"Jalan Pulang yang Terlupakan"
Oleh: Eka
Andriansyah
Malam
itu, hujan turun dengan derasnya. Langit gelap tanpa bintang, seolah menutupi
rahasia yang tersimpan di baliknya. Angin berhembus kencang, menerpa pepohonan
yang bergoyang tak berdaya. Di tengah kegelapan itu, seorang anak lelaki
berusia sepuluh tahun bernama Arman berjalan sendiri. Tas sekolahnya yang sudah
basah terayun-ayun di punggungnya. Matanya berkaca-kaca, tetapi air matanya
bercampur dengan air hujan yang membasahi pipinya. Arman tersesat. Ia tidak
tahu jalan pulang.
Arman sebenarnya tahu jalan pulang dari sekolah ke rumahnya. Namun, hari
ini ia memilih jalan pintas yang jarang dilaluinya karena ingin cepat sampai
rumah. Ibunya sudah berpesan agar tidak melewati jalan itu, tapi Arman
mengabaikannya. Kini, ia menyesal. Jalanan yang seharusnya familiar justru
terasa asing. Semakin ia berjalan, semakin jauh ia dari rumah.
"Kenapa aku
nggak dengerin kata Ibu?" gumam Arman sambil menahan tangis.
Tiba-tiba, dari
kejauhan, ia melihat cahaya lampu yang redup. Arman bergegas mendekat, berharap
ada orang yang bisa membantunya. Saat sampai di sana, ia melihat seorang kakek
tua sedang duduk di teras rumah kayu yang sederhana.
"Kakek,
boleh minta tolong? Aku nyasar," ucap Arman dengan suara gemetar.
Kakek itu
menatapnya dengan lembut. "Masuklah, Nak. Kamu basah kuyup. Nanti kena
flu."
Arman mengangguk
dan masuk ke dalam rumah. Kakek itu memberikannya handuk dan segelas teh
hangat.
"Namamu
siapa, Nak?" tanya kakek itu.
"Arman,
Kek."
"Kenapa
kamu sampai tersesat?"
Arman menunduk.
"Aku nggak dengerin kata Ibu. Aku lewat jalan ini biar cepet pulang, tapi
malah nyasar."
Kakek itu
tersenyum. "Kadang-kadang, kita merasa tahu segalanya, ya? Padahal, orang
tua itu punya alasan kenapa mereka melarang kita melakukan sesuatu."
Arman mengangguk
pelan. Ia merasa bersalah.
Setelah
berbincang sebentar, kakek itu menawarkan untuk mengantarkan Arman pulang.
Arman awalnya ragu, tapi ia merasa kakek itu bisa dipercaya.
"Kakek baik
banget. Kakek tinggal sendirian di sini?" tanya Arman sambil berjalan di
samping kakek itu.
"Iya, Nak.
Anak-anak Kakek sudah pada merantau. Kakek memilih tinggal di sini karena
banyak kenangan."
"Kenangan
apa, Kek?"
"Banyak,
Nak. Dulu, Kakek juga pernah seperti kamu. Nggak dengerin orang tua, akhirnya
nyasar. Tapi, waktu itu nggak ada yang nemuin Kakek. Kakek harus cari jalan
pulang sendiri. Sejak saat itu, Kakek janji bakal selalu bantu orang yang
nyasar."
Arman terdiam.
Ia merasa cerita kakek itu mirip dengan kejadian yang dialaminya hari ini.
"Kakek, aku
janji bakal dengerin kata Ibu dari sekarang," ucap Arman dengan tekad.
Kakek itu
tersenyum. "Bagus, Nak. Orang tua itu selalu punya alasan buat kebaikan
kita."
Setelah berjalan
cukup jauh, akhirnya mereka tiba di depan rumah Arman. Ibunya sedang berdiri di
teras, wajahnya penuh kecemasan. Begitu melihat Arman, ia langsung memeluknya
erat.
"Arman,
Nak! Ibu khawatir sekali! Kamu dari mana saja?"
Arman menangis.
"Maafin Arman, Bu. Arman nggak dengerin kata Ibu. Arman nyasar."
Ibunya mengelus
kepala Arman. "Yang penting kamu pulang dengan selamat. Lain kali,
dengerin kata Ibu, ya?"
Arman
mengangguk. Ia menoleh ke belakang, ingin berterima kasih pada kakek itu, tapi
kakek itu sudah pergi.
Temanggung, 16 Maret
2025