Dokter Linglung
Oleh: Alan Maulana (Calon Presiden Keluargamu)
(Gambar ilustrasi diambil dari: google)
Aku berencana untuk pergi ke Jakarta. Rencananya aku akan mencari pekerjaan di sana. Karena ini zaman pandemi, aku harus pergi menemui dokter untuk menjalani rapid test. Menyebabkan aku harus berada di kursi tunggu pasien untuk menunggu giliran. Dan oh, seorang dokter cantik memanggilku. Dia menyuruhku untuk masuk ke ruang pemeriksaan.
"Pak Junet. Mari masuk," sang dokter memanggilku. Wajahnya begitu manis. Hidungnya mancung, kulitnya putih kemerahan.
"Oh, saya. Siap," aku beranjak dari tempat duduk. Pergi membuntuti si dokter cantik itu.
Di dalam ruang pemeriksaan, pandangan mataku terus tertuju kepadanya. Baru pertama kalinya aku melihat wanita secantik dia. Mungkin karena aku jarang keluar rumah. Kami berdua masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Dia menyuruhku untuk duduk di bangku empuk berwarna merah muda. Mulai mengeluarkan alat untuk memeriksaku.
"Dokter, anu. Eh. Sebentar ya. Saya coba menghubungi teman saya dulu. Saya mau tanya, kalau saya ini sebenarnya siapa?" aku mencoba untuk berpura-pura linglung. Aku meminta izin kepadanya untuk menelepon temanku. Niatnya aku akan berpura-pura menelepon. Aku mencoba sedikit menjauh darinya.
"Eh, kenapa? Pak? Yasudah, silahkan," dokter cantik itu mengernyitkan dahi. Dia merasa heran dengan kelakuanku yang seperti orang cemas.
"Haloo.. haloo.. ini, kamu teman saya kan? Nama kamu siapa, saya linglung. Lupa ingatan ini."
"Hah? Jadi, dia adalah istriku? Yang benar? Kamu serius?"
"Oh, senangnya hatiku bisa punya istri secantik dia."
Sengaja aku berbicara dengan suara yang sangat kencang. Tentu saja itu bertujuan agar si dokter cantik bisa mendengar apa saja yang aku katakan. Si dokter cantik itu terus memandangiku. Dia merasa penasaran, apakah benar aku ini hilang ingatan atau tidak. Aku menghampirinya, mengatakan bahwa dia adalah istriku.
"Temanku tadi berkata bahwa kamu adalah istriku. Aku senang mengetahuinya. Tapi, mengapa kamu tidak memberi tahu aku kalau aku adalah suamimu? Isteri macam apa kamu ini?" aku memarahinya. Dan, andaikan kamu saat itu berada di sana. Kamu pasti sangat terkejut melihatku seperti orang gila yang marah-marah tidak jelas. Aku sengaja membanting bangku yang tadi aku duduki, agar bisa meyakinkan sang dokter bahwa aku ini benar-benar linglung.
"Pak Junet, tenang. Pak. Saya belum menikah, dan bapak ini bukan suami saya," dokter cantik itu merasa sangat terkejut. Dia bersembunyi di bawah kolong meja kerjanya guna untuk menghindari kemarahanku.
"Seenaknya saja kamu berbohong. Yang aku ingat adalah bahwa temanku itu orang jujur semua. Aku ingat kalau aku ini adalah mantan gubernur, punya peternakan ikan cupang, budidaya keong racun, dan punya banyak sawah. Termasuk kerbau yang aku jual kemarin untuk membeli mas kawin,"
Aku sengaja berbicara dengan nada tinggi. Akan tetapi sengaja aku menjaga jarak dengannya, kau pasti tahulah. Bukan muhrim, dan hanya kami berdua yang ada di dalam ruangan itu.
Sebenarnya karena hal itulah aku berinisiatif untuk membuat ide marah-marah tidak jelas dan mengaku bahwa aku adalah suaminya. Hal itu bertujuan untuk membuat efek jera kepada pihak rumah sakit, agar supaya yang memeriksa pasien tidak hanya satu orang. Agar di ruangan itu banyak yang menjaga, supaya tidak terjadi hal-hal yang dapat merugikan.
"Pak satpam, tolong saya. Usir lelaki ini dari ruangan saya," dokter cantik itu berlari keluar ruangan untuk memanggil satpam. Berlari terbirit-birit, Karen mungkin takut kepadaku.
Pada saat dokter itu memanggil satpam. Aku berbaring di tempat tidur pasien. Berpura-pura tidur. Agar nantinya jika satpam bertanya kepadaku, aku akan menjawab bahwa aku tidak tahu apa-apa. Aku akan menjawab bahwa si dokter cantik itu hanya berhalusinasi.
"Mana orangnya, Non?" Seorang satpam dengan postur tubuh tinggi dan kekar masuk ke dalam ruangan. Kemudian disusul oleh segerombolan pasien, dan tentunya si dokter cantik itu.
"Itu, Pak. Yang sedang berbaring," dokter cantik itu juga masuk. Dia selalu menyembunyikan dirinya di balik badan tegap Pak Satpam.
"Heh, bangun kamu. Kamu yang membuat kekacauan di sini?" satpam itu bertanya kepadaku. Memaksa aku bangun.
"Apa, Pak? Dokter cantik itu yang berhalusinasi, Pak. Dia hanya menyuruh saya untuk berbaring di sini. Oh, apakah kamu mau menipu saya ya? Biar nanti saya akan tanggung jawab dan menikahimu, begitu?" aku bertanya kepada dokter cantik itu. Dia tidak bisa berkata apa-apa, selain mengenyitkan dahi.
Dia tidak bisa berkata, karena aku dibantu oleh banyak orang. Para pasien menyorakinya.
"Begini saja, Pak. Saya sarankan, harus ada yang menjaga ruangan ini. Minimal, tiga orang. Jangan hanya dia yang menjaga. Kasihan, Pak. Takutnya, ada hal buruk yang menimpa si dokter cantik ini. Okelah, saya mengaku. Memang, tadi saya membuat kekacauan dengan berpura-pura linglung. Dan bahkan saya mengaku-ngaku bahwa saya adalah suaminya. Maafkan saya. Akan tetapi, itu semua bertujuan untuk memberikan pelajaran kepada kalian semua agar lebih lagi menjaga keamanan rumah sakit ini. Biarlah ini menjadi gambaran untuk kalian. Mungkin cara saya salah, akan tetapi itulah, semoga bisa memotivasi kalian. Agar nantinya tidak ada kesalahpahaman, dan lainnya."
Aku mencoba menjelaskan kepada semuanya. Mereka semua memaklumi dan berterima kasih kepadaku. Dokter cantik itu juga tersenyum. Dan berkata: "terima kasih tuan sudah mengingatkan."
Aku menjawabnya: "Sama-sama. Jangan lupa juga untuk menutup aurat, pakailah hijab guna untuk menjaga kesucian dan kehormatanmu juga menutup pintu fitnah,"
"Insya Allah,"
Sang dokter tidak pernah berhenti tersenyum kepadaku. Mungkin sama, baru pertama kalinya dia melihat laki-laki sepertiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar