Termaktub dalam 365
Karya ; Majda prawiranegara
(gambar: pixaby)Melihat laut yang luas, malam yang gelap, bintang yang bersinar terang, membuat hatiku bergetar, mengingat bagian-bagian cerita yang sangat aku benci dan tak ingin aku ceritakan. Tentang masa kecil yang suram, masa remaja yang hancur, aku memang gadis dengan jutaan mimpi, namun aku bukanlah gadis ang diberi kesempatan untuk melihat semua mimpiku terealisasi.
Aku hannya putri malu, bunga tak bermadu, rumput liar diantara gemuknya tanaman. Tujuh tahun usia yang terlalu muda untuk merasakan kerasnya dunia, tangan kecil yang belum mampu untuk memeranginya.
"Tessa kenapa duduk sendiri disini?" Tanya seorang wanita yang seumuran dengan ibuku, tak punya daya tuk menjawab aku hanya diam menatapnya pilu, kemudian menunduke menurunkan hujan yang lama tertahan.
Harusnya hari ini aku bersenang-senang layaknya anak seusiaku tapi sayang bukan aku anak pemilik keberuntungan itu. Disaat yang lain bermain-main menikmati liburan ke Bali aku malah duduk sendiri meratapi nasib yang selalu menyakiti.
Sudahlah lagi pula ini sudah biasa terjadi, tertinggal dan ditinggalkan dua kata itu telah menyatu dengan diriku. Aku bisa di asingkan oleh mereka anak-anak orang beruang, apa yang bisa aku lakukan sebelum edangka aku hanya anak seorang pedagang, yang uang untuk makan saja masih kurang.
Kuira semakin aku menerima rasa sakit yang terus datang aku akan menuai kebahagiaan namun salah, semakin hari penderitaan ku semakin bertambah, menyatu dan jatuh berlinang. Ada satu hari yang masih melekat dalam ingatan sampai saat ini, rumah yang harusnya tempat ternyaman untuk singgah, malah menjadi neraka tempat aku tersiksa dan membuat air mataku jatuh dengan sia-sia.
"Kita cerai saja" tiga kata yang keluar dari mulut ayah menjelma bagai duri yang menancap, sakit sekali. Setelah hari itu kedua orang tua ku tinggal terpisah, ayah pergi bersama wanita dan keluarga barunya. Sedangkan aku serumah dengan ibu, kami melanjutkan hidup bertiga bersama nenek yang selalu merawatku dari kecil.
Lima tahun kemudian aku naik smp, sejak ayah dan ibu bercerai sampai kini aku tidak pernah bertemu lagi dengan ayah, namun akun sosial medianya sudah berbicara. Mengatakan Kepada aku dan ibu bahwa dia sudah bahagia bahkan lebih bahagia.
Aku masih bertahan bersama ibu dan nenek di rumah kayu yang dibangunkan kakek tigapuluh tahun lalu, uang hasil jualan kue ibu tidak cukup untuk sekolahku karena itu aku memutuskan untuk bekerja di kantin sekolahan.
Tidak terasa umurku sudah dua puluh tiga tahun, satu tahun yang lalu aku lulus sebagai sarjana Sejarah, beruntungnya aku langsung mendapatkan pekerjaan sebagai pemandu wisata, setidaknya aku tidak perlu membebani ibu lagi soal biaya kuliah dan kebutuhan sehari-hari.
Seperti yang telah menjadi janjiku saat masih kecil. Karena tak pernah merasakan asiknya jalan-jalan aku ingin mewujudkannya saat dewasa, dan ini benar-benar terjadi. Namun sayang aku harus jauh dari ibu dan nenekku, tapi mungkin ini yang dialami orang dewasa hehe seru sekali. Melewati semuanya sendiri, menahan nya menyimpannya dan terus menikmatinya, semuanya sendiri.
Ingin sekali aku katakan pada ibu, ibu aku telah dewasa, petuah yang kau berikan menjawab semuanya, dulu aku suka bingung dengan permainan dunia namun kini aku sudah bisa mengendalikannya. Dan ayah putrimu sudah kuat dia bisa berdiri dengan kakinya sendiri tanpa bantuan seorang laki-laki, meski batu-batu kecil mengandungnya sampai jatuh namun ia tidak pernah lupa caranya berdiri.
Malam ini di samping sungai aku di kelilingi oleh orang-orang yang sedang menunggu kembang api di nyalakan malam ini. Melihat keluarga kecil mereka membuatku merasa terharu.
Andai ayah dan ibu tidak pisah dan masih bersama hingga kini, mungkin aku tidak akan pernah melewati malam tahun baru sendiri. Mereka akan duduk bersamaku di sini, bercanda dan saling mengundang gelak tawa.
"Bahagia sekali" batinku tersenyum miris.
Kemudian tak jauh dari mataku ada seorang anak nak kecil, umurnya sekitar delapan tahun, dia sedang berbincang-bincang dengan seorang bapak-bapak, ada banyak bunga yang indah di tangannya. Setelah dari Sabang secara tidak sengaja tatapan kami bertemu, lalu dia berjalan mendekat ke arahku.
"Hai, kak" sapanya, lucu sekali, aku hannya membalasnya dengan senyuman sehangat mungkin.
"Kakak mau beli bunga dariku?" tangan mungilnya mengangkat satu bunga mawar warna merah yang sangat indah.
Kuambil selembar uang berwarna biru dari saku celana, lalu kuberikan padanya, anak itu tampak sangat senang. Kemudian saat ia mengambil uang kembalian untukku dari sakunya secarik kertas tak sengaja jatuh ke tanah. Aku menunduk mengambil kertas itu, tulisan yang tertera di sana membuatku tertarik untuk membacanya.
365 Days, tanpa sepengetahuan anak kecil itu ku buka dan kubaca isinya.
365 Days
365 hari, entah yang ke berapa, Bu. Aku masih mencarimu
tahun baruku masih sama, tetap tanpa ayah dan ibu
Apa ibu tahu kalau aku sendiri
Apa ayah tahu bahuku sudah kuat sejak dini
Tak perlu di jawab, aku tahu kalian tidak perduli
Aku sebenarnya juga tidak ingin menyakiti diri sendiri
Dengan terus berjalan dan menggantungkan harapan
Namun aku tak berdaya pada rindu yang terus mengadu padaku
365 hari yang ke delapan
Tidak tahu apa aku masih bisa bertahan di 365 hari ke depan
Jika bisa aku ingin bertemu kalian
Dan merasakan hidup Bersama dengan Bahagia
Sekali saja beri aku satu suapan bu
Sekali saja antarkan aku sekolah yah
Jangan biarkan aku kelaparan
Jangan biarkan kakiku ini terluka karena batuan
RAMA
"Sakit sekali" lirihku meremas kuat kertas putih itu. Tanpa basa-basi ku tarik tubuh mungil yang berdiri di depanku, ku beri dekapan paling hangat yang mungkin belum pernah dia dapatkan. Mungkin sekarang dia bingung, mengapa aku menangis? dia tidak tahu kalau aku melihat masa kecilku padanya. Tidak tahu kenapa dunia memilih anak kecil yang tak berdosa untuk merasakan lara. Tangis ku semakin dalam saat anak ini membalas pelukku dengan usapan hangat di rambutku.
Malam itu aku melalui tahun baru dengan Rama anak kecil yang dibesarkan di panti asuhan, saat berumur tujuh tahun dia mulai menanyakan keberadaan orang tuanya, dia terus mencari ayah dan ibunya dengan berjualan bunga-bunga. Saat aku bertanya untuk apa kamu menjual bunga dia bilang
"Bunga ini harum, memberi ketenangan, jiwa kecil ku terlalu rapuh kak untuk terus bersedih. Aku harus tersenyum, mencium aroma bunga dan bertemu berbagai orang dengan berbagai selera membuatku terus tersenyum"
Lalu aku bertanya lagi, "Seandainya kamu benar-benar bertemu dengan ayah juga ibumu apa yang akan kamu katakan pada mereka apa kamu akan marah dan mengucapkan sumpah serapah?"
Dia tersenyum geli, membuatku langsung mengoreksi diri, apa ada yang salah dengan ucapanku tadi.
"Untuk apa aku marah, aku akan memeluk mereka dan mengatakan apa yang selama ini aku simpan, akan ku tumpahkan semua rasa rinduku. Aku sadar ini adalah masaku, aku akan menyesal, Kak jika menyia-nyiakan kesempatan yang telah di beri"
Mendengar ini membuat hatiku bergetar, bagaimana ada hati kecil sekuat itu, tak sedikitpun ingin protes, aku menyesal karena selalu mengeluh dari kecil bahkan sampai saat ini.
"Rama, siapa yang mengajari kamu, kamu berbicara layaknya orang dewasa?"
"Pembelajaran terbaik dari hidup adalah pengalaman kak" Percayalah aku tertampar dengan setiap bait kata yang keluar dari mulutnya.
“Terimakasih Rama kamu sudah menyadarkan kakak akan banyak hal” Setelah itu kukecup keningnya, kubiarkan dia duduk bersamaku, biarkan dunia tahu Tessa dan Rama adalah dua insan penuh luka yang dilahirkan di masa yang berbeda. Kami menyaksikan pergantian tahun dan matahari terbit pertama di tahun dua tiga.
Terimakasih dua-dua, terimakasih Januari dan bulan-bulan seterusnya. Kenyataan bahwa setiap manusia ada masanya adalah benar. Dan waktu terus berjalan sedikit-demi sedikit menerima kenyataan, menerima bahwa kehidupan adalah perjalanan yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan namun tidak ada yang kebetulan karena semua sudah direncanakan oleh tuhan.
Salatiga, 20 Desember 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar