Embun masih
menempel malu-malu di tali tambat perahu, sementara angin pagi meniup pelan di
dermaga. Dari kejauhan, laut tampak seperti lukisan tenang. Aku berdiri
mematung di pinggir Jakarta yang bising, tapi pikiranku melayang jauh ke satu
tempat: pulau kecil tempat Ayah tinggal.
Sudah delapan
bulan aku tak pulang. Dulu, saat melepas kepergianku, Ayah berkata:
“Kalau mau jadi
besar, kamu harus berani pergi jauh. Tapi jangan pernah lupa pulang.”
Tapi aku justru
terlalu sibuk mengejar dunia, sampai lupa pada dunia yang paling mencintaiku.
Sampai suatu
hari, kabar itu datang: Ayah sakit. Tubuhnya melemah, dan di pulau kecil kami,
akses pengobatan sangat terbatas. Hanya ada Puskesmas dan doa.
Aku ingin
pulang, tapi waktu tidak berpihak. Penerbangan terbatas, kapal pun baru
berangkat lusa. Di tengah panik, aku hanya terpikir satu hal: mengirimkan
sesuatu yang Ayah minta dua minggu sebelumnya—jaket tua miliknya, yang
dulu selalu ia kenakan saat mengantar aku sekolah. Bersama jaket itu,
kusisipkan sepucuk surat. Surat yang akhirnya menjadi pesan terakhirku.
SAT SET yang
Melampaui Batas
Aku mengemas
jaket dan surat dalam satu paket kecil. Lalu aku mendatangi kantor JNE
terdekat.
Petugas di sana
menyambutku hangat. Ketika tahu tujuan paketku adalah sebuah pulau kecil di
Sulawesi, ia terdiam sejenak. “Kami akan usahakan yang terbaik, Mas. Ini harus
transit Makassar dulu.”
Aku mengangguk.
“Saya titip harapan, Mas. Ini penting.”
Tanpa banyak
kata, ia menempel label “YES” dan “FRAGILE” di kotak kardus. “Kami akan buat
ini melesat... sat set.”
Kalimat itu
sederhana, tapi terasa seperti doa di tengah kecemasanku.
Hari-hari
berikutnya, aku terus memantau paket melalui pelacakan online.
Jakarta—Surabaya—Makassar—Kendari. Semuanya cepat. Sampai akhirnya status
berubah: “Dalam proses pengantaran ke alamat tujuan.”
Namun takdir
berbicara lain.
Sore itu,
adikku menelepon dengan suara parau. “Mas… Ayah udah nggak ada.”
Langit rasanya
runtuh. Tak ada air mata, hanya hening yang menggantung terlalu lama.
Paket yang Tiba
Setelah Kepergian
Dua hari
kemudian, paket itu tiba.
Kurir JNE lokal
datang menyeberangi laut dengan perahu pinjaman warga. Ia berjalan kaki dua
kilometer di jalan tanah untuk sampai ke rumah kami. Wajahnya lelah, namun ia
tetap tersenyum.
“Ini kiriman
dari Jakarta. Untuk Pak Amir,” katanya pelan.
Ibu tidak
langsung membuka paket itu. Ia letakkan di samping foto Ayah yang kini
disandingkan dengan bunga kamboja kering. Kami berkumpul. Sepi menyelimuti
ruang tamu.
Adikku membuka
kardus perlahan. Di dalamnya, jaket tua milik Ayah terlipat rapi. Dan sebuah
amplop kecil.
Paman
membacakan isi surat:
“Yah... maaf
aku belum bisa pulang. Tapi aku selalu membawa Ayah dalam langkahku. Terima
kasih telah jadi pelabuhan terkokoh dalam hidupku. Aku bangga menjadi anakmu.
Suatu hari nanti, aku akan pulang. Bukan hanya tubuhku, tapi juga hatiku.”
Tak ada
kata-kata. Hanya suara tangis. Ibu memeluk jaket itu seolah Ayah masih di
dalamnya.
Bahkan Pak RT
yang biasa tegar, hanya bisa menunduk lama.
JNE tidak
sekadar mengantar barang. Mereka telah mengantar pesan yang tak sempat
tersampaikan. Sebuah pesan yang akhirnya sampai, meski sang penerima telah
pergi.
Bukan Sekadar
Ekspedisi, Tapi Jembatan Makna
Sebelum pergi,
kurir JNE sempat berkata, “Saya hanya antar barang, Bu. Tapi semoga ini
berarti.”
Dan memang
berarti.
Kini, setiap
kali melihat logo JNE, aku tak hanya melihat jasa kirim. Tapi penghubung antara
yang tak sempat diucapkan dan yang tak sempat diterima.
SAT SET bukan
hanya soal cepat. Tapi juga soal niat baik, dedikasi, dan ketulusan yang
melampaui batas jarak dan waktu.
Penutup
Di usia ke-34
tahun ini, JNE bukan hanya menjadi pengantar barang, tapi juga penjaga
harapan, penyambung cinta, dan pengantar pesan-pesan yang tak
sempat diucapkan.
Mungkin aku
tidak sempat memeluk Ayah untuk terakhir kalinya. Tapi berkat JNE, aku sempat
menyampaikan kata-kata yang paling penting:
Aku
mencintainya.
Dan bagi kami
sekeluarga, itu lebih dari cukup.
#JNE #ConnectingHappiness #JNE34SatSet #JNE34Tahun #JNEContentCompetition2025 #JNEInspirasiTanpaBatas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar