Penyamaran Seorang Pendosa
Oleh: Muhammad Minakhul Khikam
Isi Puisi / Cerpen
Aku duduk di ruang tamu rumahku yang luas, ditemani
cahaya lampu temaram dan kesunyian yang menyesakkan. Di rak kayu yang mengisi
dinding, berjejer penghargaan, sertifikat, dan foto-foto kebanggaanku—bukti bahwa dunia
menganggapku sebagai orang baik.
Orang-orang mengenalku sebagai pria terhormat. Aku
selalu berbuat baik, bersikap sopan, membantu yang lemah, dan menunjukkan
kebijaksanaan dalam setiap perkataanku. Tak ada yang meragukan citraku, tak ada
yang mengira bahwa semua ini hanya penyamaran belaka.
Tapi aku tahu siapa diriku sebenarnya.
Aku adalah pendosa.
Dosa yang kusimpan bukan sekadar kesalahan kecil. Ia
bukan sesuatu yang bisa dihapus dengan permintaan maaf atau amal. Ia adalah
noda yang melekat dalam jiwaku, sesuatu yang kuharapkan bisa kulupakan, tapi
selalu menghantuiku setiap malam.
Aku berpikir, mungkin jika aku melakukan cukup banyak
kebaikan, aku bisa menyeimbangkannya. Mungkin Tuhan akan mengampuni jika aku
menunjukkan bahwa aku telah berubah. Tapi semakin lama, aku sadar—dosa bukan sesuatu
yang bisa dinegosiasikan.
Aku masih ingat bagaimana semuanya bermula.
Dulu, aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah pria biasa
yang berusaha bertahan hidup di dunia yang keras. Hingga suatu hari, aku
melakukan sesuatu yang seharusnya tidak kulakukan.
Aku membiarkan seseorang mati(diri ini)
Aku bisa menolongnya. Aku bisa mencegahnya. Tapi aku
tidak melakukannya. Aku berpaling, membiarkannya jatuh ke dalam kehancurannya
sendiri. Dan dosa itu menempel padaku, tak peduli seberapa keras aku berusaha
melupakannya.
Bertahun-tahun berlalu, dan aku menjalani hidupku
dengan kepalsuan yang sempurna. Aku menjadi seseorang yang dikagumi, seseorang
yang dihormati, seseorang yang dipercaya. Tak ada yang tahu bahwa di balik
semua itu, ada ketakutan yang menggerogoti hatiku setiap malam.
Aku takut mati.
Karena aku tahu, setelah kematian, tidak ada lagi
penyamaran.
Aku bisa menipu dunia, tapi aku tidak bisa menipu
Tuhan. Aku bisa menyembunyikan dosaku dari manusia, tapi aku tidak bisa
menyembunyikannya dari pengadilan yang akan datang. Aku tahu, pada akhirnya,
aku akan berdiri sendirian, tanpa penghargaan, tanpa kekaguman, tanpa
kebohongan yang bisa melindungiku.
Aku sering bertanya-tanya, bagaimana rasanya menerima
hukuman yang seharusnya kuterima? Akankah aku menyesal? Atau justru merasa lega
karena akhirnya semua ini berakhir?
Aku tidak tahu.
Yang kutahu hanyalah aku takut. Takut pada saat di
mana aku harus mempertanggungjawabkan semuanya.
Jadi aku menunggu.
Menunggu dalam ketakutan yang semakin menghancurkan.
Menunggu ajal yang semakin dekat. Menunggu hari di mana semua kebohonganku tak
lagi berarti.
Kebumen,13 Maret 2025