Minggu, 26 April 2020

Bukan Kisah Pemburu Cinta


Bukan Kisah Pemburu Cinta
Oleh: Ratna Safitri


(Sumber foto ilustrasi : dokumen pengarang cerpen)
“Jika memang kau pergi, tak akan aku mengejar lagi. Jika aku ditinggal, memang sudah sepantasnya aku untuk ditinggalkan."

Jari kecil mengeluh kepada sajak yang dianyamnya dalam malam yang kian menggelap. Hidungnya berbisik dalam nuansa ketuhanan, memburu hukum kemanusiaan. Khansa Labibah memutar rasa yang lelah akan pahitnya asmara.

Rumah bertuan lemah ini masih menjamu di ruang tamu, menunggu datangnya Abang pengobat rindu. Dilanjutnya cerita kepada buku saku yang tertunduk malu, diam-diam sedang cemburu. Khansa tetap tak peduli dan tak mau tahu.
Digeluti ayat-ayat Tuhan dalam batin kian teriris, dipandangnya jajaran kalimat Allah. Ia berharap sakitnya segera terobati, karena dia tahu sakit yang seperti ini tak laku untuk menebus dosa yang semakin berhimpit.

...

“Tuhan, salah dan dosakah aku yang terus merindu dia yang masih menjadi milik-Mu? Tuhan, aku malu padamu, kini hatiku disibukkan dengan dia belum tentu jadi milikku. Hinakah aku perempuan yang terus meminta kepada-Mu? Tuhan, manusia yang sia ini tak mampu berkata jika bukan karena-Mu, maafkan aku yang selalu saja merepotkan-Mu dengan segala keluh kesahku, aku tak tahu harusnya apa diriku berseru pada-Mu. Tuhan, maafkan aku.”

“belum selesai tugasmu nak?” Ibunya datang seraya membelai lembut putri kesayangannya.

“ini bukan tugas kuliah Bu, aku sedang menggarap tugas yang lebih       berat.” Lebih dalam ia membenamkan rasa.
 “apa yang sedang kamu kerjakan nak?”
 “anakmu sedang merayu Tuhannya, Bu.”
Ibu miris melihat anaknya yang semakin tidak karuan.
“Ibu, Khansa sudah sholat, khansa puasa, tapi Khansa juga merindukan dia, marahkan Allah padaku ya Ibu? Allah hadirkan rasa ini padaku, tidak dengannya juga, ingin apa Allah dariku?”
...

    Tak lagi memandang ibunya yang terkekeh mendengar cerita gadisnya yang dilanda kerinduan. Khansa semakin erat memeluk buku saku yang kini turut menangis haru. Tenggelamkan kepalanya dalam peluk yang kini dingin membeku

“Selama nafas ini masih kau jaga, hidup pula cinta dalam hatimu, seperti cinta-Nya padamu yang tak akan pernah layu. Ibumu mencintai bapakmu, cinta dianugerahkan padamu Nak, seperti Ramadhan yang masih bersamamu.” Sambil membenahkan kerudung anaknya.

“Khansa, Allah ingin memberimu pahala dari sabar yang mungkin kian membakar. Tetap teguhkan imanmu, jangan biarkan dunia yang maya ini menguasai hatimu, mohon ampunlah pada-Nya agar cintamu mampu membukakan syurga bagimu.” 

 “Ibu, Ramadhan kali ini lembut membelaiku, setiap cinta-Nya semakin deras mengalir dalam tasbihku, rindunya tak lagi merajam jiwaku, kini dia hangat memelukku.”
...

Tamu yang dijamu menyedu teh yang kini asapnya meleleh, menelan ludah mengucap syukur atas senyum putri sulung yang sembuh dari murung. Kini perasaannya tak lagi bertarung. 

     Khansa menutup perbincangan itu dengan salam rindu bercampur sendu kepada ibu. Mengetuk pintu rumah Tuhannya dengan salam kehangatan. Dan disambut-Nya dengan penuh cinta.

Buku saku kini tersudut mendengar lantunan Al-Qur’an merdu yang dimadu rindu pada ibu. Lalu menangis bayangan Khansa kecil di ujung sujud subuh bersama orang-orang yang dirindu.

Khansa Labibah namanya, terbenam dalam sujud terakhir sholat maghribnya, sekarang dia bebas memeluk ibunya. Abang, yang disayang diikatnya dalam bayang.

Khansa Labibah namanya, berbahagia bersama Ramadhan yang sekian lama dirindunya. Khansa tak lagi murung digulung mendung yang menggunung. Khansa Bahagia bersama cinta wanginya syurga.

                                                     Boyolali, 22 April 2020

2 komentar: