Rabu, 14 April 2021

Bersatu Karena Malu

 Bersatu  Karena Malu

Oleh-oleh kata : Alan Maulana


Gambar ilustrasi dari Google

     Hai kamu. Selamat pagi, siang, dan sore kepadamu yang membaca ceritaku ini. Oke, sebelum aku ceritakan kisahku, alangkah baiknya kita berkenalan dulu. Namaku, Slamet, remaja yang saat ini sudah memiliki usaha sendiri sebagai tukang tambal ban. Meski badanku dekil, rambut ikal dan tubuh bau oli, begini-begini aku pernah merasakan yang namanya jatuh cinta juga. Semasa SMP dulu. Ya, masa-masa baru baligh lah. 

     Oh, iya. Kamu harus tahu tentang ini. Dulu sewaktu aku masih SD, ayah dan ibuku bercerai. Menyebabkan mereka semua sibuk dengan dirinya masing-masing. Sementara aku, ditinggal sendiri. Ibu menitipkanku pada nenek. Ayah katanya kerja di luar negeri dan sudah punya istri baru lagi. Sementara ibuku bekerja sebagai programmer di salah satu perusahaan yang ada di Taiwan. Luar negeri juga berarti. Mereka berdua itu, sibuk dengan dirinya masing-masing.  Jarang sekali ada di rumah. Apalagi ayah, dari semenjak bercerai dengan ibu sampai saat ini aku tidak pernah melihatnya lagi.  Hal semacam itu yang membuatku menjadi pendiam, pemalu, dan kadang sering melamun sendiri. Merasa iri kepada teman-teman yang keluarganya masih utuh dan baik-baik saja.

       Di sini aku pengin bercerita, cerita suka dan dukaku pada masa sekolah. Waktu pertama kali aku masuk SMP, aku merasa seperti anak yatim piatu. Tidak ada yang mengantarku untuk mendaftar ke SMP. Bahkan, baju seragam pun aku tidak punya. Untungnya ada tetangga baik hati yang sudi memberikan baju seragam SMP bekas anaknya untukku. Itu pun atas bantuan nenek. Akan hal itu, jujur aku merasa sedih sekali.  Seketika terlintas rasa benci kepada ibu, kepada ayah. Akan tetapi, rasa itu mampu diredam oleh nenek yang selalu menasihatiku.


  "Sudahlah, Met. Bagaimanapun dia adalah orang tuamu. Tanpa mereka, kamu tidak akan bisa lahir ke dunia" kata nenek, saat datang rasa marah dalam diriku.

"Seorang anak tidak minta untuk dilahirkan, Nek. Kalau begini takdirnya, Amet lebih baik tidak usah ada di dunia ini" jawabku dengan menyebut namaku dengan sebutan "Amet" itu memang kebiasaanku.

"Sudahlah, Met. Masih ada nenek. Tuhan yang maha mengetahui segalanya. Mungkin, karena adanya kamu di dunia ini, kamu bisa berpengaruh terhadap masyarakat. Mungkin nanti jasamu akan terpakai, Met" kata nenek, ku lihat air selalu keluar di matanya.

"Amet sedih, Nek. Amet jadi bahan ejekan teman-teman. Ke sekolah memakai sepatu bekas, tas dijahit, baju jelek dan lainnya Nek. Kalau hanya itu Amet bisa menahannya. Akan tetapi, kalau sudah ada teman yang berbicara tentang ayah yang kerja di luar negeri, lalu mengolok Amet karena anak korban perpisahan rumah tangga. Dan lainnya Amet tidak tahan, rasanya mau berhenti saja" aku menangis di dekapan nenek.

      Pendiam, pemalu dan kadang sering melamun. Itulah aku. di SMP aku sengaja duduk di kursi paling belakang dan paling pojok sekali. Menyendiri. Di sinilah, akan aku ceritakan awalnya. Awal pertama kali aku melihatnya. Jatuh cinta dengannya sampai kami berdua menjalin cinta. Saat itu, pelajaran sedang berlangsung. Aku duduk dan menyimak pelajaran. Semua siswa juga. Tiba-tiba ada suara ketukan pintu dari luar ruang kelas. Seorang guru masuk membawa anak perempuan seusiaku.

"Anak-anak. Di kelas ini kedatangan murid baru. Ini, dia yang sekarang berada di samping saya. Ayo, Nak. Silahkan perkenalkan namamu kepada teman-teman" ujar seorang guru yang tak lain adalah kepala sekolah. Tak perlu lah kau tahu siapa namanya, yang jelas dia berjenis kelamin perempuan.

"Hai, teman-teman. Perkenalkan namaku Citra, kalian bisa panggil aku citra. Untuk pertanyaan yang lainnya bisa di jam istirahat ya. Senang berkenalan dengan kalian"

         Entah rasa apa yang masuk ke dalam lubuk hati ini. Sangat senang bercampur bahagia ketika melihat wajahnya. Pipinya yang gemuk, kulit putih, dan ketika senyum terlihat lesung pipinya yang indah sekali. Aku yang pemalu ini mendadak menjadi salah tingkah. Bahkan aku jatuh pingsan ketika melihatnya. Seperti halnya si Ijat dalam serial Upin dan Ipin. Kurang lebih seperti itulah aku pingsan. Semua siswa-siswi menertawakanku.

"Eh, Slamet. Kamu kenapa? Belum makan? Sudah, bangun. Rapikan kembali ini kursinya berantakan. Dan, Citra nanti akan duduk di samping kamu ya?" gawat. Kepala sekolah membangunkanku. Menyuruh Citra untuk duduk bersamaku. Jujur, aku kaku sekali. Ingin rasanya aku pingsan kembali.

       Hari demi hari aku duduk bersama Citra. Kecuali hari minggu, karena libur. Namun meski begitu, kami berdua hanya sama-sama diam. Saling mencuri pandang, dan malu jika ketahuan. Ah senang rasanya, kadang kami juga saling bertukar senyum. 

  "Emm, anu. Slamet, eh. Kamu kok tidak pernah pergi ke kantin saat jam istirahat. Aku lihat kamu di kelas terus" tiba-tiba sebuah kata keluar dari bibir manis Citra. Sebuah kata dan suara yang selalu aku nantikan. Oh, indahnya.

"Kenapa ya. Mungkin aku tidak suka keramaian. Aku malu, lebih baik aku membawa bekal dan membaca buku di sini. Lebih tenang. Aku hanya ingin ketenangan saja mungkin. Kalau kamu?" jawabku, sekaligus memberikan pertanyaan.

"Kalau aku, malu makan di luar. Apalagi kalau dilihat orang banyak. Ah, malu sekali"  jawab Citra.

       Sejak saat itu juga aku merasa beruntung bisa ada di bumi. Aku merasa beruntung bisa bertemu Citra. Sejak saat itu pula aku merasa berterima kasih kepada ayah dan ibu yang telah melahirkanku. Dunia terasa indah begitu saja. Karena ada Citra, aku jadi punya teman bicara. Setiap jam istirahat kami selalu berdua, di dalam kelas. Tidak berdua, sesekali juga ada satu atau dua siswa-siswi yang makan di kelas karena membawa bekal. 

   "Kamu pendiam, Slamet. Kamu tahu cinta?"  Citra bertanya kepadaku, pada saat kami berdua. Saat itu aku dan Citra sedang berlomba membuat pesawat kertas. Nantinya kami terbangkan.  Pesawat kertas siapa yang terbangnya bagus, itulah pemenangnya.

"Eh, kok. Tiba-tiba tanya cinta. Ya, tahu lah. Memangnya kenapa?" jawabku, sambil melipat kertas.

"Hahaha. Aku kira kamu tidak suka perempuan. Buktinya banyak sekali siswi di sekolah ini yang mengirimi kamu surat, akan tetapi kamu malah buat surat itu jadi pesawat-pesawatan yang nantinya akan kamu buang ke tong sampah. Aneh, padahal mereka semua itu cantik loh."

"Jelas aku normal, Citra. Aku suka kepada salah seorang perempuan di kelas ini. Itu sebabnya aku menjaga hati. Telah ku tutup pintu hati ini hanya dia yang punya kuncinya. Hanya dia yang aku persilahkan untuk masuk."

"Ciee. Siapa sih orangnya. Si Euis, si Tini, si Edan, apa Surti?"

"Ahh, bukan. Ada, pokoknya."

"Eh, kok bukan semua. Di kelas ini kan perempuannya cuma ada lima orang. Salah satunya aku?"

"Salah sendiri kenapa kamu tidak disebut?"

"Jadi, kamu suka aku? Hah?"

"Ihh. Cuma mau mengingatkan, kalau absen itu nama sendiri harus disebut."

"Slamet. Jadi siapa dong, aku penasaran?"

      Ingin rasanya saat itu juga aku bilang "Kamu" akan tetapi aku rasa ini belum saaatnya. Aku takut jika aku ungkapkan, aku takut Citra tak mau lagi dekat denganku. Hanya Tuhan yang tahu rasa cinta di hatinya. Dan aku tidak. Maka dari itu aku harus bersiap-siap dulu untuk mengatakannya. Khawatir jika harapanku tidak sesuai kenyataan, aku akan jadi sakit lagi akhirnya. Aku akan tidak suka lagi dilahirkan ke dunia, aku akan kesepian lagi. 

"Bulan demi bulan, tahun demi tahun berlalu. Kami semua sudah menginjak di penghujung perpisahan sekolah. Aku berniat untuk memilih berhenti sampai SMP karena tidak tega melihat nenek. Ibu dan ayah tidak memperdulikanku. Mereka semua sulit dihubungi. Sampai pada akhirnya Tuhan menunjukkan jalannya kepadaku.  Suatu ketika aku menemukan sebuah dompet pada saat aku pulang sekolah. Kulihat isi dari dompet itu barangkali ada kartu identitas pemiliknya. Karena aku berniat untuk mengembalikan dompet itu kepada pemiliknya. Dan, oh alangkah beruntungnya aku. Ternyata dompet yang aku temukan itu adalah milik ibuku sendiri. Dari situ aku bisa tahu alamatnya, dari situ pula aku bisa menemuinya.

"Halo, selamat pagi Pak. Apakah benar ini rumah Ibu Zuma?" aku bergegas pergi menuju alamat rumah ibu. Sesampainya di depan gerbang rumahnya aku melihat ada seorang satpam yang sedang mengajari seorang perempuan belajar Matematika.

"Iya, betul ini rumahnya Bu Zuma, ada apa ya?" tanya satpam.

"Eh, Slamet. Kok bisa tahu rumahku?" aku merasa sangat terkejut, karena ternyata perempuan yang tadi adalah Citra. Dalam benakku bertanya-tanya. Hah, rumah Citra? Berarti Citra itu anak dari ibuku juga. 

Apakah Citra itu adik tiriku? Ya Tuhan, kalau benar, apa jadinya aku. Jatuh cinta kepada adik tiriku sendiri.

"Eh, Citra. Aku mau bertemu Ibu Zuma. Apakah ada?" 

"Oh, Ibuku. Ada di dalam. Ayo masuk. Kok bisa tahu ibuku?"

"Itu tidak penting Citra, ayo cepat antarkan aku ke ibumu."

    Jujur aku merasa sangat pilu sekali ketika mendengar perkataan Citra. Mengaku bahwa dia anak Bu Zuma, yang tak lain adalah ibuku. Aku jelas sangat mencintainya. Langkahku lemas. Kubuka dompet itu dan aku melihat lagi foto dan kartu identitasnya, dan benar aku tidak mungkin lupa bagaimana wajah ibuku.

"Bu, ada yang cari ibu. Temanku, Slamet" Citra mengantarku masuk ke dalam rumah. Di dalam aku melihat ada seorang perempuan yang tengah duduk dan sibuk membaca koran. Wajahnya tertutup koran, menyebabkan aku tidak bisa melihat jelas wajahnya.

"Suruh dia masuk saja, sayang."

    Aku dan Citra masuk ke dalam rumah. Seorang perempuan itu menghentikan kegiatan membacanya. Beranjak bangun dari sofa berwarna hitam tempat yang tadi ia duduki, dan matanya terus menatapku sampai tak kuasa menahan air mata.

 "Apakah benar ini anakku, Slamet? Oh, sudah lama sekali kita tidak bertemu Nak. Maafkan ibu, karena ibu kamu jadi begini" perempuan itu bangkit dan berjalan ke arahku. Kedua tangannya melingkar di tubuhku. Dia memelukku. Pelukan hangat seorang ibu yang baru kali ini aku rasakan.

"Sudah, jangan coba mengeluarkan air mata buaya. Ibu, seenaknya saja minta maaf. Setelah lima tahun tanpa kabar dan membuat aku menderita. Di rumah yang megah ini, tidak ingatkah ibu kepada anaknya? Aku sangat benci ibu"  ujarku dengan nada yang membentak. 

"Hah, apa? Ibu. Jadi, kamu anak ibuku juga? Berarti itu artinya kalau kamu adalah kakakku. Slamet, padahal aku sangat cinta kepadamu. Ini, Bu. Ini orang yang selalu aku ceritakan siang dan malam dengan ibu. Pantas ketika ibu mendengar nama Slamet ibu selalu menjatuhkan air mata dan beralasan kalau kelilipan lah, ingat masa muda lah. Bu, mengapa ibu tidak pernah bilang sebelumnya kalau ibu punya anak selain aku? Bu, ibu jahat"  sergah Citra sambil berlari pergi menuju kamar dan membanting pintu kamarnya.

"Ibu, bisa jelaskan semuanya. Nak. Tenanglah."

Aku merasa sangat hancur. Rasanya ingin mengakhiri hidupku sampai di sini saja. Ibu mengajakku ke sebuah paviliun samping rumahnya. Katanya ada hal  penting yang perlu ibu jelaskan kepadaku. Aku membuntutinya dengan langkah lemas sempoyongan.

"Nak. Sebelumnya, maafkan ibu yang tidak pernah mengabarimu, tidak pernah menengokmu dan tidak pernah memberi perhatian kepadamu. Ibu begitu karena satu alasan, Nak.  Ibu akan jelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Semua berawal ketika ibu meninggalkanmu untuk mencari pekerjaan. Ibu pun menemukan pekerjaan sebagai penjaga toko emas milik orang tua Citra" ujar ibuku.

"Hah? Berarti Citra bukan anak kandung ibu?" tanyaku.

"Nanti dulu. Jangan memotong pembicaraan ibu dulu. Biar ibu lanjutkan semuanya. Suatu hari orang tua Citra menyuruh ibu untuk berjaga di malam hari. Karena khawatir akan ada perampokan. Dan, benar saja. Malam itu terjadi perampokan besar-besaran yang terjadi di toko ini. Saat itu Citra masih seusiamu waktu di tinggal ibu ke sini Nak, yaitu masih kelas satu SD. Dia terkejut mendengar suara ledakan dari luar toko. Perampok menggunakan peledak untuk bisa membuka gembok. Ibu panik ketika itu. Ayah dan ibu Citra baru saja datang. Ibu melihat mereka dari dalam, di jendela. Ibu melihat jelas bagaimana perampok keji itu membantai ayah dan ibu Citra. Ibu terkejut dan langsung melempar apa saja. Dimulai dari pot bunga, pemukul kasti bahkan barbel. 

        Menyebabkan para perampok itu juga wafat. Polisi datang ke rumah ini dan mencari ibu. Saat itu nenek Citra menuyuruh ibu untuk pergi karena katanya ibu jadi buronan polisi. Itu sebabnya ibu tidak pernah menemuimu, Nak" ibuku berbicara panjang lebar. 

"Lalu, kenapa Citra bisa menyebut ibu sama seperti aku menyebutmu ibu?" tanyaku.

"Itu karena ayah dan ibunya selalu sibuk. Citra selalu diurus oleh ibu, Nak. Maka dari itu dia menyebutku ibu" jawabnya.

"Semuanya sudah jelas, Bu. Masalah ini harus kita selesaikan. Pertama, kita jelaskan ke Citra apa yang terjadi. Ke dua, kita pergi ke kantor polisi untuk mencabut kasus ibu" kataku, semangat memeluk ibu. 

    Akhirnya semuanya sudah jelas. Setelah tahu semuanya, karena hal itu Citra merasa malu karena sudah mengungkapkan semua isi hatinya kepadaku. Ada kesedihan juga di matanya saat ibu menjelaskan kalau orang tuanya sudah tiada. Bahkan hampir semua keluarganya. Neneknya wafat ketika Citra pertama masuk SMP. Neneknya mempercayakan semuanya kepada ibuku dimulai dari mengurus Citra, dan lainnya. Itu karena Citra sudah tidak memiliki keluarga lagi. 

"Hei. Kok jadi pendiam sih, malu yaa? Hahaha. Ada beruntungnya juga aku menemukan dompet. Padahal aku tadi malu-malu memungutnya. Banyak orang yang lewat"  kataku kepada Citra.

"Mmm, aah. Jadi malu" jawab Citra.

"Oh, hahahaha. Kenapa malu memungut dompetnya?" tanya ibu.

"Itu, Bu. Pas aku ambil dompetnya aku pura-pura pakai sepatu. Padahal sebelumnya sepatu sudah aku pakai. Terus aku injakkan sepatu itu ke dompet ibu. Ada yang tanya begini, eh kenapa copot sepatunya? Kan jalan tidak becek. Aku jawab. Mau latihan jadi orang Baduy. Ada lagi yang lewat, dia bilang kenapa pakai sepatu kok lirik kanan lirik kiri melulu. Aku jawab, lagi perang sama semut. Makannya lirik-lirikan"

"Ihh, aneh deh. Bu, apa Citra boleh panggil terus panggil denga sebutan Ibu?" tanya Citra kepada ibu.

"Tidak boleh ah. Ini kan ibuku, nanti saja, kalau kamu sudah jadi isteriku. Hehe."

"Hmmm. Iya deh, iya."

          Semuanya berjalan dengan baik dan senang. Kami semua dipertemukan kembali dengan rasa malu. Aku bisa menemukan cintaku dengan rasa malu. Citra malu mengungkapkan, akan tetapi terungkap juga. Ibu kembali bertemu ayah pada saat di kantor polisi. Ternyata ayah menjadi polisi dan meminta untuk rujuk kembali. Dengan malu-malu ibu menerimanya kembali. Saat itu aku jadi tahu apa sebab ayah dan ibu bercerai. Itu semua hanya karena ibu memasak nasi goreng yang ia taruh di lemari yang kebetulan banyak kecoanya. Salah satu kecoa itu ada yang mati tepat di atas nasi goreng yang akan disantap oleh ayah untuk jadi hidangan sarapan. Oh, Tuhan. Hal semacam itu membuatku merasa sangat terkejut.

"Ini jadi pelajaran untukmu, Citra. Nanti kalau kamu buat nasi goreng langsung simpan ke rak tempat makanan saja. Yang bersih, jangan sampai ada kecoanya. Kita ke paviliun sana yuk?"  aku mengajak Citra pergi ke paviliun. 

"Ayo, mmm."

       Saat itu pula aku ungkapkan semuanya. Saat itu pula aku ungkapkan rasa. Citra jadi milikku. Tidak ada halangan untuk aku merebut hatinya. Ternyata kami suka sama suka. Senang rasanya. Kami berdua melanjutkan perjalanan menuju keluarga bahagia. SMP sekolah bersama, SMK sekolah bersama, kuliah pun masuk di perguruan tinggi negeri yang sama akan tetapi dengan jurusan yang berbeda. Aku memilih jurusan Teknik Mesin. Sedangkan Citra memilih jurusan Kedokteran. Kami lulus bersama, tanpa hambatan. Dan sekarang kami jadi keluarga. Aku membuka bengkel dan Citra membuka klinik. Semuanya sama-sama memperbaiki kesehatan. Aku memperbaiki kesehatan kendaraan. Citra memperbaiki kesehatan jiwa yang mengendarainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar