Rabu, 06 April 2022

Seekor Itik Yang Minta Dipeluk


Seekor Itik Yang Minta Dipeluk

Karya: Ammar Khakam Alfanni



Sebut saja Ia Bambang Ekalaya. Pemuda Bujang Wiraswasta yang bekerja sebagai penjual buku. Buku yang dijualnya pun lebih banyak untuk kalangan anak muda seperti Fiersa Besari, Boy Candra, Rusdi Mathari, Pidi Baiq, Habiburrahman El-Sirazy, Tere Liye, Andrea Hirata, Aguk Irawan, Usman Arrumy, K.H Mustofa Bisri, Khilma Anis, Ahmad Fuadi dan lumayan lagi koleksi-koleksi warungnya. Walau tidak menafikan, ada juga buku-buku serius, yang sasaran penjualnya bagi para pemikir seperti Pramodiya Ananta Toer, Soe Hok Gie, Sun Tzu, Mahatma Gandi, Gus Dur, Tan Malaka, Karl Max, Che Guevara, Socrates, Descartes, Abraham Lincoln dan lain-lain sebagainya.

Sebagaimana anak-anak biasanya, ia tumbuh dan berkembang dari kasih sayang seorang ibu dan didikan tegas oleh bapaknya. 

Tak ada yang aneh pada kehidupannya. Hidupnya terkesan Datar agak bergelombang bila dilihat dari sudut pandang jalan. Kadang belok, lurus nabrak, bahkan standing pernah ia lakukan, walau ia harus mengakui bahwa dari ke sekian Ke-tidak sadar-an yang dilakoninya itu, nasehat dan omelan keluarga serta teman-temannya ikut meluruskannya, ketika ia sudah kelewatan.

Hingga pada suatu saat ia bertemu pembeli wanita yang bisa dikatakan Iain yang berujung spekulasi Istimewa yang disematkan kepadanya. Bagaimana tidak Istimewa? Biasanya ia melayani pembeli wanita dengan biasa-biasa saja, malah terkadang bila pembelinya Rewel minta ini-itu, ia hanya bilang “Maaf, di sini tidak tersedia apa yang Kamu minta.”. Walau sebenarnya pesanan yang diminta pembeli itu ada. Rupanya, usut punya usut, jargon Pembeli adalah Raja yang biasanya digaungkan oleh penjual untuk melayani pembeli, tidak berlaku di warung buku miliknya. “Biarlah ia pergi. Bukannya aku menolak, namun, aku sudah yakin kalau Tuhanku tidak akan salah mengirim Rizki bagi hamba-hambanya.” Pikirnya walau tidak ditanyakan “Mengapa Bambang melakukannya?” 

Wanita itu dengan Sat-Set-nya memilih dan langsung menyetorkan buku untuk dibelinya. “Berapa harganya Mas?” ucap lembut Wanita itu sambil menyetorkan buku usang dan berdebu yang berjudul Kumpulan Doa-doa dan Tahlil kepada Bambang Ekalaya. Ia tatap wanita itu sejenak sambil menerka-nerka “Ada apa ini?”. Wanita itu ternyata paham akan tatapan yang ditujukan kepadanya itu. “Saya hanya ingin memupuk masa lalu dengan doa mas.” Jawabnya sendiri. Bambang dengan isengnya menggunakan bahasa isyarat malah melambaikan seolah-olah bukan itu yang dia maksud, sambil kemudian jari telunjuk sebelah kanannya menunjuk pipinya sendiri yang bermaksud “Bukan itu yang kumaksudkan, tetapi ada sesuatu di pipimu itu loh.” Wanita itu sadar dan meraba kedua pipinya, jangan-jangan ada cabai yang masih menempel saat setelah makan seblak tadi. “Kenapa mas?” tanya Wanita itu, “Manisnya Ugal-ugalan Mbak hehe” jawab Bambang sambil terkekeh puas telah mengerjai wanita itu. Sontak, wanita itu merasa kedua pipinya memanas dan memalingkan wajahnya ke sembarang arah sambil atur nafas, lantaran dari ada perasaan Deg-Deg-Serrr yang memenuhi dadanya. Setelah sepersekian detik, ia kembali dapat mengendalikan dirinya, walau masih ada sisa-sisa Deg-Deg-Serrr itu. “Berapa mas?” ulang Wanita itu. Tak langsung menjawab, Bambang menatap wanita itu lagi. “Emmm.. Begini saja Mbak, bagaimana kalau buku ini ditukar dengan nomor telepon Mbak saja bagaimana?...” Ucapnya masih menatap wanita itu. 3 detik masih hening tak ada jawaban. Lantas “... Itu pun kalau Mbak mau loh ya.” imbuh Bambang agak merasa bersalah tadi sudah mengerjainya. “Kosong delapan..” tiba-tiba saja wanita itu langsung menjawab merespon tawaran Bambang. Tak menyia-nyiakan kesempatan yang bahkan lebih langka dari Komet Halley yang hanya muncul tiap 75-76 tahun sekali itu, Bambang sigap mengambil Smart Phonnya guna untuk mencatat. “Kosong delapan..” tiru Bambang sambil mengetik. Sang Wanita malah tersenyum lalu “.. Sisanya Kapan-kapan haha” “Ceritanya balas budi nih” jawab Bambang agak dongkol yang malah berbalik dikerjai wanita itu. “impas. 1-1 haha..” kata wanita itu. “..itu mas sudah kutulis nomorku di atas nota. Dan aku anggap itu bayaran buku ini ya” pungkasnya sambil meletakan bukunya itu ke dalam tasnya yang bertuliskan i am versus evrybody. Lalu pergi. Meninggalkan Bambang Ekalaya yang diam, sebab ulah akrobatik wanita itu yang menuliskan Nomornya. Dengan namanya juga. Roro Anteng. “Tidak buruk” batin Bambang sambil tersenyum.


#


Selang 2 bulan setelah Bambang mendapatkan nomor teleponnya Roro, ia pun rajin bertukar kabar dengannya hampir setiap hari. Bahkan saking seringnya bertukar kabar, bahan pembicaraannya sering kali diambil serampangan, seperti “Kamu sudah makan?”, “Kamu lagi apa?” atau bahkan konyol, “Apakah Bapakmu adalah suami dari Ibumu?”. Atau mengenai arti dibalik nama masing-masing. Dimulai dari Roro yang ditanya pertama, “Kenapa? Ya karena dulu kata Ayahku, waktu aku lahir terjadi keanehan padaku. Yaitu pas waktu dilahirkan aku tidak menangis. Dan dari situlah ayahku memberi nama Roro Anteng yang berarti Bangsawan yang Pendiam. Kalu kamu bagaimana Mas?” tanya Roro. 

“Kalau aku sih, lantaran bapakku pernah melihat pagelaran wayang dan pas waktu itu sedang dalam pementasan yang berjudul Bambang Ekalaya. Yaitu sesosok Pangeran yang ingin berguru memanah kepada Resi Dorna yang menjadi guru pada Pandawa dan Kurawa. Namun ditolak dan ia lalu belajar otodidak dengan mendatangkan Resi Dorna dengan Replika patung. Seolah-olah patung itu hidup. Lalu setelah itu, ilmu memanahnya bahkan melebihi Arjuna. Arjuna tahu dan tidak terima. Karena Arjuna murid kesayangannya Resi Dorna, ia perintahkan Bambang Ekalaya untuk menyerahkan kedua ibu jarinya sebagai bukti kesetiaannya bila mau dianggap muridnya. Supaya dalam memanah, tidak melebihi Arjuna itu. Dan diiyakan oleh Bambang Ekalaya. Jadi, bapakku berharap aku seperti Bambang Ekalaya, yang mampu meraih ilmu ataupun pengetahuan secara baik dengan bersungguh-sungguh.” papar Bambang Ekalaya panjang.

Aneh. Bambang Ekalaya heran dengan dirinya sendiri. Dari sekian banyak buku yang dibaca, diskusi berbusa-busa, dan berteori sana-sini, Ia banyak sekali menyangkal “Ajaran Moral” yang melatar belakangi semua itu. Tetapi dengan disengaja, ia malah harus mengakui kebenaran Ucapan Usman Arrumy yang mengutip dari Syekh Nawawi Albantani bahwa, “Barang siapa yang mencintai sesuatu, Niscaya ia akan menjadi budaknya.” 

Bahkan Ia yakin, sekelas Ilmuan besar abad 21 yang terkenal seperti Sthepen Hawking atau Albert Einstein pun akan buntu bila ditanya Oleh Bambang mengenai “Bagaimana bisa rasa Deg-Deg-Serrr ini tumbuh dan berkembang suburnya tanpa pernah diberi ruang dan waktu?” 

“Ah sudahlah. Biar nanti kutanyakan kepada Roro saja” pikir Bambang

Tetapi entah. Setiap ditanya hal-hal yang berbau asmara, Roro selalu menghindar dan mengalihkan pembicaraan. Ketika ditanya “Mengapa?”. Ia menjawab “Tunggu aku sebentar lagi.” Sampai beberapa kali. Sampai Bambang malas sendiri. Namun, mencoba bersabar dan berpikir positif. “Mungkin ia belum belum siap.” Pikirnya

Sampai pada pagi di hari Minggu, Bambang mengajak Roro jalan-jalan ke suatu tempat. Dan Roro mengiyakan ajakan tersebut. Yang sering dijadikan pelampiasan Bambang dikala mengalami masalah. Ya, mungkin baru kali ini, Bambang, mengajak orang lain selain temannya ke tempat tersebut.

Dijemputnya Roro di kediamannya menggunakan Belalang Tempur, yaitu motor RX-King warisan bapaknya dulu waktu muda. 

Setelah sampai, Bambang mengabari Roro bahwa sudah sampai rumahnya. Lalu Roro turun setelah menunggu agak lama. 

Bambang memuji tampilan dari Roro. Begitu pun Roro. Mereka bergaya tetapi tidak berlebihan. Pas dan pantas. Namun mereka saling memuji dalam diam. Tidak diumbar-umbar. “Cukup sebagai kepuasan pribadi saja.” Batin Bambang

Sekitar 15 menit melalui perjalanan yang naik turun. Dari suasana menyesakkan perkotaan, berubah menjadi Asri khas pedesaan. Yang sejuk lagi damai.

Sementara Bambang memarkirkan belalang tempurnya, sedang Roro sedang menikmati tempat tersebut dengan khidmat. “Wah tempatnya asyik juga ya Mas...” Ucap Roro kepada Bambang. “...Sejuk, asri, dan ketika kesini, aku merasa damai. Tempatnya seperti mengajakku bermain hehe.” Imbuh Roro sambil tersenyum. “Kamu suka?” Tanya Bambang “Suka.. Pakai banget malah haha.” Jawab Roro.

Bambang bersyukur, lantaran Roro termasuk wanita yang menyukai suasana kedamaian.

Sambil berjalan melewati taman-taman bunga, tiba-tiba Roro dengan ke-Sat-Set-annya menceritakan bahwa alasan mengapa ia menutup diri dari hal-hal yang berbau asmara adalah ada kaitannya dengan masa lalu. Di mana, kala itu sebelum bertemu Bambang, Ia sama-sama menyukai seseorang yang sama dengan temannya. Roro pun tidak habis pikir. Lalu ia menceritakan suka dukanya menyukai seseorang yang sama dengan temannya; Yang selain harus mendengarkan keluh kesahnya temannya itu, ia juga harus menutup sendiri hasrat sukanya dengan diam. Tanpa diketahui.  

Bambang kaget dengan penuturan yang tiba-tiba itu. Namun, rasa ingin tahunya meminta untuk tetap diam. Ingin sekali ia menyela dan, berkata “Kalau tinggal suka, ya bilang saja”. Tanpa pertanyaan Roro mengatakan “Rasanya ingin sekali ku mengatakan pada temanku, bahwa seseorang yang kau sukai itu juga aku menyukainya, tetapi aku tak tega. Karena, menurutku ada yang lebih penting dari hanya sekedar Percintaan. Pertemanan salah satunya. Dan dengan keyakinan itulah, kubunuh dan kukubur dalam-dalam rasa ini.” Ucap Roro dengan nada bergetar. 

Dilihatnya, Wajah Roro dengan saksama. Ada hujan yang keluar lewat kedua bola matanya. Ia ikut merasakan sesak yang dialami Roro. 

Na ‘as

Roro kini kelelahan. Baik fisik. Pun hatinya. Memang begitu. keadaan terkadang selalu memaksa. terlebih kepada semangat dan harapan.

Tak mau berlarut, Bambang membawanya ke sebuah sungai dekat warung kopi, "Pak kopi satu ! Perbanyak kopi, bukan gulanya! Dan juga coklat panas satu pak” Ucap sang kekasih kepada penjual yang berujung "Oke" dari sang penjual.

Tak lama berselang, kopi dan coklat pesanan Bambang datang. “Monggo Mas, Mba” ucap Penjual “Nggih Pak, makasih” jawab Bambang. Sambil menyulut rokok dan menyesap kopi itu, dia berkata "Ada kalanya ketika kita kehilangan banyak hal, kau tiba-tiba menyadari begitu banyak hal yang harus dibetulkan, yang harus diselesaikan. Alih-alih meletakkan harapan diatas segala sesuatu yang sudah terjadi, kau justru terjebak dalam berbagai ekspekrasi yang makin menyiksa diri sendiri. Dudukanlah hati dan fisikmu. Mari kita bercerita pelan-pelan, agar nafas dan harapanmu tidak terus terburu-buru. Huuuuuuuuffff " satu hisapan rokok diahiri hembusan panjang.

Teduh. Hati Roro kini teduh. Tetapi selang berapa detik tak disangka, salah satu dari sepasang sendal Roro hanyut. Karena, di sepanjang Bambang berbicara, kaki Roro terus berayun tak mau diam dan "Mas, sendalku keli." Dengan muka cemberut yang dibuat-buat.

Dengan tersenyum sang kekasih menjawab "Tenang dik, biarlah sendalmu hanyut bersama semua kenangan kelam masa lalumu ! Saatnya kamu move on, dan menjalani masa depan indah bersamaku ". 

"Ah, bisa ae sendal..haha..canda sendal..haha." balas Roro dengan tawa berlatar bahagia.

Bambang berhasil. Misinya kala itu untuk menyelamatkan senyum yang merekah pada bibirnya tidak jadi sirna. Kini telah berganti keindahan.

Yang tampak pada wujud tawa renyahnya itu. [ ]




Ammar Khakam Alfanni


Salatiga, 6 April 2022

2 komentar:

  1. Bagus sekali cerpennya mas Hakam. Diksinya jelas namun bermajas. Namun, pengulangan yang sering dan EYD yg perlu diperbaiki.

    Terus berkarya KATABA nice 🙏😁

    BalasHapus