Jumat, 29 Oktober 2021

Bapak, Ini Syarat Menjadi Orang Miskin

 Bapak, Ini Syarat Menjadi Orang Miskin

Ali Hamidi




Berawal dari beberapa hari lalu, setelah penyanyi dan politikus bernama Krisdayanti memamerkan jumlah gaji pekerjaan mulia bernama DPR itu, aku teringat pada masyarakat kampungku yang tak pernah memamerkan apa-apa selain kebahagiaan. Aku tersadar bahwa pekerjaan seperti nelayan, petani, kuli, pedagang, guru honorer dan pekerjaan melarat lainnya tak mengenal istilah tunjangan dan dana aspirasi apapun, karena mereka bekerja dengan keihlasan dan rasa syukur. Pandemi belum berakhir namun anggota DPR itu tiba-tiba menghibur kita.


“Dengarkan Nak, orang miskin itu dilarang merayakan ulang tahun” ujar lelaki kering setengah baya itu dengan tersenyum, kulitnya hitam dibakar matahari dan kemiskinan, di raut wajahnya hanya tersisa rasa syukur.


Anaknya yang berusia enam tahun itu tak pernah menuntut apa-apa, secara naluriah bahkan anak sekecil itu paham bahwa bapaknya memang tak punya apa-apa.


Lalu aku sangat ingin menceritakan kisah ini padamu Kawan, tentang seorang anak enam tahun di desaku yang dinamai orang tuanya agar dapat merenungi nasibnya nanti, Sabar, nama anak itu mewakili kisah hidupnya. Bahwa Sabar sedang dibesarkan oleh lelaki yang berusaha menjadi Bapak yang baik, dimana dia berjanji tak akan menikah lagi setelah istrinya meninggal, lalu akan membesarkan anak ini hingga ia menutup usia nanti.


Baru kali ini Kawan kutemukan seorang anak yang rela memupuk tangis di hatinya, dan membuahkan tawa-tawa kcil dari bibirnya yang baru beberapa tahun lalu fasih dalam berbicara. Anak bernama Sabar itu tersenyum simpul, memandang suatu kertas putih yang ia tulis dengan judul, “Syarat Menjadi Orang Miskin”.


Di dalam kertas itu terdapat tata cara bagaimana bapaknya memberitahunya hal-hal yang tak bisa dia nikmati seperti anak-anak yang lainnya.


Sebelumnya kuperigatkan padamu Kawan kalau jangan terlalu percaya pada google maps, aplikasi itu sering iseng menyesatkan orang dan dengan malas enggan menampilkan desaku kecuali Kawan mengelus peta di layar ponsel lebar-lebar, ternyata bukan hanya Pemerintah, bahkan mesin pula mengesampingkan desa ini. Mungkin sebabnya letak desaku ini terlalu samping pula di utara Pulau Jawa, di sudut Kota Gresik, desa pesisir yang indah bernama Ujungpangkah.


Lelaki itu dengan getir mengatakan demikian, bahwa ulang tahun adalah kalimat asing dari negeri nun jauh di alam sana. Di negeri ulang tahun, seseorang harus mampu memiliki uang berlebih, dompetnya kenyang dan tamu undangan yang wajib disuguhi. Jangankan membayangkan ulang tahun, lelaki kering dan hitam semacam kayu bakar itu tak pernah merayakan apapun semasa hidupnya kecuali hari Idul fitri, Idul Adha dan Maulid Nabi.


Jikapun ada tamu, ia hanya mampu menyuguhi air hangat maupun teh tawar hangat, namun nyatanya tak ada yang pernah bertamu ke rumah gubuknya kecuali segerombol nyamuk saja. Tapi aneh, di dalam wajah itu ia tersenyum tanpa mengeluh dan menyalahkan keadaan, ia hanya berpikir betapa jenakanya hidup ini baginya, sebab ia tak pernah menuntut apa-apa dari hidupnya sendiri. Itulah yang hendak ia ajarkan pada anaknya suatu hari nanti.


Pandemi hadir membawa perasaan yang baru, bahwa Pemerintah selalu menganjurkan orang miskin tak boleh banyak mengeluh, harus tetap hidup meski tak dijamin apapun dan tak boleh berleha-leha, lelaki yang bekerja sebagai nelayan itu bergegas pergi ke laut untuk mencari ikan, menjualnya ke posko dan melakukan pekerjaan tambahan untuk menyiapkan suatu hadiah bagi anaknya nanti.


Sebab suatu hari pula ia mengantarkan anaknya yang bersemangat dan antusias mendaftarkan diri untuk sekolah, padahal akhir pendaftaran masih dua bulan lagi. Betapa senangnya lekaki kering itu mengantar anaknya, di tengah jalan ia memandang langit dengan cerah mengalahkan matahari, anaknya menggengam tangannya erat seakan berterima kasih. Betapa senang seorang anak enam tahun bernama Sabar itu mendengar kata sekolah, pendidikan dan cita-cita. Yang setiap malam dia bahas di dipan kayu tempat tidurnya.


“Cita-citamu apa Sabar?” tanya Bapak menggoda.


“Apa hidup ini perlu cita-cita Pak?” tanya Sabar polos.


Lelaki kering itu tertawa, “Perlu Nak, kau perlu menjadi orang yang bermanfaat.”


“Aku akan menjawabnya besok Pak, setelah sekolah pertamaku dimulai” janji anak itu.


Hanya sekolah dan harapan yang bisa ia janjikan kepada anaknya yang lugu itu, sepulang dari sekolah mengendarai sepeda tua Made in China. Ia turunkan anaknya di bendungan pesisir, mereka berdua duduk di atas jembatan yang sedang dilewati perahu-perahu nelayan setempat. Ia ingin berbicara suatu hal kepada anaknya, namun itu sangat berat.


Bahwa sejak dulu lelaki kering, bapaknya Sabar itu tak pernah merasakan bangku sekolah, ia bisa membaca dan menulis karena belajar dari guru ngajinya, tapi tak pernah tau nimatnya pendidikan. Tapi dalam hatinya ia berjanji akan menabung dan membelikannya seperangkat alat pendidikan yang mahal, bahkan jumlah itu adalah uang hidupnya selama dua bulan. Persis seperti yang dikatakan seseorang ketika pendaftaran sekolah.


“Demikian saran dari kami Pak” ujar seorang tata usaha sekolah yang menyambut pria kering dan Sabar di pelataran sekolah.


“Ah, gampang Pak. Masih ada waktu kan?” tanya lelaki kering itu.


Sayangnya, tata usaha itu memberi tatapan yang tidak meyakinkan.


“Apa yang membuatmu ingin sekolah Sabar?” tanya lelaki kering itu sebelum mereka pulang.


Sementara anak itu tertawa saja, tawa yang sangat memilukan. Bahkan kebahagiaannya tak dapat diungkapkan dengan kata apapun, lelaki kering itu tak mau mengulang pertanyaannya. Ia berjanji dalam hatinya bahwa anak di belakang sepedannya ini harus sekolah sampai selesai. Setiap pagi hari lelaki yang menjanjikan anaknya pendidikan itu pergi melaut dari petang hingga pagi, kemudian ia pulang berjualan ikan sekaligus membantu bekerja mengangkati berkilo-kilo hasil melaut orang lain hingga siang tiba, dan malamnya ia berkeliling menawarkan diri untuk membersihkan perahu.


Setiap malam menunggu anaknya tidur, terkadang lelaki itu mengajari Sabar sedikit membaca dan menulis, hingga ia berhasil menulis selembar kertas dengan judul, “Syarat Menjadi Orang Miskin.”


Suatu pagi, awal masuk Sekolah Dasar


Sabar, anak kecil yang berusia enam tahun itu telah memulai sekolah perdananya. Ketika pulang sekoah ia menangis, tersedu-sedan dan makin deras air mata turun di setiap langkahnya. Ia memaki tas baru, buku, bolpen dan seragam merah putih yang baru. Sepatunya yang baru dan nyaman, seakan sedang mengangkat tubuh mungilnya yang tiba-tiba berat tak tertahankan.


Ia duduk, mengeluarkan sebuah kertas bertulis, “Syarat Menjadi Orang Miskin” yang dia tulis dan sering dibacakan bersama bapaknya. Ia membaca tulisan itu keras-keras seperti biasanya setiap malam mereka berteriak bersama.



Syarat Menjadi Orang Miskin

Satu, sabar.

Dua, ikhlas.

Tiga, belajar.

Empat, tidak boleh menangis. 


Naas, anak itu hanya berteriak sendiri di sebuah kuburan desa, ia menyembunyikan tangisnya untuk memenuhi syarat nomer empat namun tak bisa. Ia mengelus nisan bapaknya yang masih basah, sebeb hari lalu jenazahnya ditemukan sedang mengambang di laut lepas bersama korban lain yang tertimpa badai. Hanya sebongkah hadiah yang dia titipkan kepada kawannya, lelaki kering itu selama dua bulan menyiapkan hadiah itu, seragam, sepatu, tas, buku dan sebuah ponsel untuk teman belajar anaknya di masa pandemi ini, sekaligus menjadi barang berharga yang sanggup lelaki kering itu beli semasa hidupnya.


Apakah dia selesai memenuhi janjinya? Ketika ia tak mampu melihat anaknya sekolah untuk yang pertama kali. Sabar belum sempat mengungkapkan apa cita-citanya, pun tak sempat menjawb pertanyaan bapaknya kenapa ia sangat ingin sekolah? Dan lelaki kering itu, menutup hidupnya tanpa memamerakan berapa nominal yang ia gunakan untuk memberi hadiah, berapa gajinya, dan pertanyaan-pertanyaan yang tak selesai itu menjelma sesuatu yang indah, yang bahkan tak terbayar oleh gaji DPR manapun, sepanjang apapun masa jabatannya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar