Impian dalam Kertas Lipat
Alifa Nurul
"Sial! Tuhan memang aneh. Ia bilang
tidak suka kepada
orang-orang yang lemah dan
mudah menyerah. Tapi terkadang takdirnyalah yang melemahkan dan membuat kita
putus asa"
pikirnya.
“Hah kenapa pikiran
jelek begini selalu
muncul ya? Padahal
kata ibu, ujian yang diberikan pada kita akan
membuat kita berkembang. Memang sih terkadang kesannya Tuhan tidak adil, padahal kalo kita menerima dengan ikhlas dan
terus belajar, kita akan paham bahwa
Tuhan sedang membentuk kita.” Rabi’ah bermonolog sambil berjalan di koridor
kelas.
Semua orang
memiliki mimpi, sama halnya dengan gadis yang bernama Rabi’ah. Meskipun dengan keterbatasan
ekonomi orang tuanya yang serba kekurangan, tak menyurutkan semangatnya untuk mencari
ilmu ke berbagai
tempat. Semangatnya dalam mencari
ilmu itu telah tertanam sejak ia masih kecil.
Waktu terasa begitu cepat sampai waktunya Rabi’ah harus mengikuti permintaan kedua orang tuanya untuk masuk ke dunia pesantren. Dunia yang nantinya jauh dari orang tua, keluarga, sahabat dan itupun termasuk rela meninggalkan semua kenyamanan yang ada di rumah. Tanpa banyak protes dan mengeluh Rabi’ah menerima permintaan orangtuanya. Di usianya yang ke-12 tahun ia masuk ke pondok pesantren, usia dimana teman sebayanya masih hidup bersama keluarga dan sahabatnya.
Dengan penuh semangat dan percaya diri Rabi’ah menjalani hari-harinya di pondok pesantren. Ia pun tak melupakan pesan-pesan orangtuanya untuk selalu bermimpi setinggi mungkin dan berusaha sekuat tenaga, serta melambungkan do’a-do’a terbaiknya. Rabi’ah juga menulis daftar impiannya di sebuah catatan kecil yang dimilikinya. Tentang apa yang ingin dia gapai dari semasa Sekolah Menengah Pertama sampai ia dewasa nanti, yang mana ia ingin menjadi seorang penerjemah Bahasa asing.
Kegigihan Rabi’ah dibuktikan dengan banyaknya kegiatan yang sudah Rabi’ah ikuti, diantaranya ekstrakurikuler dan perlombaan. Rabi’ah juga pernah menjuari dalam berbagai bidang perlombaan, diantaranya Lomba Pidato Bahasa Asing, Lomba Tulis Karya Imiah dan perlombaan lainnya. Sebab itu, Rabi’ah merasa lebih bersemangat untuk mencari ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya demi membanggakan kedua orangtuanya.
Masa Sekolah Menengah Pertama telah ia lewati. Rabi’ah lulus dengan peringkat nilai yang diharapkan. Ia pun sangat bersyukur dan memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya ke bangku SMA. Orang tuanya ingin ia tetap berada di lingkungan pondok pesantren, akhinrya Rabi’ah pun diantarkan ke suatu daerah yang jaraknya + 4 jam lebih jauh dari pesantren sebelumnya. Gadis itu tidak berani menolak permintaan orang tuanya, karena Rabi’ah yakin semua keputusan orangtuanya itu pasti merupakan keputusan yang terbaik. Di sela-sela harinya sebelum memasuki bangku SMA, Rabi’ah termenung akan impiannya yang igin melanjutkan studi ke luar negeri setelah lulus SMA nanti.
Ujian masuk, pengumuman hasil ujian sudah keluar. Rabi’ah terpilih untuk masuk di kelas jurusan khusus. Rabi’ah sangat bersyukur karena ditempatkan bersama teman seperjuangan. Keseharian Rabiah agak berbeda dari sebelumnya, sekarang ini Rabi’ah dituntut lebih pandai dalam bergaul dan memahami teman sesamanya. Di masa Sekolah Menengah Atas ini Rabi’ah mengikuti berbagai organisasi sehingga bakat Rabi’ah semasa SMP sudah tudak pernah diasah dan dikembangkan lagi. Rabi’ah juga jarang mengikuti bimbingan-bimbingan sejenisnya karena waktunya ia habiskan untuk berorganisasi.
Tiga tahun bukan waktu yang sebentar menurut Rabi’ah, ia sangat berterimakasih kepada diri sendiri dan keluarga yang setiap saat memberi support untuk Rabi’ah. Setelah kelulusan Rabi’ahpun berunding dengan orang tuanya akan meneruskan studi di luar negeri. Seketika terbesit dipikirannya pada satu tempat yang sudah lama ia impikan, yakni Negeri Kinanah jauh disana. Orang tuanya pun mendukung keputusannya, karena yakin akan kemampuan putrinya yang selama ini telah mereka lihat. Rabi’ah yakin pada dirinya, dan tentu saja ia perlu memaksimalkan usahanya kali ini karena tau bahwa impiannya bukanlah impian yang mudah untuk digapai, namun bukan berarti sesuatu yang mustahil.
Hari demi hari bulan demi bulan, Rabi’ah akhirnya di antarkan ke tempat belajar lain, tetapi hal itu tidak membuat Rabi’ah patah semangat, justru Rabi’ah sangat senang dan bersemangat untuk belajar hal baru. Rabi’ah juga sangat bersyukur bisa bertemu dengan teman-teman seperjuangannya yang tak kalah hebat. Ia pun selalu ingat dengan pesan orang tuanya, dimanapun dan kapanpun kita harus tetap berusaha jika itu perihal kebaikan.
Untaian do’a tak lupa Rabi’ah panjatkan di setiap sepertiga malamnya, karena ia tau usaha yang tidak diiringi doa sama saja hasilnya akan nihil dan begitu juga sebaliknya. Tak sampai disitu, Rabi’ah pun juga sembari mencari informasi mengenai prosedur studi di luar negeri, beasiswa, hingga biaya hidup selama berada di negeri Kinanah itu.
Empat bulan berlalu begitu cepat, Rabi’ah semakin yakin dapat diterima di universitas yang ia inginkan. Rabi’ah pun dengan penuh semangat memberi kabar kepada kedua orang tuanya mengenai hal itu. Seperti tersambar petir di siang bolong, ternyata orang tuanya masih belum yakin dengan apa yang telah Rabi’ah dapatkan di pembelakannya dan memintanya untuk tetap melanjutkan pembekalan. Perasaan sedih Rabi’ah berdampak pada proses belajarnya waktu itu, gadis itu merasa usaha yang telah ia lakukan percuma karena belum bisa membuat kedua orang tuanya yakin.
Mendengar kabar pembukaan pedaftaran studi di luar negeri, Rabi’ah semakin semangat untuk pembekalannya. Rabi’ah mengisi formulir pendaftaran dan mengurus berbagai berkas yang diperlukan. Ujian pun berlangsung, Rabi’ah dengan penuh keyakinan mengisi setiap soal ujian dengan lancar. Sembari menunggu waktu pengumuman Rabi’ah menjalankan aktivitas seperti biasanya.
Setelah beberapa minggu menunggu hasil ujian, hari yang ditunggu pun tiba. Pengumuan diumumkan pada grup whatsApp yang telah di buat sebelumnya. Rabi’ah masih tidak menyangka namanya tercantum dalam daftar Calon Mahasiswa Baru di Universitas yang telah di impikannya sejak lama.
Tak lupa Rabi’ah memberi kabar kepada oranguanya dirumah bahwa dirinya telah berhasil menempuh ujian dan lolos ujian. "Alhamdulillah bapak, saya terdaftar menjadi calon mahasiswa baru di universitas yang saya impikan sejak lama" ucap Rabi'ah senang. Namun ternyata sang ayah masih berberat hati untuk melepaskan putri semata wayangnya pergi melanjutkan studi di negara yang jauh disana. "Coba difikirkan dulu sampai matang bi, sebelum nantinya kamu menyerah di tengah jalan. Apa kamu sudah siap hidup sendiri di negara orang? Nggak ada bapak atau ibu yang bisa bantu kamu disana." Tanya bapak memastikan. "Rabi'ah siap pak, aku sudah lama menginginkannya. Aku sudah berjuang sampai dititik ini dan bapak harus percaya sama aku…" rintih Rabi'ah sesekali diiringi isak tangis.
Dengan perasaan yang berantakan ia menerima keputusan orang tuanya untuk tetap melanjutkan pembekalan dan mengubur impiannya. Rabi’ah menangis sejadi-jadinya. Hari-hari Rabi’ah setelah itu tidak seperti biasanya. Rabi’ah tidak bersemangat untuk mengikuti pembelajaran.
Hatinya teriris, melihat teman-teman seperjuangannya yang mempersiapakan ini dan itu untuk keberangkatan studi mereka. Rabi’ah merasa gagal menggapai impiannya, tapi gadis itu berusaha memendam semua kekecewaan dan rasa sedihnya.
Teman, guru, sahabat tidak pernah berhenti memberi ketenangan dan semangat agar Rabi’ah dapat bangkit kembali untuk menjalani hari-harinya. Rabi’ah juga meyakinkan dirinya bahwa keputusan orang tuanya adalah keputusan yang terbaik, karena ridho Allah tergantung pada ridho kedua orangtua.
Impian layaknya sebuah bayangan, ia akan mengikuti kemana tuannya pergi. Tak akan hilang, terkecuali gelap yang membuatnya tiada. Rabi’ah adalah gadis yang memberi cahaya pada impiannya, ia menanamnya, merawatnya, menumbuhkannya hingga menjadi impian yang siap di panen. Namun bukan berarti tak ada rintangan yang harus dilewati, ia hanya perlu mengetuk pintu restu kedua orang tuanya beberapa kali. Bukan dengan mengambil cahayanya dan meniadakannya.
Ia tulis impiannya di selembar kertas yang ia lipat menjadi sebuah kapal, hingga akhirnya ia labuhkan di danau yang jernih airnya, sejernih asanya untuk tetap bertahan dan tidak menyerah akan mimpinya. “Jika bukan hari ini, mungkin nanti atau mungkin beberapa tahun mendatang.” Gumamnya penuh keyakinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar