Selasa, 26 Mei 2020

Residu Romantisme Ramadhan

Residu Romantisme Ramadhan
Oleh: Muhammad Iqbal Amar


Sumber foto ilustrasi: google )
 ,
Tidaklah semua badai benar-benar menghancurkan, bahkan bisa saja menguatkan. Ataupun bisa saja berubah sifat, dari yang semula destruktif menjelma menjadi konstruktif. Dan tidak semua yang menanggung rindu itu berat, ajaibnya bahkan membuat seseorang setingkat lebih kuat. Nyatanya, badai rindu yang tetiba saja muncul di pembuka bulan Sya'ban adalah penyusup yang paling paripurna. Menyelinap datang menyisipkan cinta, menyelinap pergi menyisakan duka. Kira-kira seperti itulah yang diekspresikan oleh sebagian orang melalui layar maya dan dunia virtual lainnya, yang katanya memang rindu dan ingin segera bertemu. Oalah, ternyata seperti itu.

Badai rindu telah meresidu di dalam hati beriman (bukan salatiga) untuk senantiasa  semangat menggapai rahmat dan mahabbah Rabbnya. Kata "Ramadhan" seketika meresonansi hal-hal sekitar, membuat konsentrasi dengan urusan  lainnya dikesampingkan, bak kekasih yang selalu diprioritaskan. Ini mau ramadhan, masjid dibersihkan. tinggalkan pekerjaan unfaedah saatnya fokus beribadah. ini mau ramadhan, sehari sebelumnya harus "padusan" membersihkan diri dari kotoran batiniyah dan lahiriyah, kira kira seperti itu muatan filosofisnya. ini juga mau ramadhan memperperbaiki pola makan sembari terapi kesehatan. Sambil berkaca ke ramadhan sebelumnya, ada juga yang ingin meningkatkan kualitas Ramadhannya. Segalanya terpaut olehnya, terpikat kemuliannya, terbius oleh keistimewaanya. Semesta pun mengakui bahwa ia layak untuk dikagumi, dirindui, dan dicintai. Sepertinya, begitu seharusnya.

Atmosfir bulan Sya'ban membangkitkan ghirah dalam membangun persiapan, hanya untuk sekedar memeluk hangatnya Ramadhan. Membangunkan saraf iman yang tengah rapuh atau bahkan putus. Menyatukan puing-puing cinta yang entah dibagi-bagi untuk siapa secara percuma, menuju cinta vertikal, kepada sang Maha Kekal. Pada intinya manusia kembali menjadi manusia dengan kemanusiaannya seutuhnya, berlomba-lomba membangun sisi integralnya. Dari Humanisme Antroposentris yang syarat dengan kepala kecongkakkan, menuju Humanisme Teosentris yang melibatkan Allah sebagai poros atau pusat pertolongan.

Langit pun ikut menghiasi hadirnya bulan Ramadhan, melalui presipitasi hujan yang menghidupkan, tetesan berkah yang membuat tanaman merekah. Lalu bintang yang bergelantungan mengayunkan pahala disetiap malamnya, malaikat sibuk mencatat bagi siapa saja yang mendirikan shalat, memberi berlipat bonus bagi siapa yang setiap goyangan mulutnya untuk bertadarus, memberikan ketenangan fikir bagi hambanya yang ingatanya senantiasa berdzikir, serta memberikan keteduhan dan ketenangan rasa, bagi setiap hambanya yang merasakan nuansa romansa dengan-Nya. Dan yakinlah bahwasannya tak akan pernah membuatmu kecewa. 

Dua puluh sembilan hari bersama Ramadhan tercinta, adalah proses reaktualisasi diri dalam rangka meraih pencapaian taqwa, tidak sedikit orang-orang meningkatkan frekuensi ibadah. Yang semula tak pernah, kini mulai terasah dan menata arah, dari yang semula jarang, kian ibadah semakin garang, bahkan hamba yang ibadahnya biasanya rutin, seketika mengencangkan ikatan dan mengayuh pedal lebih rajin. Kaum hawa yang memiliki kebiasaan ghibah, tiba-tiba menahan bahkan menjauhi dari sesuatu perkataan dan perbuatan unfaedah. Laki-laki dengan liar pandangan, seketika menunduk menghindari pandangan yang bukan-bukan. 

Tolong menolong semakin digaungkan kembali, berbagi takjil dan ajak sahur bersama. Puasa semata mengalahkan keegoisan, berpuasa bukan berarti mengeksklusifkan diri akan tetapi mengendalikan diri. Kita perlu membumikan jargon "kita berpuasa untuk menghormati yang tidak berpuasa". Implikasi puasa ada pada puncak spiritual dan keanggunan sosial, seharusnya kesibukan beribadah tidak menghalangi kwajiban beramah-tamah. ini salah satu keajaiban cinta dalam dua kata "Anaa Shooimuun". Kalimat tersebut seakan memberi energi dan isyarat bahwasannya selalu diawasi serta dicatat oleh Sang Malaikat.

Ramadhan memancarkan cahaya cinta universal, jauh dari segala bentuk parsial. Utuh bukan separuh. Nyata dan tak lagi fana atau fatamorgana. Begitu lengkap, cakap, dan tersingkap. Lentur dan begitu teratur. Jelas, lugas, jauh dari kata bias. Cintanya apa adanya, "gede" dan tak berkode. Tentunya siapa saja yang dapat meraihnya pasti tak kan pernah kecewa, Sedetikpun, se-incipun.

Rumpun rindu adalah himpunan bagian dari sebuah cinta. Cinta adalah relasi yang paling agung. Idealnya jika mencintai sesuatu begitu dalam, maka akan memberikan  sebuah keberanian, dan jika dicintai oleh sesuatu begitu dalam maka akan memberikan kekuatan. Kira- kira, hubungam mutualisme seperti itulah yang akan ditampilkan. Sadarkah kita bahwasannya kita sedang dicintai oleh Allah? dan ramadhan adalah sebuah transmisi cinta-Nya. Dan dengan cinta-Nya, kita diberikan kekuatan. Manusia yang mencintai Rabbnya tentunya akan diberikan keberanian. Keberanian mengungkapkan, mengekspresikan, mengaktualisasikan. Jika tidak demikian, perlu dipertanyakan cintamu. Punya hati pun juga punya mata, pernahkah mata hatimu dibuka?.

Ramadhan membawa pengalaman spiritual yang berbeda dengan bulan hijriyah lainnya. Beda bulan beda cara berjalan. Kalau ibadah  pilih-pilih bulan, bukankah kita telah curang?. Lagi-lagi dibawa oleh pemikiran pragmatis, usaha kita disesuaikan oleh apa yang dihasilkan. Diberi dua biji usaha kita dua langkah, diberi satu biji usaha kita cuma satu langkah. Bukankah dalam rumus matematika jika satu dibagi nol hasilnya tak hingga?. Mengapa tidak mengambil filosofi yang demikian? tidak usah mengharapkan apa-apa atas apa yang kita lakukan, pastilah diberikan balasan dan kenikmatan yang tak hingga dari arah yang tak disangka.

Apalagi setelah melewati Ramadhan begitu saja, merasa sudah menggapai kemuliaannya. Ini perihal keikhlasan bukan hitung-perhitungan. Setelah Ramadhan reda, kebiasaan di bulannya juga dijeda. Harusnya, ramuan ibadah di bulan Ramadhan yang sudah menjadi rutinitas 29 hari, perlu di revitalisasi dibulan lainnya. Ramadhan adalah substansi, bukan hanya sosok hitungan bulan di satu sisi. Pakaikanlah baju ramadhan dibulan-bulan lainnya. Menjadikan bulan-bulan lainnya diisikan spirit Ramadhan, itu adalah sebuah terobosan brilian orang-orang beriman. Ramadhan adalah esensi bukan sekedar eksistensi. Bawalah ruh ramadhan ke tiap-tiap bulan hijriyah, itu akan menambah kedalaman mahabbah. Jika tidak, rindu yang digemakan dibulan Sya'ban palsu. Harusnya Rindumu meresidu baik setelah ramadan berlalu sampai kelak kembali bertemu. Iya seperti itu, harusnya memang begitu. Ah, jadi malu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar