Sabtu, 24 April 2021

Dari Sarjana Agama ke Pelayan Warung Kopi

 Dari Sarjana Agama ke Pelayan Warung Kopi

Oleh: Ali Hamidi


(foto ilustrasi berasal dari: google) 



Sebenarnya aku agak malu jika menulis cerita ini, akan tetapi kemaluanku itu. Maaf, maksudku rasa malu itu lama-kelamaan menghilang sebab aku mencintai pekerjaan baruku. Mungkin sejak awal aku kesal dengan hinaan orang pendek, jelek dan tidak berakhlak itu. Akan tetapi sejelek dan seburuk apapun kelakuanya ia tetaplah seorang keluargaku, pamanku lebih tepatnya. Kami ialah masyarakat desa di ujung pulau jawa bernama Ujungpangkah. Jangan kalian cari nama desaku itu melalui peta sebab aku yakin tak akan kelihatan.


Dulu aku berpikir setelah lulus kuliah, secepatnya aku akan mendapat pekerjaan dan segera menikah dengan perempuan sejenis Dewi Persik atau Cupi Cupita. Aku sudah berencana untuk memamerkan istriku jika itu terjadi, berkeliling desa dan memeluknya dengan tangan kiri, sementara tangan kananku akan sibuk menyetir sepeda.


Apalah dayaku, yang pada akhirnya hanya seorang sarjana lulusan kampus agama islam yang menekuni karirnya di bidang per-kopian, menjadi kacung Pamanku. Nyatanya untuk menjadi pegawai di kota sana, banyak persyaratan yang diajukan Menteri Ketenagakerjaan setelah Menteri Pendidikan telah menuntut rakyat belajar hingga sarjana. Akibat malu dan putus asa yang berkepanjangan, kuputuskan pulang ke rumah dengan menggeluti pekerjaan yang ada, tibalah nasibku menjadi kacung Pamanku sendiri.


“Saya sudah lulus kuliah Paman, sebelum pergi ke Jakarta mencari kerja. Hendaknya saya ingin menikmati desa saya ini dulu” ujarku saat pertama kali melamar pekerjaan, di Pamanku sendiri.

“Cepat juga kuliahmu ya, bukankah baru 14 bulan kau kuliah”


Aku mengerutkan alis, Pamanku yang pikun ini tak bisa kubantah. Tapi kukasih tau pada kalian bahwa kuliahku adalah normal 4 tahun, bahkan IPK-ku cumlaude.

“Memang akhir zaman seperti ini banyak pemuda gagal Dul” ujarnya sinis, dan agak pedih hatiku mendengarnya. Kemudian kata-kata sampah keluar dari mulutnya, “Kau harusnya malu pada kakakku, ibumu itu. Tanyakan kepadanya bahwa ketika kau kecil dulu, aku yang sering mengajarimu mengaji, mengajari agama dan mengadzani kupingmu jika kau menangis atau kumat nakalmu. Sekarang malah sial begini nasibmu” di atas kursi goyangnya Paman bersabda.

Esoknya kutanya Ibu, jawabannya malah sebaliknya. Paman malah sering mengajakku bermain adu ayam di rumahnya, hingga aku sering bolos mengaji. Paman juga tak pernah adzan di telingaku seperti ceritanya, sebab kata Ibu, Paman pernah adzan di mushola namun lupa urutan kalimat adzan. Ia malu sebab ditertawakan seluruh desa termasuk pelanggan warungnya, dan sejak itu ia trauma untuk adzan lagi.

“Mungkin di sini saya bisa bantu-bantu di warung ini Paman?” pintaku agak memelas.

“Nah benar Dul, warung kopi ini punya kriteria sendiri dalam memilih pegawai. Salah satunya minimal S1. Kau bisa menjadi manajemen dan distributor pasar, juga mengurus anggaran keluar-masuk penghasilan. Bahasa ringkasnya pelayan warung” ia mendongak sombong. Ingin kusentil batang jakunnya namun aku benar tak berani, takut kualat.

“Kapan saya bisa mulai kerja Paman?”

“Eh tunggu-tunggu hafalkah kau juz 33 dalam al-Qur’an?”

Aku terkejut, “Maaf Paman, al-Qur’an itu 30 juz”

Paman yang tak mau mengakui kepikunannya itu menyahut. “Aku hanya mengetesmu, syukurlah karena mushola samping itu butuh imam sholat fardhu sewaktu-waktu” tiba-tiba aku agak berbangga diri, karena Paman masih mengakui kapabilitasku sebagai sarjana, soal imam-mengimami sudahnya aku banyak berpengalaman.

“Tapi biar aku saja yang mengimami, kau mengepel atau adzan saja” tambahnya. “Memang sudah melamar kerja dimana saja kau Dul?”

“Izinkan saya bercerita Paman?” tawarku. Paman mengangguk.

“Pertama, setelah lulus kuliah, Alhamdulillah saya mendapat gelar sarjana dengan nilai cumlaude Paman, banyak mahasiswa di luar sana yang gila dan bunuh diri karena nilainya tidak bisa cumlaude sepertiku. Karena para Menteri di Indonesia biasanya mencari pekerja yang bernilai baik sepertiku.”

“Namun Paman, setelah aku melamar ke kantor-kantor yang berakhiran kata ‘agama’, aku selalu tak beruntung. Di Kantor Urusan Agama aku ditolak karena hal yang tak bisa dijelaskan entah apa, namun kata satpam karena aku kurang tampan. Di Kantor Badan Amil Zakat saya tak masuk sebab kata petugas cuci lantai dan bagian administrasi, perangaiku masuk delapan golongan orang wajib dizakati, dan di Kantor Penyuluhan Agama, saya tak masuk kriteria sebab persaingan orang-orang sangat ketat, ketika seleksi sedikit namun ketika pengumuman tiba-tiba membeludak nama-nama. Akhirnya kuputuskan Paman, aku bercita-cita ingin menjadi guru saja di desa ini Guru Agama kalau dapat nanti” jelasku singkat.

Kemudian Paman terdiam sejenak, apa ia sedih mendengar ceritaku. Jarang sekali Paman bersedih sebenarnya. Ia mengambil nafas teratur hendak bicara dan aku tak sabar menunggunya.

“Begini Dul, harusnya yang kau lakukan untuk hal ini ialah banyak-banyak bersyukur. Sebab kalau dihitung-hitung amat banyak rahmat Tuhan yang mampu menutupi kegagalan hidupmu, buruk nasib dan jelek wajahmu” aku bingung sedih atau kesal mendengar nasihat itu, “Namun agaknya untuk cita-citamu yang terakhir aku kurang setuju” ia mengutarakan pendapatnya, lalu menyeruput kopi di sampingnya.

“Kau ini aneh. Sarjana Agama malah ingin menjadi TNI.”

Sudah kuduga penyakit pikun yang ia alami itu permanen.

Esoknya aku sudah mulai bekerja di warung kopi Paman, kuamati ternyata asik juga keseharian masyarakat Ujungpagkah ini. Mereka tiap pagi datang ke warung kopi, kemudian malam datang lagi. Tiap hari kuamati dan kulihat wajah-wajah melarat dan miskin itu, mereka bersyukur terhadap apa adanya hidup dengan ikut begabung bersama sesama nasib, mensyukuri sehatnya dengan datang jauh-jauh berjalan kaki, mensyukuri uangnya dengan membeli kopi atau membelikan sesamanya. Apakah selama ini mataku tertutup oleh gelar akademikku? Dan ego duniawiku? Hingga aku tak dapat belajar dengan sekitarku sendiri, masyarakatku sendiri. Dan kusimpulkan, aku mencintai pekerjaanku.


Seandainya aku diterima bekerja di kota nanti, apa aku bisa bersyukur dengan cara sederhana seperti ini? Apa aku tetap bisa melihat pemandangan menakjubkan seperti desaku ini. Desa dengan penduduk sederhana dan menyederhanakan diri, sudahlah biar kutekuni saja nasibku di sini dulu. Urusan apapun, aku punya Tuhan, Allah yang Maha Segalanya.



Biodata Penulis


Ali Hamidi, Mahasiswa IAIN Salatiga kelahiran Gresik tahun 2000. Menyukai menulis sastra karena baginya menulis ialah kebutuhan hidup. Segala tentangnya bisa email: abdulhamidbinmastur@gmail.com, wa: 082333095726, ig: alihamidi___

1 komentar: