Akhir Sebuah Harapan
Oleh: Najwa Hakim
Di bilik kecil kumelihat senyummu, anggun manis terkemulai saat kupandang wajahmu. Dengan malu kumencoba bertanya kepadamu, “Dik, kapan kamu pulang lagi?”
Seperti berenang di samudra, kokoh seperti lintang di atas cemara. Kucoba mengulangi pertanyaanku, “Dik, mungkin suatu saat nanti kita akan bertemu, apakah kamu siap untuk menyambutku nanti?”
Namun kau hanya membisu tak mampu menjawab. Dalam hati kuberkata, “Heningan demi heningan di tiga tahun dalam malam terakhir ku melihatmu, dan sampai saat ini kau hanya membisu.”
Wahai pujaanku, sorot matamu yang indah dan kerudung yang selama ini masih kuhafal. Berwarna kuning kecoklatan raras dengan warna kulitmu. Seakan kuingin mencubitmu, walau mungkin kau tetap akan membisu. Sakit? Rasa angin berhembus pun kau tak punya. Hati? Apalah dayaku yang digantungkan secuil harapan masa depan? namun sangat kuhargai itu. Lama bertanya tanpa jawaban. Kini kusadar, aku hanya bertanya dengan dirimu yang tersisipkan kertas berbau tinta menggambarkan wajah dan setengah ragamu.
Matahari pun menampakkan wujudnya, jiwa tersingkap kain selimut hangat pun kembali beraktifitas. Pagi kumulai dengan seduhan kopi hangat buatan tangan hampa penuh harapan. Semoga hari ini datang keajaiban, dengan semangat bercampur rasa ngilu dikepala karena semalam mimikirkan dirinya. Kumencoba beranjak menggapai mimpi di kota. Selangkah demi melangkah maju kuberpasrah, ada percikan anonim dan bola majas puisi dipuing batu kota yang berbenturan. Plakk!!! Senggolan pantat besi yang menyakitkan membuatku terpental dan terbentur batu asmara. Entah dari mana aku menghayal, namun nyatanya aku melihat wajahmu yang hilang dengan hitam pekat di mataku… Tamatt…
Salatiga, 27 Februari 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar