Lulu Lala di Pulau Rahasia

 Lulu Lala di Pulau Rahasia

Oleh: Asri Jaya Wiyanti


Di pulau kecil yang terletak di tengah samudra, letaknya begitu jauh tak ada manusia modern yang menjamahnya, dengan dikelilingi kabut tebal yang tak pernah surut. Saat matahari terbenam, warna oranye keemasan memancar menciptakan suasana magis. Pulau ini tak terdaftar dalam peta manapun, tak banyak pelaut yang mendekatinya. Namun, di pulau inilah kehidupan sederhana terbentuk, tapi syang, kehidupan yang dulu sejahtera kini berubah menjadi bencana. Kekeringan dimana-mana, tanah yang dulunya subur menjadi tandus dan penuh retakan. Tanaman hijau-hijauan mulai menguning, mata air bersih yang menjadi satu-satunya sumber air minum telah menipis. Kebahagiaan di pulau kecil itu kini hilang, tergantikan dengan rasa cemas dan was-was.


Riuh suara bersaut-sautan di pasar tradisional, seorang gadis dengan rambut terurai berjalan menenteng satu keranjang labu. Kekeringan yang tengah melanda kampungnya membuat dia mengkonsumsi labu beberapa akhir-akhir ini, hingga membuatnya muak.

"Sungguh kekeringan ini hampir saja membuatku gila," ungkap seorang wanita setengah baya yang berjalan mendahului sang gadis.

"Kekeringan ini berbeda dari biasanya, tapi tak perlu terlalu khawatir, di hutan ujung pulau ku dengar banyak buah-buahan lezat, serta bahan makanan yang tak akan pernah membuat kita kelaparan lagi," ujar wanita di sampingnya.

Mata gadis itu berbinar, dari belakang ia tersenyum lebar seolah telah menemukan harta tersembunyi, ia pun mempercepat tungkainya menuju rumah.

"Ibu, ibu." Gadis itu datang tergopoh-gopoh seraya memanggil sang ibu yang entah dimana.

"Mengapa kau kalang kabut seperti itu Kak Lula?" Gadis dengan wajah yang sama menyambut kedatangannya, di tangannya terdapat kacang kacangan yang sepertinya akan di rebus untuk makan esok hari.

Gadis bernama Lula itu tampak membungkuk ke depan dengan tangan memegang lutut, nafasnya terengah-engah seolah kehabisan tenaga. Di raihnya teko yang terbuat dari tanah liat di atas meja, kemudian ditegaknya air dengan rakus.

"Lulu, dimana ibu? aku membawa berita besar, ibu pasti akan senang mengetahuinya."

"Ibu sedang memilih sayuran di ladang, sepertinya tak banyak yang bisa kita makan kali ini, mengingat seluruh tanaman rusak akibat kekeringan," jelas gadis bernama Lulu, kedua tangannya sibuk mencuci kacang sangat lihai.

"Mengapa kalian berisik sekali? tak mau membantu ibu di siang bolong ini, lihatlah tangan ibu seperti ingin melepuh tersengat panas," ujar ibu seraya menunjukkan telapak tangannya yang nampak memerah bercampur tanah.

Lula mendekati ibu seolah ingin mengatakan sesuatu, "ibu, mulai hari esok tangan ibu tak akan lagi memerah, aku akan pergi ke hutan di ujung pulau, di sana ada banyak sekali sayuran hijau, serta buah-buahan yang sudah masak, aku akan mengambilkan semuanya untuk ibu."

Sang ibu terlihat tergiur, mengapa tidak, saat kemarau ini persediaan makanan mulai menipis, dua bulan pasca kekeringan, air sungai turut menyusut. Mendengar ucapan putrinya ia begitu bahagia. "Kamu benar Lula, namun tahukah kamu bahwa di hutan itu ada harimau yang ganas?"

"Mana mungkin ibu, pulau kita sangat aman, tidak akan ada harimau atau pun hewan buas lainnya. Tenang lah ibu, aku akan mengajak Lulu turut serta bersamaku, kita akan membawakan ibu banyak bahan makanan dari sana."


Hari berganti, menjelang matahari terbit sebelum panasnya di atas kepala, Lulu dan Lula mulai menapaki jalan setapak yang tandus, berbekal satu kantung besar berisi roti gandum serta satu klembung penuh air. Lulu berjalan di belakang sang kakak yang lebih mengetahui arah jalan menuju hutan.

Lulu mengedarkan matanya, mendapati kiri kanan penuh dengan pepohonan tinggi menjulang, akar-akar liar menjalar di sepanjang jalan, pohon jati yang begitu rimbun masih nampak hijau. Tak hanya itu ia mulai menemukan berbagai jenis bunga yang nampak elok tanpa ada tanda-tanda mati karena kekeringan. Sangat berbanding terbalik dengan di kampungnya, tanaman pun mati karena tanah yang menjadi tandus. Kicau burung menemani di panjangnya perjalanan, matahari mulai di atas kepala. Lulu mengusap peluh di dahi bersamaan dengan dahaga yang menyerangnya.

"Apakah masih jauh Kak Lula?" Lulu setengah berjongkok, mengeluarkan klembung dari kantong yang di bawanya, menegaknya sedikit. "Mungkin sebentar lagi," tukas Lula, ia ikut berjongkok di samping adik kembarnya, ia mengambil roti gandum bagiannya dan memakannya dengan lahap. "Cepatlah! beberapa saat lagi matahari akan segera tenggelam, kita harus pulang sebelum malam tiba," lanjut Lula, ia berdiri kemudian berjalan mendahului Lulu yang masih terduduk di belakang.

Lulu pun ikut berdiri, namun ia tak sengaja menginjak ranting pohon sehingga telapak kakinya mengucurkan darah. Gadis itu terduduk di dahan pohon yang tumabang, ia memegangi bagian kaki yang terluka, mukanya yang tenang berubah menjadi cemas menahan sakit.


Disisi lain Lula berjalan dengan penuh keberanian, ia menyingkirkan dahan-dahan serta dedaunan yang menghalangi jalannya, hingga ia berada tepat di depan batu besar, kedua alisnya hampir saja bertaut karena mendapati sesuatu bersinar di bawah batu, rumput-rumput ilalang sedikit menghalangi pandangannya, membuat ia ingin tahu apa yang bersembunyi di balik sana. Ia celingukan ke belakang, matanya bergerak cepat, kemudia berjalan dengan hati-hati. Disibaknya ilalang yang menghalangi cahaya itu dan ditemukannya kotak kecil yang ditutupi dedaunan, dengan cepat ia menyingkirkannya dan betapa terkejutnya dia tatkala menemukan sebongkah mutiara di dalamnya. Lula mencoba memegangnya penuh kehati-hatian. Bibirnya sedikit terpisah, ingin bersuara namun tertahan, ia meletakkannya kembali ke tempat semula dan menutupinya seperti awal.

Lula bangkit dari tempatnya, ia berlari terengah-engah menghampiri Lulu yang masih berada jauh di belakang. Ia sedikit terhenyak mendapati adiknya yang nampak pucat, dia pun berkata, “apa yang terjadi padamu Lulu, mengapa kau begitu pucat?”

“Aku tak apa, apakah kau sudah menemukan bahan makanan yang kita butuhkan? kita harus segera pulang begitu mendapatkannya.”

Lula melebarkan matanya, “oh, sudah, kau berjalanlah lurus ke selatan, sepertinya tadi aku melihat sayur-sayuran yang bisa kita makan, sementara aku akan ke utara untuk memetik buah dari pohonnya, jika kau sudah memetik beberapa, pulanglah terlebih dahulu agar ibu tak mencemaskan keadaan kita, aku akan segera kembali saat aku sudah memetik buah yang cukup.”

“Tapi bagaimana denganmu? Bagaimana jika sesuatu terjadi padamu?”

“Aku akan baik-baik saja, pulahlah, ibu pasti cemas jika kita berdua pulang setelah gelap.”

Pada akhirnya Lulu patuh, ia melakukan perintah sang kakak. Dengan berjalan sedikit terseok-seok dia berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Lula, tak membutuhkan waktu lama ia menemukan sesuatu yang dicari. Senyumnya mengembang kala menemukan ladang penuh dengan tanaman yang bisa dia makan, tanaman-tanaman itu begitu hijau, sangat segar hingga membuat Lulu merasa lapar. Ia mengeluarkan kantong besar kemudian mengambil tanaman-tanaman yang sekiranya dapat dikonsumsi. Begitu selesai Lula segera kembali, nemun ia sempat berhenti mengingat sang kakak yang belum selesai dengan tugasnya. Lulu menarik nafas gusar, langkah kakinya terasa berat tetapi ia harus kembali pulang, ibu pasti senang jika melihatnya membawa bahan untuk makan. Lulu yakin kakaknya pasti kembali, entah sebelum atau setelah gelap. Lula terbiasa berpetualang, kakaknya memiliki ambisi besar akan sesuatu dan selalu penuh dengan keberanian.


Di tempat yang berbeda, Lula tersenyum jahat, teringat akan mutiara yang ditemukan olehnya tadi, jika ia berhasil mendapatkan mutiara itu pasti ia akan menjadi orang paling kaya, ia akan menjadi gadis terpandang yang akan dipuja oleh semua orang. Membayangkan semua itu membuatnya begitu bahagia.

Lula berlari kencang ke tempat mutiara itu berada, sorot matanya berbinar bahagia, ia begitu tIidak sabar menjadikan mutiara itu menjadi miliknya. Dia menyibak tanaman penuh semangat, gadis itu segera mengambil kotak kecil yang tertutup rerumputan. Bibirnya terlihat meniup-niup tanah yang sedikit mengotori kotak. Ia tersenyum penuh kemenangan.


Awan gelap memenuhi langit, nampak mendung seperti akan turun rintikan hujan, kawanan burung mengepakkan sayap kembali ke sarang. Di tengah hutan yang mulai gelap Lula berlari kencang dengan rasa gembira, rambutnya yang terurai terombang-ambing tak tentu arah selaras dengan iramanya berlari. Namun siapa menyangka, di tengah kegembiraan ia tidak sadar terdapat bongkahan batu yang tertutup rumput di tengah perjalanannya yang mengakibatkan ia jatuh tidak sadarkan diri. Kotak mutiara itu terjatuh entah ke mana. Kebahagian itu sirna begitu cepat, sementara rintik air mulai berjatuhan membasuh dirinya yang tergeletak di tanah.


Kebahagian yang sekejap terkadang mampu membuat seorang buta dan egois. Dalam momen-momen itulah seseorang terkadang hanya memikirkan dunianya sendiri dan melupakan orang terdekatnya. Seolah-olah dunia hanya berputar untuknya sendiri. Namun pelajaran yang dapat diambil ialah, jadilah seorang yang bisa menjadi sinar bagi orang lain, bukan menjadi siluet yang menutupi.

Demak, 13 Maret 2025


Kataba

KATABA : Komunitas Pegiat Literasi Santri Ma'had Al-Jami'ah KATABA adalah komunitas pegiat literasi di lingkungan Ma'had Al-Jami'ah IAIN Salatiga yang lahir pada 16 Maret 2017. Komunitas ini terbentuk dari inisiatif seorang mahasiswa kelas khusus Internasional (KKI) program studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, yaitu Muhammat Sabar Prihatin. Pengalaman dan prestasinya di dunia literasi yang membludak, mulai dari prestasi lokal hingga internasional, membuatnya tergugah untuk menyalurkan bakatnya. Setelah sekian kali mengikuti berbagai event literasi, akhirnya ia merasa terpanggil untuk menciptakan sebuah wadah yang menaungi kompetensi orang lain. Pada suatu event bernama Pelatihan Jurnalistik Santri Nusantara yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 2017, ia merasa terinspirasi untuk menyalurkan bakatnya dengan cara memberi jalan terang bagi mereka yang ingin menemukan potensi diri. Diciptakanlah sebuah komunitas literasi bernama KATABA.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama