Rabu, 10 Februari 2021

Malam Jum'at: Abdul dan Nia

Malam Jum'at: Abdul dan Nia 

Oleh: Ali Hamidi


(Gambar ilustrasi berasal dari: google)

 

    Jika Kawan telah mengetahui ceritaku dan Nia hingga kami menikah, maka tidak akan aku ceritakan lebih jauh ke belakang mengenai kisah kami. Aku yakin setiap manusia memiliki cerita masing-masing dalam hidupnya. Sungguh beruntung peternak ikan di desa terpencil sepertiku dapat menikahi Nia yang cantik nan baik perangainya ini. Semoga pada hari-hari yang kita lalui bersama ini, aku tak akan menyakiti perempuan yang telah membuatku melupakan perempuan lain di dunia ini.

    Setelah acara resepsi penikahan kami selesai, inilah malam pertama pernikahan kami. Aku sengaja duduk di teras rumah tak berani masuk, sebab di luar rumah itu aku sedang senyum-senyum sendiri, ketawa-ketawa sendiri atas bahagia yang tak dapat kubicarakan kepada siapapun. Tak lama kemudian Nia menghampiriku, dengan memakai kerudung putih kesukaannya rasanya rembulam malam ini kalah terang dan ranum ketimbang pesona istriku ini.

    “Aku serius untuk perkataanku tadi Mas” tiba-tiba Nia berujar padaku.

    “Yang mana Nia?”

    “Aku tidak akan membuatkan kopi lagi kecuali untuk suamiku”

    Aku terdiam sejenak. Sebenarnya aku tau kalau cerita hidupku ini tidak dapat dipisahkan dengan warung kopi sebab di sinilah aku bertemu dengannya. Aku pikir-pikir kembali bagaimana caranya agar Nia tak menutup warungnya sendiri, tapi sekaligus melaksanakan perkataannya.

    “Nah, bagini saja Nia. Aku tidak mungkin menutup warung namun juga tidak mungkin menolak keseriusan perkatanmu. Bagaimana kalau kamu mengajariku membuat kopi, sementara nanti aku yang akan membuka warung ini ketika aku pulang mengurus ikan di tambak. Jujur saja, pasti banyak orang kecewa jika warung ini ditutup, apalagi kedua temanku Nurman dan Rohim” ujarku menawarkan solusi.

    Nia mengangguk senang, tapi tak lama kemudian dia mengerutkan kedua alisnya.

    “Setelah kamu memiliki istri, ternyata kamu lebih perhatian ya dengan kedua temanmu itu” nada bicara Nia agak ketus.

    Aku tak dapat menjawab pertanyaannya sebab memang kedua temanku itu sudah seperti bagian dari tubuhku, aku juga takut jika berdebat dengan perempuan. Dari pada membuatnya tak enak hati karena perkataanku, aku diam saja. Karena tak kunjung menerima jawaban, Nia meninggalkanku masuk rumah.

    Di sinilah sensasi menyenangkan yang aku alami untuk pertama kali. Aku ingat ketika Bapak masih hidup dulu, aku sering melihat ibuku memarahinya, setelah amarah Ibu mengendur. Bapak akan mencari bagaimana cara untuk menaklukkan amarah istrinya. Sejak mengamati hal itu, sering kusimpulkan sendiri bahwa selamanya lelaki tidak akan menang melawan perempuan, dan memang sebaiknya jangan menang sebab perempuan diciptakan tidak untuk dikalahkan, melainkan untuk disayangi.

   Aku masih senyum-senyum sendiri di teras rumah, malam pertama pernikahanku aku malah membuat istriku tak enak hati. Aku berpikir bagaimana caranya agar ia tak marah padaku. Kemudian dengan halus angin membelai rambutku yang panjangnya sebahu, dan kulirik bintang yang susun bersusun di langit sana, rembulan seperti berbisik padaku untuk cepat-cepat mengangkat sarung dan masuk ke kamar. Sekelabat kupadangi sandal Nia di depan pintu yang pernah kubetulkan diam-diam. Oh tiba-tiba ada ide masuk di kepalaku begitu saja.

    Sebelum memasuki kamar, sengaja aku cuci muka agar makin terlihat tampan, menggosok gigi dan berwudhu meski pada akhirnya akan batal, malam jum'at yang sempurna. Aku ketuk pelan pintu kamar dan duduk di sebelah Nia yang sedang membaca buku.

    “Nia?” suaraku halus.

    Ia tak menjawabku. Aku menggaruk-garuk kepala. Jantungku berdegup kencang dan keringat mulai bercucuran. Dengan cepat aku berdiri dan mematikan lampu sehingga Nia tak akan bisa membaca lagi, kemudian aku duduk di sampingnya. Tepat di depan tempat tidur kami, ada jendela agak besar yang masih terbuka. Pemandangan lagsung menuju rembulan dan kupegang tangan istriku. Aku berbisik padanya meminta maaf dan menawarkan dia sesuatu. Dia mengangguk malu, tanda setuju. Tanpa ba bi bu, aku memulainya.

    Memulai bercerita sebab aku menawarinya untuk mendengarkan sebuah cerita.

    “Oke, Nia. Sebelum kuceritakan padamu kujelaskan bahwa cerita ini hanya terjadi ketika aku remaja dulu. Sekarag aku sudah insaf” ungkapku.

    Nia agak terkejut, “Apa ini cerita tentang perempuan? Aku tidak mau mendengarkan!” suara Nia agak membentak.

    “Bukan Nia, bukan, ini tentang sandal.”

    Raut wajah Nia penasaran, memang apa yang dapat diceritakan oleh sandal, mungkin itu pikirannya.

    Kisah ini terjadi belasan tahun lalu, ketika aku, Nurman dan Rohim, tepat sekitar setengah jam sebelum sholat jum’at kami berkumpul di warung kopi pamanku. Kalau tidak salah kami masih SMA. Siang itu masing-masing dari kami memegang uang 50.000 rupiah hasil upah membersihkan perahu. Akhirnya siang itu, ketika cuaca sedang panas dan matahari sedang di ujung tanduk, pikiran kami dirasuki setan.

    “Bagaimana kalau kita bertaruh” ujar Nurman dengan semangat.

   “Bukan apa-apa Man, kan kau tahu diantara kita bertiga nilai rapotku paling tinggi” aku menyombong kepada kedua temanku.

    Rohim diam saja mengamati tingkah kami, tapi apapun yang kami lakukan dia selalu ikut.

    “Eh ujian sekolah itu tipu-tipu Dul, jangan kau sombong dulu. Aku melihat juara kelas pun membuka dan menyontek. Aku lebih unggul karena kejujuranku” bela Nurman.

     “Kejujuran yang mana maksudmu Man? aku tahu riwayat hidup dan karir malingmu itu” tambahku.

    “Sudah-sudah begini saja. Sendalku ini sudah tidak layak pakai, lihat” kami memandang sandal Nurman yang memang tidak ditakdirkan berjodoh sebab beda warna dan merek, “Nah kita taruhan, siapa yang membawa barang paling mahal akan memenangkan taruhan ini! Ayo kumpulkan dulu uangnya” Nurman menggenggam uang kami.

    Rohim tak berekspresi sama sekali, sebab memang ia diciptakan Tuhan menjadi manusia pendiam dan penurut, namun sialnya dia dipertemukan dengan teman seperti kami.

    “Oke, kalau barang seperti sandal, gampang” sanggupku pada Nurman.

    Kami sepakat memasrahkan uang kami bertiga pada Rohim sebab ia yang paling amanah, tapi dia juga ikut taruhan ini. Kami mulai berangkat lalu duduk di teras masjid menunggu mangsa, mengamati jamaah satu demi satu sambil melihat-lihat sandal mereka. Rohim pergi dulu sebab melihat sandal terompah kayu yang unik, aku tak heran dengan prilaku temanku yang satu ini sebab di pikarannya tidak ada mahal dan murah, yang ada hanya seni.

    Sementara Nurman kulirik sudah megikuti seorang bersandal kulit yang mahal, sial! Pasti Nurman tidak mengenali kalau yang diikutinya ialah Kepala Desa setempat. Aku yakin akan hilang sandal Kepala Desa itu setelah selesai rakaat akhir nanti. Sementara khotib hendak selesai kuputuskan saja untuk berjalan masuk, tiba-tiba mataku mengarah ke sandal gunung yang mahal bergambar singa melompat, agak besar dan sepertinya pas untuk kakiku. Aku yakin sandal ini harganya mengalahkan milik sandal Kepala Desa sebab pernah kulihat iklan sandal ini di televise, beli sandal gratis mobil remot. Sungguh bodoh penjual sandal itu, bisa-bisanya memberi barang gratis semahal itu.

    Karena dari awal niatku sudah buruk, baru rakaat pertama kulirik siapa yang mengimami sholat jum’at karena menurutku lama sekali. Kuintip dari cela bahu jamaah ternyata Kepala Desa calon korban Nurman, aku tertawa kecil membayangkan Nurman pasti menanggung dosa besar sebab mencuri sandal Kepala Desa ketika hari Jum’at, ketika sholat jumat dan korbannya adalah imam sholat jumat. Akhirnya Kepala Desa itu mengucapkan salam dan secepat kilat aku melangkah ke belakang, sambil melihat-lihat situasi barangkali pemilik sandal yang kuincar mengetahuiku.

    Aku berhenti sejenak, tak jauh dari pintu masjid kulihat seorang Kakek sedang kesulitan berjalan dengan tongkat. Karena agak iba aku membantunya berjalan dan menepi dulu agar tidak tersenggol jemaah lain yang berdesakan. Badan Kakek ini kurus kering dan mohon maaf, kakinya sebelah kanannya cacat. Tatapannya sayu dan ia sering tersenyum kepadaku. Hingga masjid mulai sepi, aku mulai menuntun kakek itu ke teras masjid, saat itu aku benar-benar melupakan niatku untuk mencuri sandal. Dalam hati aku sudah pasrah jika Nurman pasti pemenangnya.

    Pelan-pelan aku mulai menuntun Kakek ini menuruni lantai tangga masjid, aku agak terkejut ketika sandal yang kuincar dipakai oleh Kakek ini. Seketika aku berpikir betapa berdosanya aku jika mencuri sandal Kakek ini.

    “Terima kasih, namamu siapa Nak?” ujar Kakek itu.

    “Abdul Pak” jawabku. Sambil kulihat Kakek itu kesulitan memakai sandal, aku membantunya.

    “Semoga kebaikanmu ini dibalas oleh Allah SWT Nak” dia mengelus kepalaku, “Bersyukurlah engkau masih punya kaki yang sehat tidak sepertiku. Dengan melihatku, tidakkah kau tahu bahwa kaki itu barang yang sangat mahal Nak?”

    Aku tersenyum dan mengangguk cepat. Tak lama kemudian Kakek itu dengan susah payah berjalan menjauh. Memang sandal Kakek itu bagus, tapi kulihat-lihat aku lebih bersyukur melihat fungsi normal kedua kakiku.

    “Dasar anak setan!!!”

    Aku terkejut mendengar suara itu, takmir masjid berlari dengan pontang-panting berusaha memecut dan mengejar  dua orang remaja yang tak lain adalah Nurman dan Rohim. Secepat kilat mereka berdua mereka berlari ke arahku, sialan! Aku yang tak bersalah pun ikut melarikan diri, dilihat dari raut wajah dan kelabat jenggotnya, takmir masjid golongan islam radikal ini akan memecuti siapa saja dan tak akan menerima penjelasan apa saja, maka aku ikut melarikan diri. Kulihat Nurman tak beralas kaki sebab sandal Kepala Desa ia pegang kuat-kuat dengan tangan, begitupula Rohim dengan terompah kayunya.

    Sesampainya di warung kopi Nurman dan Rohim menaruh sandal curian di atas meja, nafas kami tak karuan dan keringat membasahi tubuh, kami tertawa cekikikan bersama.

    “Kutaksir sandal Kepala Desa ini haganya ratusan ribu Dul, Him” Nurman mulai membicarakan harga.

    Rohim tak mau kalah, katanya sandal terompah kayu yang dia bawa sungguh antik dan berseni.

    “Mana barangmu Dul?” ujar Rohim.

    Aku mengangkat kaki ke meja, “Kau tak tahu betapa mahalnya kakiku ini dasar bodoh!” Aku menggertak mereka dan menasihati mereka, kuceritakan apa yang kualami barusan pada mereka. Namun setan telah menguasai pikiran kedua temanku dan pada akhirnya Nurman pemenang taruhan kali ini.

    “Dulll!!!” suara Paman berteriak dari jauh.

    Coba tolong kau bantu aku mencari maling sandal di masjid, sandal terompah kayu kesukaanku hilang dicuri orang.

    Kami saling pandang dan dengan cepat kulempar sandal terompah di meja ke muka warung.

    “Maaf Paman, bukannya terompahnya di situ” aku menunjuk ke terompah curian Rohim.

    “Oh iya, bagaimana bisa ada di sini? Apa kalian lihat aku tadi ke masjid tidak memakai sandal?” tanya Paman.

    Kami mengangguk bersama, karena pamanku seorang pelupa yang parah, maka dia percaya.

    Nia menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar ceritaku, dia tersenyum cantik sekali. Setelah ceritaku usai, aku bergegas menutup jendela kamar dan tidak akan kutuliskan lebih rinci tentang apa yang terjadi diantara kami setelah itu. Pada akhirnya setiap malam sebelum tidur kami saling bertukar cerita, beberapa malam aku sempat minder sebab semua cerita yang ada dalam hidupku tak ada yang beres dan memotivasi, namun yang kusyukuri adalah ceritaku selalu membuat istriku tersenyum atau tertawa. Sungguh setiap pagi dan siang rasanya aku rindu untuk pulang dan ingin menghabiskan malam dengan istriku, berbagi cerita. Desa Ujungpangkah ini rasanya sudah sangat sempurna semenjak ada perempuan yang menjadi istriku ini.

 


1 komentar: