Rabu, 13 Januari 2021

Takut Kualat

 Takut Kualat 

Oleh: Ali Hamidi 

(Gambar ilustrasi berasal dari: google)


“Kau tahu kenapa bangsa kita tak pernah maju?” ia berteriak ke arahku.
“Mereka yang mengatur itu serakah, penakut, ambisius, hedonis!. Lihatlah anak muda, siswaku harapanku, tak salah kau sekolah di sini. Cepat sini duduklah”
Aku duduk dihadapannya lalu menyerahkan selembar surat.
“Ketahuilah alangkah indah visi misi sekolah ini Nak. Hafalkah kau?”
“Belum Pak.”
“Akan kuusulkan kepada sekolah agar pertanyaan Apa visi misi sekolah kita tercatat di ujian akhir sekolah nanti.”
Aku takut kualat tapi ketika melihat ekspresinya membaca surat yang kubawa, aku ingin sekali memotret dan menjadikan foto itu model kalender 2021.

Seorang guru yang kepalanya botak bersih seperti lampu taman itu tak suka memakai peci, kalau sudah datang membuka pintu, maka peci hitamnya yang menutupi semacam aurat tak resmi itu tergeletak di meja. Aku takut kualat jika menggambarkan dirinya secara jujur, namun ekspresi paling kuingat raut wajahnya yaitu ketika sedang membaca, bibirnya maju dengan otomatis sekitar dua senti, matanya menyipit dan kacamata bundarnya turun. Aku takut kualat kalau kubilang ekspresinya tak layak dipandang oleh anak-anak dan ibu hamil. Dan juga orang yang bermasalah pengelihatan sebab takut memperparah keadaan.

Kusarankan Kawan jika membeli kacamata, usahakan yang bening dan nampak dilihat oleh lawan pandang. Sedikit kasus namun terjadi pada guruku ini, dimana 30 menit lebih kami menatap beliau, lalu saling tatap dan betanya pada diri sendiri, kenapa ia tak kunjung bergerak. Beberapa detik kemudian dengan agak terkejut beliau membuka kacamata gelapnya lalu bilang,”Maaf sampai mana saya tadi”. Beliau tertidur begitu pulas bersender di kursi empuk dan kami tak bisa melihat sebab matanya tertutup kacamata gelap itu, bagian mengesalkan dimana ia bertanya sampai manasaya tadi padahal membuka kelas saja belum. Aku takut kualat jika menyebutnya memiliki penyakit aneh, dimana suatu hari nanti ada slogan dilarang tidur sembarangan jika penyakitnya itu menular.

Bukan Indonesia jika pemerintah, pejabat, pekerja dan rakyat tak aneh-aneh. Aku takut kualat jika berburuk sangka tapi ada yang aneh dengan guruku itu, selain tenaga pengajar ia juga menjabat sebagai Kepala Tata Usaha yang mengetahui tentang seluk beluk administrasi di sekolah.

Suatu keadaan yang dialami Negara kami saat ini yaitu diserang sebuah pandemi virus yang mendunia, televisi, koran dan media lain memberitakan keluhan tentang biaya kehidupan tapi memendam sangat dalam keluhan tentang pendidikan. Orang-orang kurang mampu sepertiku harus melawan kejamnya anak keturunan setan yang biasa kami sebut SPP, konon meski kegiatan belajar mengajar diganti dengan metode daring, anak setan si SPP itu tetap akan datang dan membuat perhitungan penuh terhadap kami.

Ibuku yang pendiam menulis surat untuk aku berikan pada Kepala Tata Usaha agar menjadi pertimbangan dalam keringanan pembayaran, secara ringkas aku harus berhadapan dengan guru yang kuceritakan di awal tadi Kawan.

“Mmm, pemotongan SPP ya” ia menaruh surat dan memandangku.
“Kau tahu Imam Nahrawi, Menteri Olahraga yang sekarang suka berpeci itu terjerat korupsi 26,5 Milyar Nak!!!. Bahkan untuk membeli bakso, bisa tenggelam desa kita kena kuahnya saja dan juga Setya Novanto yang dulu wajahnya memenuhi berita itu!. 2,3 Triliun uang korup itu, jika mengalir di desa kita, tak akan kau temui para nelayan, buruh, kuli dan tukang tambal ban lagi, mungkin mendadak sudah alih profesi jadi youtuber mereka itu” ia menyenderkan punggungnya di kursi.

“Memang di masa pandemi seperti ini banyak masalah terjadi di Negara kita, namun Pemerintah tak peduli rakyat! para Menteri ditangkap polisi satu persatu!. Kepala desa tak acuh entah kemana perginya dan dana-dana untuk rakyat di setiap tangan penyalur berkurang jumlahnya. Miris! Miris aku melihat mereka. Namun apa daya sekolah ini tak bisa apa-apa Nak, aku dan lembaga ini menurut saja pada atasan sana, seharusnya memang betul usulan Ibumu itu, kita tak berhak menarik SPP di saat peserta didik tak dapat apa-apa.”

Aku mulai menyingkirkan pikiran burukku tentang beliau.
“Permisi Pak saya pamit dulu” ujar seorang pria dewasa memakai pakaian coklat rapi, aku agak tahu kalau orang ini adalah pegawai pemerintah yang hendak membantu mengurus akreditasi sekolah.
“Iya Pak, bagaimana perkembangan di kantor desa selama masa pandemi ini?” Pak guru menyalami pria itu.
“Baik Pak, pemerintah melonggarkan pekerjaan, mereka sangat perhatian.”
“Sungguh hebat pemerintah kita, meski Negara Indonesia luas namun desa kita yang kecil dan di ujung tetap memperhatikan orang-orang seperti kita.” 
Aku menganga mendengar ungkapan itu, belum sampai lima detik lalu umpatan dan ciprtan air keluar dari mulutnya, kini berbalik ia menjilati ludah sendiri.
“Lalu apa rencana terdekat Pemerintah Desa?”
“Dana simpanan desa untuk pembangunan sementara akan dipakai untuk kebutuhan pangan masyarakat sementara, sembari mnunggu bantuan resmi dari pemerintah yang akan turun dua minggu ke depan”
“Wah saya kehabisan kata-kata untuk memuji para Menteri dan Pemerintah Desa yang bekerja sama bekerja dengan sangat merakyat, solusi yang cerdas dan sangat membantu.”
“Lalu bagaimana dengan sekolah ini Pak” pria itu bertanya balik.
“Sekolah mempunyai rencana agar ada pemotongan SPP sebagai upaya membantu pemerintah juga, saya sebagai seorang yang terlibat dalam lembaga pendidikan harus berani membuat usul, rencana dan gerakan perubahan demi kesejahteraan bersama Pak, terutama pendidikan.”


Pria dewasa itu keluar dan aku juga keluar serta merta tanpa pamit. Aku takut kualat tapi kalau bukan guruku sudah kucaci maki dia. Kalau aku tidak takut kualat maka akan aku jelaskan yang sebenarnya bahwa nama guru itu adalah Pak Mansur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar