Malam Jum'at: Abdul dan Nia
Jika Kawan telah
mengetahui ceritaku dan Nia hingga kami menikah, maka tidak akan aku ceritakan
lebih jauh ke belakang mengenai kisah kami. Aku yakin setiap manusia memiliki
cerita masing-masing dalam hidupnya. Sungguh beruntung peternak ikan di desa
terpencil sepertiku dapat menikahi Nia yang cantik nan baik perangainya ini.
Semoga pada hari-hari yang kita lalui bersama ini, aku tak akan menyakiti
perempuan yang telah membuatku melupakan perempuan lain di dunia ini.
Setelah acara
resepsi penikahan kami selesai, inilah malam pertama pernikahan kami. Aku
sengaja duduk di teras rumah tak berani masuk, sebab di luar rumah itu aku
sedang senyum-senyum sendiri, ketawa-ketawa sendiri atas bahagia yang tak dapat
kubicarakan kepada siapapun. Tak lama kemudian Nia menghampiriku, dengan
memakai kerudung putih kesukaannya rasanya rembulam malam ini kalah terang dan
ranum ketimbang pesona istriku ini.
“Aku serius
untuk perkataanku tadi Mas” tiba-tiba Nia berujar padaku.
“Yang mana Nia?”
“Aku tidak akan
membuatkan kopi lagi kecuali untuk suamiku”
Aku terdiam
sejenak. Sebenarnya aku tau kalau cerita hidupku ini tidak dapat dipisahkan
dengan warung kopi sebab di sinilah aku bertemu dengannya. Aku pikir-pikir
kembali bagaimana caranya agar Nia tak menutup warungnya sendiri, tapi
sekaligus melaksanakan perkataannya.
“Nah, bagini
saja Nia. Aku tidak mungkin menutup warung namun juga tidak mungkin menolak
keseriusan perkatanmu. Bagaimana kalau kamu mengajariku membuat kopi, sementara
nanti aku yang akan membuka warung ini ketika aku pulang mengurus ikan di
tambak. Jujur saja, pasti banyak orang kecewa jika warung ini ditutup, apalagi
kedua temanku Nurman dan Rohim” ujarku menawarkan solusi.
Nia mengangguk
senang, tapi tak lama kemudian dia mengerutkan kedua alisnya.
“Setelah kamu memiliki
istri, ternyata kamu lebih perhatian ya dengan kedua temanmu itu” nada bicara
Nia agak ketus.
Aku tak dapat
menjawab pertanyaannya sebab memang kedua temanku itu sudah seperti bagian dari
tubuhku, aku juga takut jika berdebat dengan perempuan. Dari pada membuatnya
tak enak hati karena perkataanku, aku diam saja. Karena tak kunjung menerima
jawaban, Nia meninggalkanku masuk rumah.
Di sinilah
sensasi menyenangkan yang aku alami untuk pertama kali. Aku ingat ketika Bapak
masih hidup dulu, aku sering melihat ibuku memarahinya, setelah amarah Ibu
mengendur. Bapak akan mencari bagaimana cara untuk menaklukkan amarah istrinya.
Sejak mengamati hal itu, sering kusimpulkan sendiri bahwa selamanya lelaki
tidak akan menang melawan perempuan, dan memang sebaiknya jangan menang sebab
perempuan diciptakan tidak untuk dikalahkan, melainkan untuk disayangi.
Aku masih
senyum-senyum sendiri di teras rumah, malam pertama pernikahanku aku malah
membuat istriku tak enak hati. Aku berpikir bagaimana caranya agar ia tak marah
padaku. Kemudian dengan halus angin membelai rambutku yang panjangnya sebahu,
dan kulirik bintang yang susun bersusun di langit sana, rembulan seperti
berbisik padaku untuk cepat-cepat mengangkat sarung dan masuk ke kamar.
Sekelabat kupadangi sandal Nia di depan pintu yang pernah kubetulkan diam-diam.
Oh tiba-tiba ada ide masuk di kepalaku begitu saja.
Sebelum memasuki
kamar, sengaja aku cuci muka agar makin terlihat tampan, menggosok gigi dan
berwudhu meski pada akhirnya akan batal, malam jum'at yang sempurna. Aku ketuk
pelan pintu kamar dan duduk di sebelah Nia yang sedang membaca buku.
“Nia?” suaraku
halus.
Ia tak
menjawabku. Aku menggaruk-garuk kepala. Jantungku berdegup kencang dan keringat
mulai bercucuran. Dengan cepat aku berdiri dan mematikan lampu sehingga Nia tak
akan bisa membaca lagi, kemudian aku duduk di sampingnya. Tepat di depan tempat
tidur kami, ada jendela agak besar yang masih terbuka. Pemandangan lagsung
menuju rembulan dan kupegang tangan istriku. Aku berbisik padanya meminta maaf dan
menawarkan dia sesuatu. Dia mengangguk malu, tanda setuju. Tanpa ba bi bu, aku
memulainya.
Memulai
bercerita sebab aku menawarinya untuk mendengarkan sebuah cerita.
“Oke, Nia.
Sebelum kuceritakan padamu kujelaskan bahwa cerita ini hanya terjadi ketika aku
remaja dulu. Sekarag aku sudah insaf” ungkapku.
Nia agak
terkejut, “Apa ini cerita tentang perempuan? Aku tidak mau mendengarkan!” suara
Nia agak membentak.
“Bukan Nia,
bukan, ini tentang sandal.”
Raut wajah Nia
penasaran, memang apa yang dapat diceritakan oleh sandal, mungkin itu
pikirannya.
Kisah ini
terjadi belasan tahun lalu, ketika aku, Nurman dan Rohim, tepat sekitar
setengah jam sebelum sholat jum’at kami berkumpul di warung kopi pamanku. Kalau
tidak salah kami masih SMA. Siang itu masing-masing dari kami memegang uang
50.000 rupiah hasil upah membersihkan perahu. Akhirnya siang itu, ketika cuaca
sedang panas dan matahari sedang di ujung tanduk, pikiran kami dirasuki setan.
“Bagaimana kalau
kita bertaruh” ujar Nurman dengan semangat.
“Bukan apa-apa
Man, kan kau tahu diantara kita bertiga nilai rapotku paling tinggi” aku
menyombong kepada kedua temanku.
Rohim diam saja
mengamati tingkah kami, tapi apapun yang kami lakukan dia selalu ikut.
“Eh ujian
sekolah itu tipu-tipu Dul, jangan kau sombong dulu. Aku melihat juara kelas pun
membuka dan menyontek. Aku lebih unggul karena kejujuranku” bela Nurman.
“Kejujuran yang
mana maksudmu Man? aku tahu riwayat hidup dan karir malingmu itu” tambahku.
“Sudah-sudah
begini saja. Sendalku ini sudah tidak layak pakai, lihat” kami memandang sandal
Nurman yang memang tidak ditakdirkan berjodoh sebab beda warna dan merek, “Nah
kita taruhan, siapa yang membawa barang paling mahal akan memenangkan taruhan
ini! Ayo kumpulkan dulu uangnya” Nurman menggenggam uang kami.
Rohim tak
berekspresi sama sekali, sebab memang ia diciptakan Tuhan menjadi manusia
pendiam dan penurut, namun sialnya dia dipertemukan dengan teman seperti kami.
“Oke, kalau
barang seperti sandal, gampang” sanggupku pada Nurman.
Kami sepakat
memasrahkan uang kami bertiga pada Rohim sebab ia yang paling amanah, tapi dia
juga ikut taruhan ini. Kami mulai berangkat lalu duduk di teras masjid menunggu
mangsa, mengamati jamaah satu demi satu sambil melihat-lihat sandal mereka.
Rohim pergi dulu sebab melihat sandal terompah kayu yang unik, aku tak heran dengan
prilaku temanku yang satu ini sebab di pikarannya tidak ada mahal dan murah,
yang ada hanya seni.
Sementara Nurman
kulirik sudah megikuti seorang bersandal kulit yang mahal, sial! Pasti Nurman
tidak mengenali kalau yang diikutinya ialah Kepala Desa setempat. Aku yakin
akan hilang sandal Kepala Desa itu setelah selesai rakaat akhir nanti.
Sementara khotib hendak selesai kuputuskan saja untuk berjalan masuk, tiba-tiba
mataku mengarah ke sandal gunung yang mahal bergambar singa melompat, agak
besar dan sepertinya pas untuk kakiku. Aku yakin sandal ini harganya
mengalahkan milik sandal Kepala Desa sebab pernah kulihat iklan sandal ini di
televise, beli sandal gratis mobil remot. Sungguh bodoh penjual sandal itu,
bisa-bisanya memberi barang gratis semahal itu.
Karena dari awal
niatku sudah buruk, baru rakaat pertama kulirik siapa yang mengimami sholat
jum’at karena menurutku lama sekali. Kuintip dari cela bahu jamaah ternyata
Kepala Desa calon korban Nurman, aku tertawa kecil membayangkan Nurman pasti
menanggung dosa besar sebab mencuri sandal Kepala Desa ketika hari Jum’at,
ketika sholat jumat dan korbannya adalah imam sholat jumat. Akhirnya Kepala
Desa itu mengucapkan salam dan secepat kilat aku melangkah ke belakang, sambil
melihat-lihat situasi barangkali pemilik sandal yang kuincar mengetahuiku.
Aku berhenti
sejenak, tak jauh dari pintu masjid kulihat seorang Kakek sedang kesulitan
berjalan dengan tongkat. Karena agak iba aku membantunya berjalan dan menepi
dulu agar tidak tersenggol jemaah lain yang berdesakan. Badan Kakek ini kurus
kering dan mohon maaf, kakinya sebelah kanannya cacat. Tatapannya sayu dan ia
sering tersenyum kepadaku. Hingga masjid mulai sepi, aku mulai menuntun kakek
itu ke teras masjid, saat itu aku benar-benar melupakan niatku untuk mencuri
sandal. Dalam hati aku sudah pasrah jika Nurman pasti pemenangnya.
Pelan-pelan aku
mulai menuntun Kakek ini menuruni lantai tangga masjid, aku agak terkejut
ketika sandal yang kuincar dipakai oleh Kakek ini. Seketika aku berpikir betapa
berdosanya aku jika mencuri sandal Kakek ini.
“Terima kasih,
namamu siapa Nak?” ujar Kakek itu.
“Abdul Pak”
jawabku. Sambil kulihat Kakek itu kesulitan memakai sandal, aku membantunya.
“Semoga
kebaikanmu ini dibalas oleh Allah SWT Nak” dia mengelus kepalaku, “Bersyukurlah
engkau masih punya kaki yang sehat tidak sepertiku. Dengan melihatku, tidakkah
kau tahu bahwa kaki itu barang yang sangat mahal Nak?”
Aku tersenyum
dan mengangguk cepat. Tak lama kemudian Kakek itu dengan susah payah berjalan
menjauh. Memang sandal Kakek itu bagus, tapi kulihat-lihat aku lebih bersyukur
melihat fungsi normal kedua kakiku.
“Dasar anak
setan!!!”
Aku terkejut
mendengar suara itu, takmir masjid berlari dengan pontang-panting berusaha
memecut dan mengejar dua orang remaja yang tak lain adalah Nurman
dan Rohim. Secepat kilat mereka berdua mereka berlari ke arahku, sialan! Aku
yang tak bersalah pun ikut melarikan diri, dilihat dari raut wajah dan kelabat
jenggotnya, takmir masjid golongan islam radikal ini akan memecuti siapa saja
dan tak akan menerima penjelasan apa saja, maka aku ikut melarikan diri.
Kulihat Nurman tak beralas kaki sebab sandal Kepala Desa ia pegang kuat-kuat
dengan tangan, begitupula Rohim dengan terompah kayunya.
Sesampainya di
warung kopi Nurman dan Rohim menaruh sandal curian di atas meja, nafas kami tak
karuan dan keringat membasahi tubuh, kami tertawa cekikikan bersama.
“Kutaksir sandal
Kepala Desa ini haganya ratusan ribu Dul, Him” Nurman mulai membicarakan harga.
Rohim tak mau
kalah, katanya sandal terompah kayu yang dia bawa sungguh antik dan berseni.
“Mana barangmu
Dul?” ujar Rohim.
Aku mengangkat
kaki ke meja, “Kau tak tahu betapa mahalnya kakiku ini dasar bodoh!” Aku
menggertak mereka dan menasihati mereka, kuceritakan apa yang kualami barusan
pada mereka. Namun setan telah menguasai pikiran kedua temanku dan pada
akhirnya Nurman pemenang taruhan kali ini.
“Dulll!!!” suara
Paman berteriak dari jauh.
Coba tolong kau
bantu aku mencari maling sandal di masjid, sandal terompah kayu kesukaanku
hilang dicuri orang.
Kami saling
pandang dan dengan cepat kulempar sandal terompah di meja ke muka warung.
“Maaf Paman,
bukannya terompahnya di situ” aku menunjuk ke terompah curian Rohim.
“Oh iya,
bagaimana bisa ada di sini? Apa kalian lihat aku tadi ke masjid tidak memakai
sandal?” tanya Paman.
Kami mengangguk
bersama, karena pamanku seorang pelupa yang parah, maka dia percaya.
Nia
menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar ceritaku, dia tersenyum cantik sekali.
Setelah ceritaku usai, aku bergegas menutup jendela kamar dan tidak akan
kutuliskan lebih rinci tentang apa yang terjadi diantara kami setelah itu. Pada
akhirnya setiap malam sebelum tidur kami saling bertukar cerita, beberapa malam
aku sempat minder sebab semua cerita yang ada dalam hidupku tak ada yang beres
dan memotivasi, namun yang kusyukuri adalah ceritaku selalu membuat istriku
tersenyum atau tertawa. Sungguh setiap pagi dan siang rasanya aku rindu untuk
pulang dan ingin menghabiskan malam dengan istriku, berbagi cerita. Desa
Ujungpangkah ini rasanya sudah sangat sempurna semenjak ada perempuan yang
menjadi istriku ini.
Wah ceritanya bagus ka
BalasHapus