Menyikapi Keberagaman, Mewujudkan Hidup Damai
Oleh: Muhammad Taufiqi Abdillah
Masyarakat modern hari ini seringkali memikirkan relevansi agama yang berkembang hingga kini. Sebagian tetap berpegang teguh pada tradisi agama, sebagian lagi mengembangkannya, sebagian lagi mengadakan reformasi besar-besaran, dan tak sedikit yang menentang agama-agama dan memilih untuk tidak beragama.
Agama dalam sejarah seringkali mengalami pertikaian, dan sering kali menimbulkan teror. Mulai dari perang salib hingga lahirnya Islamic State. Pada era modern ini agama memainkan peranan penting terhadap kehidupan berjuta-juta manusia. Penyeledikan-penyelidikan menyatakan bahwa lebih dari 70% penduduk dunia menunjukan bahwa mereka menganut salah satu agama. Di Indonesia, agama mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara baik secara sosial, politik, kultural, dan ekonomi. Agama telah menjadi bagian gaya hidup di Indonesia yang terus berkembang dan mengalami inkulturasi dengan budaya setempat.
Pengahayatan agama sebagai doktrin dapat menciptakan fanatisme beragama. Fanatisme sendiri merupakan sebuah fenomena yang krusial dan penuh dengan konflik serta diwarnai kekerasan. Dalam KBBI fanatisme berarti keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama, dan sebagainya). Keyakinan yang kuat bukanlah sesuatu yang salah, tapi kenyataannya keyakinan itu dapat berubah menjadi tidak sehat saat orang mulai meyakini bahwa orang di luar kelompok agamanya sebagai musuh.
Islamic State sendiri menurut berbagai sumber yang beredar seperti yang kita ketahui memiliki cita-cita politis, bukan pertama-tama karena semangat keagamaan. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah: apakah ada fanatisme yang sehat? Pertanyaan ini tak mudah untuk dijawab mengingat banyaknya orang-orang fanatik yang tak ingin disebut fanatik. Hal ini wajar karena kata ‘fanatik’ lebih mengacu pada kata sifat yang negatif.
Terlepas dari perdebatan apakah benar agama menjadi faktor timbulnya kerusuhan sosial di negeri ini, fakta telah berbicara bahwa kerusuhan sosial yang terjadi salah satunya disulut oleh isu agama. Kerusuhan sosial ini tentunya sangat mengganggu kehidupan sosial masyarakat di Indonesia. Jika memang benar agama adalah sumber kerusuhan sosial, kita perlu mengklarifikasi lagi bagaimana cara setiap orang menghayati kehidupan beragama. Besar kemungkinan idealisme dan cita-cita yang dikatakan suci yang berakar dari fanatisme beragama adalah faktor terjadinya kerusuhan sosial di negeri ini.
Agama sungguh tidak layak untuk dipersalahkan, yang menjadi masalah ialah sikap fanatik yang menyulut api kebencian dalam diri individu maupun kelompok. Berbagai media cetak seperti surat kabar, majalah, buletin, dan sebagainya yang menyuarakan berbagai versi tentang Islam dalam kaitannya dengan kepentingan publik begitu “berhamburan” di masyarakat.
Munculnya gerakan-gerakan Islam yang menolak Pancasila bukan berdasarkan ajaran agama, melainkan pertama-tama didasari oleh ideologi yang mengarah pada cita-cita politik. Jadi, munculnya ekstremisme baik di Indonesia maupun di luar negeri merupakan utopia-utopia politik yang ditutup-tutupi oleh kedok agama. Celakanya para pelaku gerakan teroris tidak pandang bulu dan tidak segan-segan untuk mati bersama dengan orang-orang yang tidak sepaham dengan ideologi yang ditanamkan pada mereka.
Faktanya banyak umat Islam yang mengatakan bahwa terorisme itu bukan ajaran Islam, dan tidak mencerminkan iman kepada Allah. Hal ini terbukti saat pasukan Islamic State membombardir masjid-masjid yang isinya umat Islam juga namun tidak sepaham dengan ideologi mereka.
Islam sama halnya dengan agama lainnya mengajarkan kebaikan dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Kedamaian dan kerukunan merupakan panggilan umat Islam. Adanya beberapa gerakan ekstremis di Indonesia merupakan hal yang sama sekali berseberangan dengan ajaran Islam.
Di Indonesia sendiri kebebasan beragama sangat dijunjung tinggi dan dihormati. Namun, tak sulit untuk menemukan kasus-kasus di mana orang-orang yang berpindah agama akan dikucilkan oleh keluarga, kerabat, dan sahabat-sahabatnya. Hal ini sudah sering terjadi dalam masyarakat kita. Sebenarnya sikap menolak anggota keluarga yang berpindah agama merupakan sebuah bentuk intoleransi dan hal itu sebaiknya dihindarkan.
Adanya sikap-sikap seperti ini merupakan tanda bahwa agama lain di luar kelompok itu tidak lebih baik. Sikap seperti ini merupakan bentuk kebencian yang tidak rasional. Sangat tidak adil jika salah seorang anggota keluarga atau sahabat yang berpindah agama harus dikucilkan dengan kelompok agama sebelumnya.
Untuk mewujudkan “Bhineka Tunggal Ika” perlu diadakan sosialisasi mengenai hak dan kebebasan memeluk agama. Fenomena orang berpindah agama bukanlah hal yang asing lagi di telinga kita. Namun, kita juga harus berpikir bagaimana cara agar orang-orang dapat menerima dan menghargai keputusan orang tersebut. Hal ini memang tidak mudah, perlu keterbukaan dan keberanian. Pemahaman tentang nilai-nilai religius universal harus diupayakan supaya masyarakat kita dapat menghargai orang-orang yang berpindah keyakinan dari kelompoknya.
Toleransi ini kemudian menjadi sangat kompleks ketika banyak orang yang meyakini bahwa kehadiran kelompok lain yang berbeda dari agamanya akan sangat mengancam. Mengapa demikian? Kalau dicermati lebih dalam, di sini terjadi kompleksitas di mana para anggota agama takut kehilangan seorang anggotanya atau berkompetisi untuk membuat orang masuk dalam agamanya. Jelas hal ini merupakan sebuah kompetisi yang tidak sehat.
Perubahan sosial mestinya dilihat sebagai kesempatan untuk merekonstruksi pola pikir konservatif menuju ke pemikiran yang lebih terbuka dan mampu menerima perbedaan di tengah dunia yang semakin sekuler. Tersedianya layanan informasi dan berkembangnya internet membuat masyarakat sadar bahwa dunia ini benar-benar plural dan kompleks. Lambat laun akan terjadi pergeseran ideologi. Ada yang semakin konservatif dan menolak perbedaan, ada pula yang progresif dan terbuka terhadap perbedaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar