Purworejo,14 Maret 2025