Laut Yang Memisahkan Kita
Dengarkanlah kawan aku mau cerita. Ini kisahku. Kisah tentang dia yang bersamaku dulu. Aku bertemu dengannya pada bulan Mei tahun 2019 lalu. Saat itu aku dan dia masih duduk di bangku SMA. Lebih tepatnya SMK. Aku memilih masuk ke SMK karena ingin mengambil jurusan Teknik Komputer Jaringan, entah mengapa aku merasa sangat tertarik pada profesi ayahku yang bekerja sebagai programmer. Itu sebabnya mengapa aku masuk SMK.
Aku tadinya sekolah di Tangerang, karena ayahku dipindahkan untuk bekerja ke Serang, aku jadi ikut dengannya. Dengan orang tuaku. Aku jadi murid baru di salah satu SMK di Serang dan melanjutkan kembali jurusanku yaitu TKJ. Kembali kepada kisah tentang dia yang dulu bersamaku. Namanya unik, seperti nama orang tua zaman dulu. Dia adalah Sukri Bewok, entah mengapa orang tuanya memberi nama itu padahal Sukri sendiri tidak berewok.
Sebenarnya sebelum aku mengenal dan lebih dekat dengan Sukri, aku sudah tahu banyak cerita tentangnya dari teman-temanku. Entah mengapa nama Sukri selalu dijadikan perbincangan. Bahkan namanya selalu memenuhi tembok-tembok pinggir jalan. Entah dia atau siapa yang membuatnya. Nama Sukri selalu ada, ditulis menggunakan pilox bermacam-macam warna. Kata temanku dia adalah seseorang yang berkuasa di sekolah kami. Katanya, Sukri juga sering terlibat tawuran dan hampir membunuh seseorang. Lebih mistisnya lagi, cerita yang aku dapat dari temanku adalah bahwa Sukri mempunyai ilmu kebal senjata. Itu yang membuatnya selalu menang jika diserang oleh sekolah lain. Hal yang tentunya membuatku merasa takut dan awalnya aku mengira-ngira pasti Sukri itu orang yang berdarah dingin, kejam dan suka memalak. Tanpa aku kenal langsung dengannya, aku bisa menyimpulkan hal semacam itu. Entahlah, yang jelas saat itu aku selalu waspada terhadap orang yang namanya Sukri.
Hari itu, saat aku mau berangkat ke sekolah itu adalah hari pertama kalinya aku melihat langsung bagaimana wujud Sukri. Perlu kalian ketahui, aku pergi ke sekolah selalu berjalan kaki. Dari rumahku sampai ke jalan raya, untuk nantinya bisa naik angkot. Kenapa tidak menunggu di rumah saja? Jawabannya adalah, rumahku terlalu pelosok dan tidak masuk di google maps. Hal itu yang membuatku kesulitan untuk memesan gojek ataupun lainnya.
Jalan setapak di desaku yang hanya bisa dilewati oleh motor saja pagi itu sangat sepi. Aku sengaja selalu berangkat pagi-pagi sekali karena tidak mau telat. Rasa takut jelas ada tentunya. Terlebih lagi saat melewati rumah kosong yang menurut mitos warga desaku itu sangat angker sekali. Tepat di depan rumah kosong itu aku mendengar suara bising knalpot motor. Dari suaranya aku bisa menebak kalau itu adalah motor yang selalu dipakai jambret kalau di film-film. Ya, itu adalah motor model RX King. Suara knalpot itu makin dekat, makin jelas dan membuatku jadi menoleh ke belakang untuk lebih waspada. Dan "Brukk!" motor itu menabrak pohon jamblang yang berada tepat di samping rumah kosong. Entah mengapa si pengendara menabraknya, padahal jelas lintasannya sangat jauh. Pohon jamblang berada di pinggir jalan, sedangkan dia ada di tengah jalan aneh.
"Aduh, sial kau Baron. Jangan bunuh aku di jalan, untung aku bisa membuang diri. Coba kalau kamu tidak bisa aku kendalikan. Bisa-bisa aku menabrak kandang bebek Si Agus. Lain lagi ceritanya kalau begitu, bisa-bisa Si Agus menyuruhku untuk ganti rugi. Sialan kau, malah kabur gas" seseorang berseragam SMK itu yang mengendarainya. Aku menghampirinya yang tengah sibuk memaki motornya.
"Hei, apa kamu baik-baik saja?" aku bertanya.
"Biasa, hehe. Motorku ini memang sering kabur gas. Seperti sekarang ini, penglihatanku selalu kabur melihat putih dan manisnya wajahmu," katanya. Gombal. Niatku untuk menolongnya jadi ragu-ragu. Jelas, aku takut saat itu. Biasanya jika laki-laki melontarkan kata-kata gombal, dia akan membuat hal yang merugikan. Seperti di film-film, biasanya penjahat sebelum mau menculik seseorang, dia merayunya dulu.
"Heh, kok cemberut begitu? Tolong bangunkan motorku. Kamu ke sini mau bantu aku kan?" pria itu membuyarkan lamunanku. Aku melamun sejenak, pikiranku selalu jelek kepada pria ini. Entah mengapa.
"Ehh, tidak-tidak" aku berlari entah kenapa. Mungkin karena takut. Pikiranku selalu buruk kepadanya. Pokoknya, aku harus waspada kepadanya.
"Mana yang katanya Pancasila? Percuma kau sekolah jika tidak menanamkan sila kedua. Mana sisi kemanusiaanmu. Aneh, cantik-cantik kok begitu. Melihatku seperti melihat setan saja."
pria itu berteriak, melantunkan kata-kata yang membuat langkahku menjadi terhenti. Sejenak aku menoleh ke belakang, kasihan juga dia. Aku melihatnya tengah sibuk membenarkan tali gas motornya. Entah mengapa saat itu aku berbalik arah, kembali menghampirinya. Seperti ada seseorang yang mendorongku untuk menolongnya. Ada bisikan-bisikan baik yang meyakinkanku kalau dia tidak akan macam-macam.
"Eh, maaf. Tadi itu aku mau coba carikan kunci. Tapi kamu malah memakiku, aku menoleh ke belakang ternyata kamu sudah mempunyai kuncinya," aku berasalan kepadanya tadi berlari untuk mencarikan dia kunci shock, kunci Inggris dan lainnya.
"Oh, tapi mengapa kamu tidak membantu aku membangunkan motor? Kau malah berlari, aneh," pria itu menjawab. Membuatku terkejut.
"Ah, sudahlah. Lupakan itu nona manis. Sekarang, bantu aku mencari oli bekas. Kamu bisa minta ke Si Agus, pemilik kandang bebek itu, di sana. Dia saudaraku. Bilang saja Sukri minta oli bekas."
Apa aku tidak salah dengar? Dia menyebut nama Sukri. Lagi-lagi aku terkejut. Akan tetapi aku tetap menuruti perintahnya, aku sudah terlanjur memilih untuk menolongnya. Aku pergi ke rumah Agus, yang katanya saudaranya itu. Dia baik juga, tanpa basa-basi. Entah mengapa. Tanpa berbicara lagi, dia langsung menyerahkan satu botol oli bekas kepadaku.
"Ini, oli bekasnya. Maaf lama, tadi pemilik rumahnya sibuk memberi makan bebek" aku menyodorkan satu botol oli bekas itu kepada pria itu.
"Oke, ini kita pakai untuk pelumas rantai. Sekarang sudah semuanya kuperbaiki. Untungnya tadi aku sempat ke bengkel untuk membeli tali gas baru. Ayo, sekarang kita pergi ke sekolah. Dilihat dari seragamnya, kau satu sekolah denganku. Benar kan? Kau jurusan TKJ?" pria itu bertanya.
"Iya" jawabku.
"Ayo naik, sudah siang"
Awalnya aku merasa ragu untuk ikut bersamanya. Akan tetapi aku melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 07.30, artinya 30 menit lagi bel masuk kelas berbunyi. Aku memilih untuk ikut tak lain hanya karena takut kesiangan. Motor melaju, entah mengapa hatiku berdebar kencang. Baru kali ini aku dibonceng oleh laki-laki selain ayahku. Terlebih lagi orang ini namanya saja aku belum kenal. Sempat dia menyebut nama Sukri, akan tetapi aku merasa tidak percaya. Aku mengira dia hanya jual nama saja. Aku tidak yakin kalau dia Sukri. Di mana-mana wajah penjahat itu bengis, tapi dia tidak. Tidak ada tanda-tanda dia nakal menurutku. Dia tidak tampan, tapi tidak jelek juga. Parfum yang ia pakai membuatku meleleh. Setiap kali aku melihatnya menoleh ke belakang, entah mengapa aku merasa canggung.
"Hei, kita belum berkenalan. Kau belum tahu namaku, Kan?" dia bertanya kepadaku di atas motor.
"Namaku, Marina" aku berkata dengan nada datar.
"Oh, Marina. Namaku, Sukri. Jurusan Akuntansi. Kelas dua" astaga, lagi-lagi dia menyebut nama Sukri. Aku merasa sangat tidak percaya. Dan jika memang benar itu Sukri, aku merasa sangat takut sekali karena dibonceng oleh seseorang yang ditakuti di sekolah kami.
"Hah, Sukri? Aku tidak percaya kalau kamu Sukri. Kamu Sukri Bewok itu?"
"Iya, Marina. Aku Sukri Bewok. Kenapa kau bisa tahu nama belakangku? Ini, apa kau tidak lihat kartu pelajarku?"
"Oh, iya ternyata kamu Sukri ya. Salam kenal hehe".
Wajahku mendadak menjadi merah. Aku terkejut melihat sebuah gantungan kunci yang melekat di tas pria itu. Gantungan kuncinya tak lain adalah kartu pelajar. Dan di situ tertera bahwa dia adalah Sukri. Tadinya aku mau diturunkan di tengah jalan saja, akan tetapi aku merasa tidak enak kepadanya. Motor terus melaju, tak terasa kami sudah sampai di depan gerbang sekolah. Sampai dengan tepat waktu. Yaitu pas dengan bel berbunyi. Semua siswa berlari menuju ruang kelasnya. Sebagian ada yang selalu memerhatikan aku dan Sukri. Aku merasa malu saat jadi pusat perhatian mereka.
"Di sini saja, ya? Tadinya mau aku antar kamu ke kelas. Tapi, jangan lah. Kan tidak boleh bawa motor ke dalam kelas" Sukri menghentikan laju motornya tepat di depan gerbang sekolah.
"Terima kasih, Sukri. Kamu tidak masuk?" aku bertanya karena merasa sangat heran. Mengapa Sukri malah menghentikan motornya di depan gerbang. Kenapa tidak langsung ke parkiran?
"Kepala sekolah menyuruhku cuti. Entahlah, mungkin sayang kepadaku yang terlalu pusing akan pelajaran sekolah" jawab Sukri, tersenyum.
"Oh, kalau begitu. Aku masuk ya?"
"Iya, belajar yang rajin. Nanti pulang sekolah aku jemput. Aku takut kamu pulang sendirian."
"Jangan. Aku bisa pulang sendiri kok. Sudah biasa."
"Oh, baiklah."
Siapa dia ini? Aku mulai merasa heran. Entah mengapa aku selalu ingin sekali tahu banyak tentang dia. Aku ingin aku sendiri yang memastikan apakah benar yang dikatakan oleh para siswa-siswi sekolahku kalau Sukri itu kejam, suka memalak, dan punya ilmu kebal. Entah mengapa aku merasa sangat penasaran sekali. Aku masuk ke dalam kelas dengan rasa malu, karena banyak sekali temanku yang mengolok-olok aku. Mereka semua berkata "Ciee, pacar baru Abang Jago nih. Wah, awas hati-hati sama Marina. Takut dibacok Sukri" apa sih mereka itu. Padahal aku tidak punya hubungan apa-apa dengan Sukri.
"Eh, Mar. Kok bisa sih kamu dekat sama Abang Jago?" semua teman sekelasku berkumpul mendekatiku. Seberapa tenarnya Sukri ini, seperti artis saja. Sampai-sampai semua temanku ingin mengetahui kenapa aku bisa dibonceng dia.
"Cuma kebetulan. Tadi itu aku tidak sengaja lihat dia menabrak pohon. Aku bantu dia, dan dia mengantarku. Sudah, cuma itu saja" jawabku dengan nada datar. Aku tidak suka keramaian. Wajarlah jika aku ketus terhadap mereka.
"Mau saja dibonceng orang bandel. Eh iya, kamu kan murid baru. Wajar belum tahu siapa Sukri" jawab salah satu temanku yang bernama Erna.
"Eh. Jangan begitu. Kalian hanya tahu Sukri dari mulut ke mulut saja. Coba kalian lihat di mading kelas Akuntansi, tadi aku barusan lihat kalau nama Sukri yang meraih juara pertama. Dia juara kelas. Aku juga tahu banyak tentang Sukri, dia tetangga baruku. Dia rajin orangnya, bahkan kemarin aku juga lihat kalau dia mengajak pengemis untuk ikut makan ke restoran. Tak hanya itu, dia juga mengajak si pengemis itu beli baju di distro. Aneh kan?" Ine, teman sekelasku juga ikut angkat bicara.
"Eh, sudahlah. Kenapa jadi bahas Sukri sih?
Ayo selesaikan tugas kita. Membuat kabel straight" ujarku, berusaha untuk membuat mereka bubar.
Hari-hari berlalu begitu cepat. Setelah satu Minggu aku mencari informasi tentangnya, aku menjadi lebih tahu bahwa siapa itu Sukri sebenarnya. Mungkin karena cinta yang menuntunku untuk bisa mengenalnya lebih jauh lagi. Karena jujur, sejak pertama kali aku dibonceng Sukri, rasanya ada gejolak asmara yang tidak bisa aku ungkapkan saat itu juga. Satu Minggu itu aku sengaja untuk mendekatinya. Ingin tahu siapa dia, siapa sebenarnya orang ini? Sampai-sampai namanya selalu diperbincangkan di lingkungan sekolah. Aku merasa penasaran juga, saat Ine berkata bahwa Sukri jadi juara kelas. Selepas dia berkata begitu, pulang sekolahnya aku memastikan bahwa yang Ine katakan itu benar apa dia hanya mengada-ngada saja. Dan ternyata benar, lagi-lagi aku terkejut dan dibuat kagum oleh Sukri. Namanya tercantum jelas di papan Mading sebagai siswa berprestasi dan juara kelas. Hari itu juga aku berani mendekatinya. Saat itu juga aku yakin kalau Sukri itu orang baik.
"Maaf, Sukri. Apa aku boleh tanya sesuatu?" aku bertanya, saat itu. Saat kebetulan Sukri menyuruhku untuk pulang bersamanya.
"Tanya apa? Kalau begitu, kita berhenti dulu di warung itu. Kalau bicara di jalan, tidak akan terdengar. Soalnya knalpot motorku hampir melebihi suara mesin helikopter" jawabnya, aku tertawa.
"Hahaha, ada-ada saja. Ya oke kita berhenti dulu."
Saat itu adalah hari di mana Sukri menceritakan semua kisah tentangnya. Tentang mengapa dia bisa ditakuti oleh siswa di sekolah, tentang mengapa dia terlibat aksi tawuran, bahkan tentang nama belakangnya. Yaitu Bewok. Semua dia ceritakan. Dengan detail. Tak hanya itu, Sukri juga mentraktir aku makan di warung itu. Karena kami mengobrol sangat lama sekali.
"Jadi kamu ditakuti hanya karena dulu kamu dipalak Jabal? Yang dulunya penguasa sekolah, aku tahu dia. Dia kakak kelas kita kan?" aku bertanya. Karena dia menjelaskan pertama kalinya ia ditakuti oleh siswa di sekolah kami.
"Iya. Jadi, awalnya aku melawan Jabal karena tidak terima dia memalakku. Dia dan teman-temannya mengeroyokku. Pengecut dia itu, beraninya keroyokan. Saat itu aku berencana untuk menantangnya saat dia sedang sendirian. Dan, Jabal mampu aku kalahkan kalau tanpa teman-temannya. Dia kuat hanya karena ada teman-temannya" jawab Sukri.
"Terus kalau cerita tentang kamu pernah hampir membunuh orang dan kamu dianggap punya ilmu kebal itu bagaimana?" karena merasa sangat heran dan ingin lebih mendengar langsung dari mulut Sukri. Aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Ahahaha. Jangan percaya apa kata mereka, Mar. Denarkan. Pertama, kamu pasti tahu kalau letak sekolah kita itu berada di samping jalan raya. Kedua, ancaman serangan dari luar sekolah pasti banyak. Kejadian itu, saat Allah memberiku pertolongan. Itu hanya kebetulan saja. Saat itu, kamu tahu Pak Saep? Guru matematika yang perawakannya hampir sama dengan murid itu? Dia jadi korban salah sasaran. Saat itu, saat kita semua merayakan hari batik nasional.
Ada sekelompok siswa dari sekolah lain mencari Jabal, usut punya usut ingin balas dendam katanya. Saat itu kebetulan Pak Saep sedang berjalan di depan gerbang sekolah. Karena semua siswa dan para guru memakai baju batik, mungkin mereka sulit untuk membedakan mana guru mana murid. Kebetulan saat itu aku sedang dihukum oleh Pak Junet, satpam sekolah kita. Saat Pak Saep melangkah ke dalam germang sekolah, segerombolan siswa sekolah lain menyerangnya. Mereka semua membawa senjata tajam jenis klewang, celurit Madura berukuran besar, bahkan golok Ciomas yang terkenal itu. Aku yang terkejut melihat mereka semua, langsung berdiri menyelamatkan Pak Saep. Hampir saja Pak Saep jadi korban tebasan senjata tajam. Untungnya aku mendekapnya, aku memunggungi mereka. Dan alhasil, hanya tasku yang dipenuhi buku-buku tebal saja yang robek. Ragaku aman hehe" Sukri bicara panjang lebar.
"Lalu, saat kamu hampir membunuh seseorang itu bagaimana? Katanya kamu di skors selama seminggu?" aku kembali bertanya.
"Oh, itu. Jadi begini, Mar. Memang kejadian itu semua disaksikan oleh beberapa siswa dan menyebar dari mulut ke mulut. Saat itu aku sedang makan di warung pojok, di pinggir jalan itu. Ada sekelompok siswa dari sekolah lain yang sedang nge-BM. Aku yang merasa heran, terus memperhatikan mereka semua. Dan akhirnya ada seorang dari mereka yang melirikku juga. Aku dan dia saling lirik, saling tatap dan terjadilah baku hantam antara aku dengan mereka. Kau tahu sendiri Banten ini. Saling tatap saja bisa menjadi masalah. Aku tidak sendirian saat itu. Ada sekitar sepuluh orang temanku yang juga sedang makan di sana. Karena terkejut melihat mereka semua membawa senjata tajam, aku melempari piring pemilik warung karena menurutku harus ada perlawanan.
Segerombolan siswa dari sekolah lain itu merasa kewalahan. Ada yang melempar senjatanya tepat ke arahku, akan tetapi meleset. Aku balik melempar senjata itu. Senjata itu berupa cerulit runcing. Senjata itu mengenai salah satu dari mereka. Kamu boleh anggap aku jahat, akan tetapi, percayalah Mar. Itu keadaan terdesak. Jika aku tidak memberikan perlawanan, aku yang akan mati oleh mereka. Jujur, aku juga merasa tidak tenang sekolah di sini. Ada saja masalah setiap harinya. Hanya karena sekolah kita terletak di pinggir jalan raya" jelas Sukri.
Aku memahaminya, Sukri. Dia begitu karena dia merasa terancam. Bahkan hewan saja jika terancam bisa melakukan perlawanan. Setelah semuanya sudah jelas, aku jadi makin lega dan tidak takut lagi jika berada di dekat Sukri. Ternyata, semua yang mereka ceritakan itu hanya mitos. Tidak sesuai fakta. Semuanya memandang Sukri jelek, padahal dia adalah pahlawan. Bahkan katanya Sukri sempat mau dikeluarkan di sekolah hanya karena kejadian tersebut. Beruntungnya Pak Saep membelanya, Sukri hanya di skors selama 1 Minggu. Pak Saep berkata bahwa dia tidak akan pernah lupa akan jasa yang Sukri berikan kepadanya.
Singkat saja. Karena kalau aku ceritakan semuanya mungkin akan lebih panjang lagi. Setelah semuanya aku tahu tentang Sukri aku jadi lebih sering berangkat ke sekolah dengannya. Aku dibonceng. Ah, senang rasanya entah mengapa. Dia selalu punya hal yang membuatku tertawa. Contohnya saat itu, saat dia main ke kelasku yang sedang ada jam pelajaran. Dengan santainya dia meminta izin dan membuat hal yang menurutku konyol sekali saat itu.
"Permisi, Bu. Maaf, ada Marina?" Sukri masuk ke kelasku saat itu. Saat itu sedang ada Bu Diany, guru bahasa Inggris di kelasku.
"Eh, iya. Ada perlu apa?" Bu Diany yang sedang menjelaskan materi pembelajaran sampai terhenti karena Sukri datang.
"Ini, Bu. Saya disuruh oleh kepala sekolah untuk memanggil Marina" ujar Sukri, tentu saat itu aku terperanjat. Kepala sekolah? Ada perlu apa dia kepadaku? Hatiku cemas karena mungkin aku belum bayar SPP bulan ini.
"Marina, silahkan. Ibu izinkan kamu keluar. Tapi, nanti kamu minta materi yang sudah ibu jelaskan ini ke temanmu ya. Biar dicatat ulang?" Bu Diany mempersilakan aku keluar.
"Baik, Bu" jawabku.
Dengan langkah yang gemetar, aku tinggalkan kelasku. Berjalan bersama Sukri keluar. Dia menunggu di luar, aku pikir mungkin dia dipanggil juga. Jadi bisa berangkat bersama ke ruang kepala sekolah.
"Ada apa?" aku bertanya kepada Sukri. Kami sudah berada di lantai 2. Sudah jauh dari kelasku. Perlu kalian ketahui, sekolahku berlantai 3. Hanya ingin beri tahu saja, tidak lebih. Tapi, kapan-kapan kamu boleh traktir aku tahu Sumedang.
"Kepala sekolah mau ajak kamu makan seblak gratis katanya" Sukri menjawab dengan tenang. Seperti serius saja, padahal aku juga tahu mana mungkin kepala sekolah mau ajak aku makan seblak gratis. Aneh kamu Sukri hahahaha.
"Ih, serius? Aku ada pelajaran ini. Kamu malah bercanda" karena kesal tanganku mencubit punggungnya.
"Iya, Marina Elisa. Aku serius. Jadi, begini. Aku diberi uang oleh kepala sekolah" jawab Sukri.
"Terus? Kok bisa dia beri kamu uang?" Tanyaku, penasaran.
"Awalnya aku iseng tanya dia begini. Pak, apa yang bapak suka antara seblak dan bakso?" Jawab Sukri.
"Ah, pasti bohong. Terus dia jawab apa lagi?" aku tidak percaya. Tapi, entah mengapa aku ingin Sukri melanjutkan ceritanya.
"Dia jawab begini. Seblak, karena saya pernah punya pengalaman romantis dengan seblak."
"Serius dia jawab begitu? Terus apa lagi?"
"Katanya dia pernah makan seblak gratis sampai kenyang dan boleh nambah di daerah Pandeglang. Tapi katanya ada syaratnya, syaratnya harus bawa wanita yang nama belakangnya Elisa."
"Kok bisa begitu?"
"Mana aku tahu. Katanya, kebetulan pacarnya nama belakangnya Elisa, jadi dia ajak pacarnya. Katanya sih saat itu dia masih mahasiswa, anak kost juga. Wajarlah kalau pengin gratisan."
"Terus apa hubungannya denganku Sukri?"
"Jelas ada, Marina Elisa. Jadi begini, kau tahu sendiri kepala sekolah kita itu sering pikun. Karena aku berhasil membuat dia ingat masa lalunya, dia beri aku uang. Tapi ada syaratnya. Katanya uang ini harus aku gunakan untuk traktir wanita yang nama belakangnya Elisa. Makannya aku ajak kamu."
"Hahaha, lucuu."
Alaah, Sukrii. Bilang saja kalau kamu mau ajak aku makan seblak. Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Entah mengapa, hari itu juga, mau saja aku diajaknya makan seblak. Padahal masih jam pelajaran. Yang penting, Bu Diany sudah memberiku izin. Hehe makan seblak gratis. Kebetulan saat itu anak Akuntansi sedang diliburkan. Katanya sih karena akan ada praktik mendadak. Kebetulan warung seblak sedang tidak dikunjungi oleh guru. Jdi aku dan Sukri bisa lebih tenang berduaan. Hehehe.
Setiap hari entah mengapa aku lebih senang berdua dengannya. Sukri mampu membuat hari-hariku penuh warna dan tawa. Selalu saja bisa mengajakku melihat hal-hal baru. Setelah mungkin sudah cukup lama Sukri mengenalku, dan aku mengenalnya cukup lama. Sukri menyatakan cintanya kepadaku. Saat itu, aku masih ingat betul kejadiannya. Saat itu Sukri menitipkan amplop yang berisi surat kepada temanku. Itu tanpa sepengetahuanku. Dia menitipkan amplop itu kepada temanku, katanya amplop itu adalah surat sakit. Padahal aku tidak sama sekali sakit. Aku masuk pada hari itu, tetapi datang terlambat. Mungkin Sukri sengaja membuatku terlambat. Aku tahu surat itu setelah Bu Hesty, guru yang saat itu mengajar di kelas membacanya.
"Surat pemberitahuan. Saya yang bertanda tangan di bawah ini, nama Sukri Bewok, sejak awal pertamakali melihat Marina. Saat itu juga saya sudah jatuh cinta. Dan, baru saat ini saya bisa mengungkapkannya. Melalui surat ini, ya surat ini. Terima kasih kepada dewan guru yang sudah berkenan untuk membacanya. Aku minta bapak atau ibu guru memberitahu dia bahwa nanti sepulang sekolah aku tunggu di depan gerbang sekolah. Dan terima kasih juga, kepada para siswa yang mau mendengarkannya. Termasuk kamu yang aku cinta, Marina" Bu Hesty membaca surat itu dengan lantang. Seperti sedang membaca teks proklamasi. Aku jadi malu, wajahku memerah saat itu. Bahkan aku gunakan tas untuk menutup wajahku.
"Apa ini, ahahaha. Marina, ternyata kamu yang berhasil memikat hati Si Sukri. Dia itu, kamu harus tahu kejadian lucu ini. Saat itu Sukri dihukum karena tidak ikut upacara bendera. Dia pura-pura pingsan. Semua siswa panik. Saya masih ingat, itu saat dia masih kelas satu. Banyak wanita yang menolongnya, bahkan ada siswi jurusan Keperawatan memberikan nafas buatan kepadanya. Alhasil Sukri langsung lari dan tidak jadi pingsan. Kejadian ini ditonton oleh kepala sekolah dan semuanya tertawa. Bahkan, yang parahnya lagi, dia malah joget-joget. Katanya ksurupan. Itu dia sendiri teriak, bahwa dia itu kesurupan. Ahaha, ada-ada saja ulah Sukri itu. Eh, kenapa jadi bahas Sukri?" Bu Hesty tertawa mendengar nama Sukri. Lalu menghampiriku untuk memberikan surat itu, surat dari Sukri.
"Ibu, tidak marah?" aku bertanya, karena takut kalau nantinya Sukri dimarahi. Berani sekali dia mengirim surat begitu. Ahahaha.
"Jelas ibu tidak marah, ibu pernah muda juga. Hal ini, biasa. Setelah selesai, segera temui dia. Ibu yakin kalau kamu juga suka dia kan?"
"Ah, ibuuu."
Itulah hari pertama aku berpacaran dengan Sukri. Aku terima dia dengan hati senang. Seperti mendapat sesuatu yang sangat berharga. Aku persilahkan dia untuk mengisi kekosongan hatiku. Dia yang mampu mengusir gundahnya hari-hariku. Dengannya, aku selalu bahagia dan selalu saja bisa tertawa.
Kini tinggal bayangnya saja yang bisa aku kenang. Kami berpisah saat waktu perpisahan sekolah datang. Di mana ada pertemuan di situ ada perpisahan. Ya benar. Aku berpisah dengan Sukri. Hari ini, bahkan aku masih merindukannya. Sukri berpisah denganku, katanya dia mau ikut akademi militer di Lampung. Dan, sampai akhir ini, tahun 2021 ini aku belum pernah jumpa dengannya. Laut memisahkan kami. Aku masih mengingatnya, saat pertama kali ia ucapkan kata selamat tinggal, dan pasti nanti kembali di pelabuhan Merak. Aku memeluknya, tidak terima melepas kepergiannya. Setelah semuanya aku lalui, bagiku perpisahan begitu saja cepat terjadi. Aku lebih sering menyempatkan diri untuk pergi ke pelabuhan, tak lain hanya untuk bisa mengenangnya. Bahkan menunggunya. Entah sampai kapan. Aku harap, dengan aku buat cerita singkat ini, dia bisa mengetahuinya. Bahwa aku sangat merindukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar