Soleh Soleha
Namaku Soleh, anak rantau dari desa pelosok yang mengadu nasib di kota besar. Bersama dengan Bapak dan adik perempuanku -Soleha. Kami pindah ke kota dengan alasan sederhana. Setelah Mama meninggal, Bapak tidak bisa lagi hidup di desa, memilih menjadikannya kenangan dan berjanji akan membuat hidup kami lebih baik. Melanjutkan menyekolahkan kami sesuai wasiat Mama. Meskipun takdir tidak selalu berbaik hati memberikan posisi di atas roda kehidupan. Setidaknya bapak tidak perlu terlalu khawatir tentang masa depan anak-anaknya.
Bapak hanyalah pekerja kasar di salah satu proyek pembangunan gedung tingkat tinggi. Tampilan kami juga sangat sederhana sekali, tidak seperti orang kebanyakan di kota yang hidup serba ada. Tidak mengapa, karena Mamak selalu menanamkan nasehat terbaik ‘Dunia ini layaknya tempat persinggahan Soleh. Akan ada masanya kita pergi meninggalkannya. Maka, hanya satu pesan Mamak. Jadilah anak baik tidak peduli jika dunia semakin kejam menyiksa. Karena itu hanya sementara nak, dunia bukanlah tujuan akhir. Maka percayalah jika kebaikan hati adalah senjata paling hebat. Jadilah anak soleh seperti namamu- Soleh.’
“ Kenapa kita tidak naik angkot saja kak?” Tanya Soleha pelan. Sejenak melihat teman-teman lain yang pulang menggunakan angkutan umum atau dijemput dengan mobil. Jarak rumah kontrakan kami dengan sekolah memang cukup jauh. Dan demi menghemat uang kami berdua memilih berjalan kaki.
“ Bagaimana kalau kakak gendong kamu Soleha. Jadi kamu tidak akan capek pulang ke rumah.” Aku menoleh menatap wajah kuyu Soleha dismpingku. Dia masih kelas 4 SD umur kami terpaut dua tahun.
“ Tidak mau kak. Soleha bukan anak kecil lagi. Jadi bagaimana kalau kita balapan saja kak?” Tantangan Soleha langsung dimulai begitu kata terakhir diucapkan. Dia berlari menjauh sambil berteriak keras. “ Pemenangnya boleh makan lebih dulu.”
Aku tertawa bergegas menyusul Soleha yang sudah semakin jauh. Adik kecilku memang sudah besar sekarang.
Bapak pulang kerumah tepat ba’da isya. Dengan wajah lelah plus cemong debu tetapi tetap tersenyum menyapa kami yang sudah tidak sabar menunggunya pulang.
“ Bapak lekas mandi terus sholat. Hari ini Soleha yang masak pak.” Aku memberitahu bapak yang langsung tertawa lebar. Sejak masih kecil Soleha memang selalu membantu mamak masak jadilah dia pintar memasak. Meski sejak kepergian mamak dia tidak mau memasak lagi.
“ Kenapa kau jadi seperti Mama Soleh. Menyambut bapak setelah pulang bekerja dan menyuruh bapak segera mandi. Tapi sungguh kejutan Soleha sudah mau memasak lagi. Anak itu susah sekali ditebak.” Bapak beranjak kekamar mandi. Menyisakanku yang juga hendak mengambil piring. Mempersiapkan makan malam kami.
Tidak selalu kehidupan itu mulus, seperti sebuah jalan terkadang ada lubang atau benjolan penghambat perjalanan. Belum juga kami menyendokkan nasi ke mulut terdengar suara gaduh didepan rumah kami. Bapak langsung bergegas keluar rumah. Tetap menyuruhku dan Soleha makan malam.
“ Bagaimana Pak? Tidak bisakah kamu bertanggung jawab. Ini semua salahmu. Mendidik anak-anak saja tidak becus. Jadilah mereka sangat nakal sekali. ” Seorang ibu tetangga sebelah kontrakan kami mengomel marah. Datang bersama anak perempuannya seumuran Soleha.
“ Memangnya apa yang dilakukan anak saya bu? Setidaknya Ibu bisa masuk dulu sebentar kita bicarakan baik-baik. Tidak baik dan tidak sopan jika Ibu berteriak didepan rumah kami. “ Bapak berbicara lembut menahan sabar. Aku tau bapak adalah orang yang bijaksana dalam segala hal. Tidak pernah selalu ketelepasan bicara kasar.
“ Enak saja kamu menyuruh kami masuk. Tidak pernah saya sudi menginjakkan kaki dirumah gubug seseorang yang tidak punya sopan santun. Cuiih.” Ibu tersebut membuang ludahnya tepat dihadapan bapak dan terang terangan menghina keluarga kami. Namun anehnya bapak sebaliknya, tersenyum.
“ Saya tau Bu, keluarga saya miskin bahkan untuk menghantarkan sepiring nasi untuk tetangga saja saya tidak mampu. Tetapi setidaknya kami selalu berusaha untuk berbuat baik. Selalu menyapa dan berperilaku baik_.”
“ Omong kosong. Bagaimana bisa kalian berperilaku baik. Dengar Pak, anakmu telah membuat babak belur anakku. Di sekolahan tadi dia menjambak dan meninju anakku. Memang kalau anak kampung itu ya tinggalnya dikampung jangan sok dikota ribut membuat masalah.” Teriakan ibu tersebut mengundang penasaran tetangga sekitar kontrakan kami. Dalam sekejap halaman kontrakan kami terasa seperti layar tancap.
Aku dan Soleha bergegas menuju halaman berdiri disebelah bapak. Sudah sejak tadi tidak sabaran ingin tahu kenapa. “ Nah ini dia, dua-duanya sama saja. Yang satu sikapnya seperti binatang, yang satu lagi tidak berdosa melarikan diri seperti pencuri.”
Begitu melihatku dan Soleha ibu itu berteriak kembali.
” Tanggung jawab pak. Anak- anak mu yang kurang ajar itu butuh sekolah di kampong bukan dikota. Tidak cocok sama kelakuan liarnya.”
“Sudah cukup bu.” Senyuman di wajah bapak terlipat “ Apa yang terjadi Soleh?” Bapak menatapku tajam.
“Soleha tadi tidak sengaja menjambak rambut nya pak. Aku sudah menjewer telinga Soleha untuk minta maaf. Dan dia juga sudah memaafkan Soleha. Aku juga membelikannya obat merah.” Ucapku menunjuk teman Soleha disekolah.
“Tidak mungkin. Anak kampong sepertimu memang pintar berbohong. Orangtua kalian yang mengajarkannya bukan heh.” Ibu tersebut tetap bersikeras mengotot.
Bapak menoleh ke Soleha, bertanya pertanyaan yang sama denganku. Awalnya Soleha hanya diam untuk kemudian menjelaskan sambil terisak. Aku sebenarnya juga tidak tahu alasan Soleha dan temannya berkelahi. Meski begitu aku tetap memarahi Soleha dan menyuruhnya minta maaf terlebih dahulu. Kupikir itu sudah selesai dengan saling memaafkan tapi ternyata tidak sesederhana itu.
”Tidak pak bukan Soleha, Angel tadi bilang jika Soleha... Bapak Soleha adalah pencuri dan Soleha… adalah keturunan seorang pencuri. Maka Nya…. Maka itu Ibu Soleha meninggal karena tidak tahan dengan Soleha.” Suara soleha terputus-putus. Sambil menangis tersedu.
Bapak berdiri menatap Angel bertanya, dan Anjel menjawab sama persis dengan apa yang dibilang Soleha.
“Kata ibu, bapak adalah seorang pencuri, makanya saya tidak mau dekat dengan Soleha karena itu. Bapak juga bukan keluarga yang baik saya hanya bilang itu dan Soleha berteriak keras sekali membuat saya tidak sengaja menamparnya dan Soleha balas menjambak rambut saya untuk kemudian saya terjatuh.” Angel berkata pelan takut melihat wajah bapak.
Di luar dugaan tetangga yang menonton kami mulai membicarakan jika Angel adalah anak yang tidak baik terbukti pengakuannya jika akar dari permasalahan adalah dari anak ibu tersebut. Wajah ibu Angel memerah tidak menduga anaknya akan berbicara jujur sekali.
“Maaf bu, disini bisa kita ambil kesimpulan sederhana. Saya minta maaf atas kelakuan anak saya yang tidak baik. Soleha tadi juga sudah minta maaf. Sebaiknya kita lupakan saja permasalahan ini.” Ucapan bapak membuat tetangga mengeluarkan pendapat jika yang slah sebenarnya adalah ibu anjel. Tapi bapak memilih meminta maaf terlebih dulu. Ibu Angel tetap bersungut sungut pulang tanpa berkata apapun lagi.
Setelah semua selesai tanpa hasil maksimal bapak mengusap puncak kepala Soleha.
“ Tidak apa Soleha. Jangan menangis, Kamu berani sayang, sungguh kamu anak bapak yang berani. Namun, ingat satu hal Soleha kejahatan tidak harus dibalas dengan kejahatan. Kamu paham nak.” Ucap bapak. Soleha mengangguk. “ Soleha berjanji tidak akan mengulangi pak.”
“ Tapi kenapa pak? Kenapa bapak meminta maaf padahal itu bukan salah kita?” Tanyaku polos.
“ Sejatinya meminta maaf bukan berarti kita salah nak. Tapi meminta maaf menunjukkan derajat kita yang sebenarnya kualitas kita bahwa kita tidak bisa menghakimi seseorang tetaplah berbuat baik selagi kamu bisa. Baiklah… kita lanjut makan malam. Ayo bergegas! ” Bapak melangkah masuk bersama Soleha. Bapak benar…Tetap berbuat baik. Aku berlarian menyusul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar