Jumat, 20 Januari 2023

Petrikor

 PETRIKOR

Karya: Risma Lailatul Fuadah


Gambar: google

   Sebuah nada yang didendangkan terlewat di telinga begitu saja, rasa yang membara sekarang hilang begitu saja, bagaimana aku bisa hidup sempurna sedangkan aku sudah mati rasa. Hidup yang semula mengenal warna jingga, sekarang kembali hanya putih dan abu-abu saja. Hari demi hari kulewati dengan menyimpan sejuta kenangan dalam hati tekat hanya dengan harapan semoga hari ini lebih baik dengan hari sebelumnya, dan semoga tahun esok adalah tahun indahku.

     Pagi ini berjalan seperti biasanya, pagi di mana aku benci suasana ini. Nampaknya hujan turun cukup deras tadi malam, malam yang membosankan dan begitu panjang kurasa. Bau tanah dari rintik hujan dan percik-percik air akibat dihantam roda kendaraan menjenuhkan air menjadi warna kehitaman. Aku benci aroma ini, aroma di mana pikiran pelik terus datang, mengingatkan akan sesuatu yang sedang kucoba kubur dalam-dalam. Hampir satu tahun berlalu begitu saja, namun bagaimana denganku? Mengapa pikiranku terus tentang dia? Aku ingat bunyi langkah kakinya, aku ingat bagaimana dia waktu itu, aku ingat cara dia menyapu wajah karena hujan yang mengguyurnya. Banyak pertannyaan muncul di kepalaku, hal yang membuatku menjadi semakin benci akan hujan, akan aroma ini, akan ingatan yang menggerayangi isi kepalaku setiap hujan turun.

“Astaga, setengah jam lagi kelasku dimulai!” teriakku sambil kulihat jam Teddy Bear manisku. Tak terasa hampir satu jam aku melamunkan hal yang tak penting lagi bagiku. Segera kurapikan kembali celoteh-celoteh dalam lembaran warna-warni dan menyisakan satu lembaran kuning yang kutulis pagi ini. 



Salatiga, 30 Desember 22

Wahai jingganya rembulan..

Tak ada malam di mana aku tak mengingatmu

Tak ada keheningan di mana aku tak merindukanmu

Jika itu hanya sementara, untuk apa kau ada dan menyisakan luka

Terlihat seperti fatamorgana, namun seperti aksa kurasa

Ternyata jatukrama tanpa frasa.



“Huftt!! Hari yang panjang. Gimana  tadi UAS terakhirmu, Ay?” tanya Ara sambil menggerutu. Aylaaa? Teriaknya karena dirasa aku tak memperdulikanya. Dia memang agak cerewet kataku, entah bagaimana aku bisa sedekat ini denganya. Semua tentangku dia tahu, termasuk dengan masa laluku. 

“ Mikirin apa siih?” 

Aku hanya terdiam dan mencoba melirik matanya yang seolah menarikku untuk berbicara semuanya. Namun saat aku ingin mengatakan, “Arghh kenapa hujan terus siih!” 

   Kataku sambil berlari dan meninggalkan teman bicara yang mungil itu. Namun dia mengikutiku juga rupanya. Aku tidak tahu kenapa hujan turun di saat cerah-cerahnya, seperti film kartun di mana hujan turun pergi seenaknya. Padahal di siang hari tadi sumber panas bumi bersinar sangat terik. Seolah Tuhan memang telah merencanakan kegagalan urutan jadwal yang telah aku susun sehari sebelumnya.

“Segitunya lo nggak suka hujan, perasaan dulu pas SMA suka banget sampai gak mau pulang. Inget Dikky lo?”

“Hah?” aku tidak membayangkan bagaimana aku ketika mendengar Ara menanyakan tentang  dia, entahlah semua kurasakan ketika dia menyebut namanya. Akhmad Husni Assidiqi kusebut lirih dalam hati, yaa sebuah nama yang selalu teringat setelah selesai kutulis celotehku. Nama yang menenangkan dan sedikit islami kurasa dibandingkan namaku, entah mungkin semua doa ada didalamnya. Nama yang bagus tapi tidak dengan bagaimana dia meninggalkanku, caranya yang tak mengucapkan kata perpisahan, menyisakan segudang pertanyaan dan kesal.

“Move on dong ayy!! Udah hampir satu tahun nih lo mikiran dia mulu. Gak cape apa?”

  Aku hanya terdiam namun mencerna kata-kata gadis mungil itu. Itu  juga kata-kata yang terus aku pikirkan tapi tak bisa kulakukan. 

“Besok udah ganti tahun tuh masih aja lu nge gamon, huu dasar!!!”

“Kata siapa nge-gamon?”

“Dih ngelak lagii lu! Udah gak hujan tuh, yuk pulang!”

  Bagaimanapun aku tak ingin dia pergi, aku tak ingin melepas cinta yang telah tercipta. Namun begitu banyak masalah harus merelakan semuanya. Bodoh jika aku terus memikirkan hal itu. Biarlah menjadi kenangan, cukup tahun ini saja aku menjadi wanita bodoh, wanita yang selalu mengharapkan agar suatu saat bisa kembali lagi. Aku termenung di bawah rindang taman kota dengan sisa hujan tadi, semilir angin melambaikan rambutku.



Salatiga, 1 januari 23

Ikan sangat mempercayai air, tapi terkadang air itu membunuh ikan

Pohon sangat mempercayai angin,

tapi terkadang angin itu yang menggugurkan daunya

sama seperti aku yang percya kamu, tapi kamu yang menyakiti

tapi sekarang aku sadar 

yang membunuh ikan bukanlah air, tapi api

yang menggugurkan daun bukanlah angin, tapi musim gugur

dan yang menyakitiku bukanlah kamu, tapi harapanku yang terlalu besar pada mu.


Tiga… dua… satu… HAPPY NEW YEAR!!! 

Semua bersorak riang, menyambut datangnya pergantian angka tahun dibelakang.

Salatiga bukan kota yang buruk untuk merayakan sebuah tahun baru menurutku. Setelah beberapa waktu aku memikirkan untuk pulang kekotaku, namun akhirnya aku memilih menetap dikota yang tak lagi asing bagiku yang harus jauh dari sanak saudara. 

“Oh jadi gini cara seorang perantau merayakan tahun baru.” Pikirku dalam diam dikeramaian. Ramai tapi sepi, seperti denyut yang kehilangan nadinya. Seperti pelangi yang kehilangan jingganya, berusaha agar kembali bersinar seperti sedia kala. Malam itu sangatlah ramai, ya benar-benar ramai hingga membuat suasana agak kacau karena banyak celetukan dari pengunjung konser. Walau ditemani dengan rintik hujan, namun aku menikmati beberapa lagu yang dibawakan bung fiersa besari pada malam itu. Sungguh lagu yang mewakili hati, dengan payung warna warni dan sorotan lampu hp pengunjung. Berdesak desakan membuat aku ingin keluar dari segerombolan manusia itu. Dan akhirnya aku memilih untuk sedikit menepi, disebuah stan aksesoris, entahlah kenapa ditinggal begitu saja dan sedikit sekali orang yang ada di sekitar stan itu. 

“ Hufthh aroma hujan,” batinku dalam mataku yang tertutup mencoba untuk terbiasa kembali dengan aroma ini. Suara lembut itu muncul ketika 5 detik ku pejamkan mata, seolah tau apa yang tadi ku ucapkan dalam hati. 

“ Petrikor...” segera kubuka mataku karena mendengar suara yang tidak asing itu.

  Hah apakah aku bermimpi, ada apa ini? Kenapa semua suara bising ini seolah berhenti, ada apa dengan dunia di detik ini? Apakah benar-benar dia?

“Senja,” kata dia dengan senyuman kepadaku yang tengah berdiam diantara keramaian suasana. Napasku seperti berhenti ketika bertatapan dengan dirinya. Senyumanya selalu membuatku menghilang dari muka bumi. Namun aku segera sadar, secepat aku memulihkan dari. Seorang lelaki dengan prawakan tinggi menggunakan hoodie hitam, wajah yang menyejukkan dengan gelang hitam yang melingkar di tangan kananya berdiri tepat di depanku. Seseorang yang mencintai aroma hujan, dan yang mengajariku juga cara membenci akan aroma hujan. Akhmad Husni Assidiqi, ya ini benar-benar dia. Karena tak ada seorang pun yang memanggiku dengan panggilan senja kecuali dia.

“Kamu?”

“Bukankah hujan ini indah, Ayla Senja Petricia?” ucap dia menyebut nama lengkapku seolah-olah tak ada satu hal buruk pun yang menimpa.

   Aku masih berdiri diposisi awalku, berjubel diantara para penikmat konser yang seolah sangat menikmati lantunan lagu itu. Dan aku tak tahu apa yang tengah terjadi saat ini. Tentunya semua pertanyaan terlintas didalam diriku. Banyak hal yang ingin kutanyaan kepadanya. Tentang kepergianya ditahun lalu dan kedatangannya ditahun yang baru, kenangan yang sesaat itu. Namun semua itu tertipu dengan sosoknya yang menenangkan, sosok seorang yang ku idamkan sejak dulu, yang selalu terlintas dikepalaku. Mengapa dia kembali disaat aku sudah mulai mencintai aroma ini lagi yang awalnya aku membencinya karena ulahnya sendiri. Kepergianya tanpa mengucapkan perpisahaan itu menyakitkan. Perlahan sinar mataku layu tak kuasa menahan haru. Entah perasaan bersalah, kecewa, sedih, bingung, atau apapun itu membuatku tak berani memandangnya langsung. Suara angin terdengar olehku. Keheningan panjang yang menyakitkan menenggelamkan rasa tinggiku. Dan hal yang terlintas dipikiranku, hujan bisa turun deras disemua tempat, tapi apakah kau masih pantas menjadi petrikor didalamnya? Dan tak semua pelangi datang setelah hujan turun, jika kau sosok jingga didalamnya apakah kau masih pantas menjadi bagian jingga dalam pelangiku?  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar