PERJUANGAN TANPA APRESIASI
Disebuah desa hiduplah
keluarga kecil yang beranggotakan adik kakak Bersama kedua orang tuanya. Putri adalah
nama dari anak sulung dikeluarga tersebut, adiknya bernama Icha, ayahnya pak Joko
dan ibunya bu Sumi. Putri memiliki sosok ayah yang lemah lebut dan penyayang
yang senantiasa membiasakan putrinya untuk berbuat baik kepada sesame tanpa
pamrih. Sedangkan ibunya memiliki sifat pemarah juga egois sama persis seperti
adiknya Icha.
Ayah Putri
bekerja sebagai tukang becak keliling, tentu bukan profesi yang buruk apalagi
memalukan. Bagi putri profesi sebagai tukang becak adalah profesi yang mulia dimana
ayahnya bekerja dengan kerasnya untuk menjembut berkah dari Sang Maha Kuasa. Hingga
suatu ketika ayah putri pulang tanpa membawa becaknya dengan Langkah yang
tertatih-tatih. Tanpa basa-basi bu Sumi marah besar, ia melemparkan segala
perkakas dapur tanpa arah. Putri yang merasa semakin hawatir dengan
pertengkaran orang tuanya kemudia keluar kamar dan menghampiri ayahnya. Betapa terkejutnya
ia melihat ibunya menodongkan pisau dengan mantab kearah ayahnya.
“ibuuuuuuuuu
stop.” Dengan sigap ia melindungi ayahnya dari hempasan pisau.
“Ssttsttts ahhh”
pisaupun mengenainya. Pak joko yang melihat tingkah istrinya semakin
menjadi-jadi kemudian marah besar. Bu Sumi tanpa merasa bersalah pergi acuh-tak
acuh mendengarkan omelan suaminya itu.
Dalam keheningan
malam Putri membaca buku antologi puisi karya Oky Rizky yang mengusung tema “Perjuangan
Tanpa Apresiasi”. Ia merasa buku ini telah mewakili segala ekspresi emosi yang
dia rasakan.
Membaca adalah
hobi yang sudah lama ia geluti. Di sekolah Putri sering membaca buku di
Perpustakaan. Ya, selain karena terkendala uang saku.
Tepat pukul
09.00 WIB bel lonceng istirahat berbunyi. Putri langsung menyambar tempat
favoritnya dengan segala warna dan tata bahasa yang ada didalamnya yah,
perpustakaan. Hening, sejuk, dan tenang itu yang selalu ia rasakan ketika
berada didalam perpustakaan. Namun naas, dunianya terjeda setelah salah satu
temannya membawa kabar bahwa adiknya Icha sedang rebut digerbang sekolah.
“Put, adeklo tuh,”
“Hah, kenapa si
Icha?”
“Noh, ribut sama
ayahmu.”
“Bapak?” dengan
ekspresi sedikit terkejut ia langsung berlari menyambar menuju gerbang sekolah.
Setelah sampai di depan
gerbang, hatinya mencelos saat Icha dengan angkuhnya marahi bapak di depan
umum, anak-anak ikut menyaksikan pertengkaran itu. Putri mencoba membelah
kerumunan yang sibuk berceloteh soal buruknya keluarga bapak.
“Bapak Cuma ngasih uang
saku kamu yang ketinggalan,” kata bapak lesu.
“Gue ga kenal sama lo ya! Lebih baik lo pergi
dari sini sekarang,”
Dari
arah kerumunan, beberapa memekik perihal kata yang baru saja di ucapkan Icha,
“Dia itu orang tua lo Cha! Jangan jadi anak brengsek,”
Uang
lembaran lima ribuan itu terlihat lusuh, kusut, ketara sekali dibawa dengan
susah payah oleh bapak hasilnya jadi sopir becak, yang ia harapkan anaknya akan
menerimanya dengan penuh apresiasi.
Senyum bapak yang dalam dan penuh makna,
keringatnya membasahi baju hingga berkali-kali kering terkibas angin panas,
sekali lagi yang diharapkan hanyalah apresiasi dari anak bahwa, ‘Hey! Ini
ayahmu membawakanmu uang saku! Kamu bisa membeli minuman dengan ini!’
Namun hanya balasan
menohok yang ia dapat atas lelahnya banting tulang.
“Icha, dia itu Ayah mu,
kamu seharusnya yang sopan sama ayahmu”
“Peduli apa aku? Toh dia
bukan ayah ku”
Bapak yang mendengarnya
menghela nafas berat “Sudah biar bapak yang pergi, tidak usah bertengkar”
Hingga akhirnya
pak Joko sudah Lelah dengan sikap putri bungsunya dan memilih untuk melanjutkan
pekerjaannya. Ayahnya sejenak menatab ke cakrawala dan akhirnya menaiki
becaknya. Tidak lama dari lawan arah terdapat mobik berkecepatan tinggi
menyundul pak joko dengan becaknya dan membawa segala impian, terseret memudah
beserta raga dan becak kesayangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar