Oleh : M Ghithrof Danil Barr
‘Agama
adalah Candu’.
Pembaca
yang budiman mungkin tidak asing lagi dengan pernyataan filsuf yang sekaligus dikenal dengan bapak Komunis
tersebut. Kali ini penulis tidak akan mengulas pernyataan tersebut, atau
hal-hal yang berkaitan dengan filsafat maupun agama. Namun, penulis akan
mengaitkan kata ‘candu’ dengan realitas yang terjadi di era digital society
5.0. Kita mulai dari definisi kata candu itu sendiri. Menurut KBBI, kata
‘candu’ memiliki arti sesuatu yang menjadi kegemaran. ‘Candu’ atau ‘kecanduan’
juga bisa diartikan sebuah keadaan yang membuat diri kita sangat ketergantungan
atau ketagihan terhadap sesuatu.
Definisi
kata candu tersebut sebenarnya berasal dari tanaman yang memiliki nama latin papaver
somniferum. Getah kering pahit berwarna cokelat kekuning-kuningan yang
diambil dari tanaman tersebut kemudian diolah menjadi sesuatu yang dinamakan
dengan Candu. Candu mengandung zat aktif yang apabila dikonsumsi akan mengurangi
rasa sakit, merangsang rasa kantuk serta
menimbulkan rasa ketagihan bagi penggunanya.
Awalnya
candu hanya digunakan untuk keperluan medis. Namun, pada tahun 1805, candu
mulai diolah menjadi morfin yang dikenal untuk pertama kalinya menggantikan
candu mentah yang juga dikenal dengan nama opium. Dari candu ini juga dapat
dihasilkan berbagai jenis obat-obatan terlarang lainnya seperti heroin dan
codeine. Candu dapat menimbulkan efek ketergantungan yang sangat tinggi, bahkan
dapat merusak fisik serta mental para penggunanya. Candu versi narkotika ini
mulai diperdagangkan oleh bangsa eropa pada abad 19. Perdagangan itulah yang
nantinya akan memantik Perang Candu antara Inggris dengan Cina.
Pada
awal abad 19, opium dibawa ke daratan China (Tiongkok) oleh para pedagang
Inggris sebagai komoditas pengimbang ekspor teh ke Inggris. Pedagang China saat
itu tidak ingin membeli opium dari Inggris. Kondisi tersebut membuat kongsi
dagang Inggris melakukan penyelundupan opium yang dipanen dari India ke China. Inggris
melakukan penyelundupan candu ke China secara sembunyi-sembunyi. Para pecandu
pada masa itu rela mengeluarkan banyak uang perak untuk mendapatkan candu. China
akhirnya menyita banyak candu dari tangan pedagang Inggris di Guangzhou.
Kemudian, Inggris membawa armadanya secara tiba-tiba dan memulai peperangan.
Perang ini kemudian dikenal dengan Perang Candu. Perang Candu ini berlangsung 2
kali hingga berakhir tahun 1860. Perang dimenangkan oleh pihak Inggris sehingga
dimulai lah penjajahan Inggris di China.
Tidak
hanya Inggris, candu atau opium juga memiliki peran dalam penjajahan Belanda
terhadap Indonesia, khususnya daerah Jawa. Opium pertama kali dibawa oleh
Belanda ke Jawa pada abad ke 16. Di Abad 19, perdagangan opium di Jawa
mengalami peningkatan. Mulai banyak masyarakat Jawa yang mengkonsumsi dan
kecanduan opium. Hal ini dimanfaatkan oleh Belanda yang saat itu sedang
berperang melawan Pangeran Diponegoro dan para pasukannya dalam perang Jawa. Kebetulan
beberapa panglima-panglimanya Diponegoro merupakan pecandu opium. Para panglima
tersebut diiming-imingi harta, jabatan dan tentunya opium secara cuma-cuma
dengan syarat menyerah pada Belanda. Dengan begitu, satu persatu kekuatan
pangeran Diponegoro melemah sampai akhirnya beliau ditangkap dan diasingkan ke
Manado.
Candu
yang bukan candu
Zaman
telah berubah, teknologi semakin berkembang. Kita telah berada di zaman yang
serba digital, kita sangat susah sekali untuk bisa terlepas dari sesuatu yang
bernama gawai atau ponsel. Semua aspek kehidupan kita ada di sana. Lewat gawai,
kita dapat menghubungi orang-orang tercinta, mendengarkan lagu-lagu kesukaan,
menonton film, memesan makanan, mencari tumpangan, bahkan melakukan transaksi
perbankan. Semuanya tinggal kita lakukan hanya dengan menggerakkan jari jemari.
Ponsel
pintar ini sangat memudahkan hidup manusia modern. Namun, sisi gelap dari
teknologi ini tak bisa diremehkan begitu saja. Kita mungkin sudah tidak asing
lagi dengan istilah Brain rot. Brain rot adalah salah satu dampak negatif yang
diakibatkan oleh terlalu sering mengonsumsi konten-konten media sosial, TikTok,
Youtube Short dan sebagainya. Kecanduan konten-konten tersebut dapat
menyebabkan kelelahan mental dan menurunkan kemampuan kita untuk berpikir
kritis. Kita bisa mudah kehilangan fokus pada tugas-tugas penting, dapat
mempengaruhi kesehatan mental dan juga meningkatkan kecemasan dan depresi.
Di
era masyarakat digital 5.0, candu atau opium tidak lagi berfungsi sebagai alat
bagi negara-negara adidaya untuk menaklukkan negara-negara yang mereka kuasai.
Di era modern ini, senjata semakin canggih, dan media sosial dapat dianggap
sebagai ‘candu versi modern’ yang digunakan untuk menguasai kita. Candu ini
bukanlah zat yang dihisap dan memberikan efek euforia. Sebaliknya, candu ini
jauh lebih berbahaya. Selain menciptakan kecanduan, kekacauan sosial juga bisa
muncul dari candu yang sering kita gunakan setiap hari.