Rapat Negara di Sebuah Warung Kopi
Ali Hamidi
Juara 1 LOBASA UNSOED
Naasnya bagi orang-orang seperti
kami, memandang pandemi
di Indonesia seperti
sedang diceramahi oleh salah satu program pemerintah, yang mensosialisaikan bahwa kebanyakan berkumpul itu tak baik, karena akar
pengangguran itu berasal dari sana. Akan tetapi, bukan Gresik namanya jika ada satu warung kopi yang sepi di sana. Oh, perkenalkan dulu namaku
Abdul, menjabat bagian
administrasi atau pekerja lapangan di warung kopi Paman, jika kinerjaku menaik
terkadang Paman mempercayakan aku sebagai direktur keuangan dan personalia. Singkatnya, pekerjaanku ialah
penjaga warung kopi.
Sebelumnya harus kuceritakan secara
rasional tentang tabiat buruk pamanku agar Kawan tak menuduhnya sebagai orang arogan dan penuh sarkas,
meski itu benar setidaknya adal alasan psikologis bahwa pamanku memiliki
kombinasi penyakit aneh yang dialami umat manusia, yaitu pemarah dan pikun. Kedua penyakit itu konon disebabkan karena
dia tersetrum listrik
saat bekerja di PLN
sebelum kemudian pension
dan membuka warung kopinya.
Alhasil, tegangan listrik itu memiliki
efek hingga sekarang, Paman sering tiba-tiba kaget sendiri dan pelupa akibat reflek listrik yang dulu
mampir ke tubuhnya, dan saat gejala itu terjadi ia akan memarahi siapa saja yang ada di dekatnya. Begitulah kusimpulkan secara
historis metafisika biologi,
bahwa orang yang tersetrum lalu jatuh dari tiang listrik dengan kepala
mendarat lebih dulu namun tetap hidup akan mengalami
dua gejala seperti
Paman.
Secara anatomi tubuh Paman hanya setinggi sapu pel ditambah beberapa centi saja, kulitnya sawo matang dan rambutnya sudah banyak yang memutih. Ia berwibawa sebab orang-orang desa setempat mengenalnya sebagai juragan warung kopi. Aku takut kualat akan tetapi begitulah gambaran dirinya.
“Dul!” ujarnya siang itu, cuaca panas membuat penyakitnya kambuh. “Ke sini kau” perintahnya.
“Kenapa kau lama sekali menyediakan kopi ha? Kau kira orang-orang di sana duduk untuk melihat wajah
burukmu saja?” bentaknya. Aku ingin segera menyelesaikan
tugas itu, akan tetapi jika kutinggalkan Paman ketika sedang berceramah, itu membuat suasana
makin memburuk. Kudengarkan saja kata-kata yang keluar dari mulutnya.
“Ingat! Sesuai Sunnah Nabi, aduklah kopi itu tiga puluh tiga kali, kalau kurang atau lebih, rasa kopinya nanti berbeda” aku mengangguk dan mendengarkan saja.
“Dan bismillah, jangan lupa membaca itu saat mengaduk."
“Kau juga harus sering mandi, kita menyediakan pelayanan yang baik dan elok.” “Ingat! Masuk warung harus kaki kanan terlebih dulu.”
Aku bisa saja membantah perintah-perintah yang terkadang aneh itu, akan tetapi kurenungi sendiri kalimatnya itu benar juga. Mungkin atas dasar ingin sedikit mengaplikasikan Sunnah Nabi, Paman ketat menyuruhku demikian, itu semua hal baik. Paman kemudian duduk di kursinya, seperti tempat duduk Presiden, kursi itu paling bagus di antara lainnya, berada di serambi warung hingga dapat memandang semua pengunjung yang sedang asik sendiri di sana.
“Eh tuggu-tunggu” gumamku dalam hati. “1, 2,… 28, 29, 30.”
Sengaja kuhitung jumlah pengunjung warung kopi siang ini, jumlahnya pas 30 seperti formasi para Menteri di negara ini. Lalu kemudian kulirik Paman lagi, entah kenapa tiba-tiba kini kubayangkan ia sebagai Presiden yang duduk di depan mengawasi anak buahnya, mereka sedang rapat internal kenegaraan membahas lika-liku pandemi covid-19 yang terjadi.
Berbagai kejadian terjadi
dalam semua ranah, di negara
ini. Namun kami hanya orang-orang yang menghuni pulau
paling ujung utara,
bahkan desa kami saja tak terlihat di peta. Kami tak pantas berkomentar
aneh-aneh kepada mereka yang bekerja mewakili
kami dalam urusan
suara dan mengatasnamakan dirinya sendiri dalam urusan kenikmatan duniawi. Kami penduduk
yang baru tenang jika sudah meminum kopi tak pernah menuntut apapun dari nasib, sebab
kebahagiaan selalu kami temukan dengan cara yang dekat dan sederhana. Berimajinasi salah satunya.
Kubiarkan saja kemudian pikiranku makin melayang membayangkan Istana Merdeka di Jakarta, lalu kubayangkan pula bahwa di serambi warung tua itu berubah menjadi bangunan yang mewah di ruang tengah, kopi dan pisang goreng di meja warung menjelma jamuan-jamuan para menteri tentunya, yang banyak dan tak dimakan. Lalu dinding-dinding kayu menjadi bangunan indah lagi tertutup auratnya dan berwarna putih. Presiden dan para Menteri duduk di bawah kipas besar yang teduh, kalau di desaku hanya ada di masjid dan acara nikahan saja. Rapat hampir dimulai, pamanku yang menjelma Presiden itu mengangkat koran yang berisi kelakuan-kelakuan menterinya selama apandemi covid-19.
“Ehm”
Paman melirik orang di sudut kanan, Presiden
sangat berwibawa, dehemannya menunjukkan isyarat tertentu.
Dilihat dari wajahnya yang agak tirus,
badannya yang kurus dan di sekelilingnya ada tas agak besar, kubayangkan bahwa laki-laki itu ialah suami Menteri Keuangan.
“Bagaimana, hutang-hutang kopi di warung ini mengalami kenaikan. Apakah hutang merupakan anggaran yang direncanakan? Bicaralah pada istrimu Amar” tanya Paman pedas, aku terkejut. Amar adalah tetangga sekitar yang sering mengutang di warung kopi, pekerjaannya ialah wiraswasta/multitalentman, asal dibayar disuruh apa saja mau.
Laki-laki itu gemetar dan kemudian duduk kembali, murung. “Patuhilah protolol” Paman gugup.
“Prokotol”
“Protolokol”
“Promag tol"
“Ah, intinya peraturan kesehatan kau harus ingat ya. Semua pengunjung masker harap memakai warung.”
“Maaf terbalik Paman, semua pengunjung warung harap memakai masker” sebagai tangan kanan Presiden aku harus mengklarifikasinya agar tidak menjadi kesalahpahaman publik. Paman melirikku dan tersenyum kecil, terima kasih mungkin arti senyumnya.
Selanjutnya lirikannya itu mengarah ke seorang laki-laki berbadan agak gemuk jauh di tengah kerumunan orang lainnya, ia sudah merunduk lemas akan tetapi memaksa untuk berdiri.
“Begini kelakuanmu ya?” kalimat Paman langsung menjatuhkan mentalnya, Presiden yang tak suka berbasa-basi.
“Bagaimana bisa kemarin kau membeli kopi impor dari warung sebelah yang lebih buruk kualitasnya dan lebih mahal. Kau menghianatiku Badrun” ujar Paman dramatis, beberapa hari lalu langganannya itu didapati sedang ngopi di warung mewah bernama cafe. Kopinya tak enak tapi harganya dua puluh ribu, seharga tujuh gelas kopi tapi hutang seribu jika di warung Paman.
Anehnya kemudian Paman agak tersenyum, ia memandang orang di samping Badrun. Namanya ialah Rohman, mantri sunat di desa kami. Perawakannya pendek, pesek dan satu kata sifat berakhiran “k”, antonim dari kata tampan.
“Banyakkah orang minta disunat akhir-akhir ini?” tanya Paman, kalau dijadikan Menteri, Rohman pasti menjabat sebagai Menteri Kesehatan.
“Sunat itu urusan masa depan Rohman, sementara meminum kopi ialah usaha melupakan masa lalu” tegas Paman, “Sering-seringlah mampir ke sini, aku sangat suka punya pelanggan kopi yang mempunyai pekerjaan mulia sepertimu.
“Eh sebentar, aku punya pertanyan” jelas ini pertanyaan sulit sekelas Presiden untuk Menteri. “Tahukan kau penyakit apa yang berbahaya dari covid?"
Rohman menggelengkan kepalanya. “Kebodohan” aku kagum pada pamanku.
Selepas memberi senyuman manis untuk mantri sunat, mendadak senyum kecut Paman mendarat di wajah Sapikin, guru olahraga di desaku yang akhir-akhir ini kebingungan karena tak ada murid lagi yang diajar bagaimana menendang bola dengan kuat, hingga dapat mematahkan kaki musuh. Semenjak sekolah ditutup dan dialih fungsikan sebagai museum berhantu. Ia kebingungan, ia merasa tak bisa mengabdi kepada pendidikan secara maksimal. Jika kubayangkan ia pasti tergolong Menteri Pendidikan.
“Aduh Sapikin” Paman berkata dengan nada kecewa, seperti gaya kekecewaan Presiden terhadap perilaku Menterinya.
“Lihatlah lemak-lemak tubuhmu makin bersatu. Gara-gara sekolah libur anak-anak kecil di desa kita makin gemuk sepertimu Sapikin, sementara pengetahuan makin kurus. Aku takut mereka menua dengan tiba-tiba tapi tak tau cara mengukur kayu atau menyusun bata."
Aku tak tahu maksud kalimat itu, tapi aku yakin itu yang namanya majas dalam berbahasa.
“Harusnya kalau sekolah ditutup maka lapangan masih dibuka bukan? Sama seperti masjid ditutup tapi lembaga dangdut penampil aurat di seberang jalan sana terus dibuka. Ini masalah permainan kata-kata Sapikin, kau harus lebih pintar. Kalau bisa ajarilah juga anak-anak murid bermain catur di warung kopi ini, agar mereka dapat mebedakan bahwa belajar tak harus di sekolah, dan di sekolah belum tentu belajar."
Hingga sore rapat imajinasiku berjalan dengan lancar, Presiden menyuruhku pulang istirahat untuk mengurus warung kopi lagi esok hari. Sementara para Menteri kembali ke tugas mereka masing-masing, di meja itu berkas-berkas koran dan jajanan suguhan tak dimakan, begitulah gaya orang kaya dalam menikmati sesuatu yang tidak diperolehnya dengan kerja keras. Mendung mulai datang dari selatan, dari warung kopi Paman hari ini kutemukan kata-kata yang bagus, yang tak akan ditemukan di sekolah meski ia kini dibuka sekalipun.
Tiap hari imajinasiku memulai rapat negara lagi, Presiden terus mengoreksi para Menteri dan para Menteri seakan ingin mendapat perhatian lebih dari Presiden sendiri maupun rakyat, hingga sengaja melakukan hal-hal yang menimbulkan caper sosial yang merugikan. Untung saja aku sebagai rakyat tak terlalu bisa hitung-menghitung, hingga ketika membaca kata korupsi di koran, kupikir koruupsi hanya sejenis gorengan dari Ibu Kota Indonesia saja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar