Jumat, 22 Maret 2024

Perjuangan Tanpa Apresiasi

PERJUANGAN TANPA APRESIASI


Oleh : Saffia Arimbi

Disebuah desa hiduplah keluarga kecil yang beranggotakan adik kakak Bersama kedua orang tuanya. Putri adalah nama dari anak sulung dikeluarga tersebut, adiknya bernama Icha, ayahnya pak Joko dan ibunya bu Sumi. Putri memiliki sosok ayah yang lemah lebut dan penyayang yang senantiasa membiasakan putrinya untuk berbuat baik kepada sesame tanpa pamrih. Sedangkan ibunya memiliki sifat pemarah juga egois sama persis seperti adiknya Icha.

Ayah Putri bekerja sebagai tukang becak keliling, tentu bukan profesi yang buruk apalagi memalukan. Bagi putri profesi sebagai tukang becak adalah profesi yang mulia dimana ayahnya bekerja dengan kerasnya untuk menjembut berkah dari Sang Maha Kuasa. Hingga suatu ketika ayah putri pulang tanpa membawa becaknya dengan Langkah yang tertatih-tatih. Tanpa basa-basi bu Sumi marah besar, ia melemparkan segala perkakas dapur tanpa arah. Putri yang merasa semakin hawatir dengan pertengkaran orang tuanya kemudia keluar kamar dan menghampiri ayahnya. Betapa terkejutnya ia melihat ibunya menodongkan pisau dengan mantab kearah ayahnya.

“ibuuuuuuuuu stop.” Dengan sigap ia melindungi ayahnya dari hempasan pisau.

“Ssttsttts ahhh” pisaupun mengenainya. Pak joko yang melihat tingkah istrinya semakin menjadi-jadi kemudian marah besar. Bu Sumi tanpa merasa bersalah pergi acuh-tak acuh mendengarkan omelan suaminya itu.

Dalam keheningan malam Putri membaca buku antologi puisi karya Oky Rizky yang mengusung tema “Perjuangan Tanpa Apresiasi”. Ia merasa buku ini telah mewakili segala ekspresi emosi yang dia rasakan.

Membaca adalah hobi yang sudah lama ia geluti. Di sekolah Putri sering membaca buku di Perpustakaan. Ya, selain karena terkendala uang saku.

Tepat pukul 09.00 WIB bel lonceng istirahat berbunyi. Putri langsung menyambar tempat favoritnya dengan segala warna dan tata bahasa yang ada didalamnya yah, perpustakaan. Hening, sejuk, dan tenang itu yang selalu ia rasakan ketika berada didalam perpustakaan. Namun naas, dunianya terjeda setelah salah satu temannya membawa kabar bahwa adiknya Icha sedang rebut digerbang sekolah.

“Put, adeklo tuh,”

“Hah, kenapa si Icha?”

“Noh, ribut sama ayahmu.”

“Bapak?” dengan ekspresi sedikit terkejut ia langsung berlari menyambar menuju gerbang sekolah.

Setelah sampai di depan gerbang, hatinya mencelos saat Icha dengan angkuhnya marahi bapak di depan umum, anak-anak ikut menyaksikan pertengkaran itu. Putri mencoba membelah kerumunan yang sibuk berceloteh soal buruknya keluarga bapak.

“Bapak Cuma ngasih uang saku kamu yang ketinggalan,” kata bapak lesu.

 “Gue ga kenal sama lo ya! Lebih baik lo pergi dari sini sekarang,”

  Dari arah kerumunan, beberapa memekik perihal kata yang baru saja di ucapkan Icha, “Dia itu orang tua lo Cha! Jangan jadi anak brengsek,”

  Uang lembaran lima ribuan itu terlihat lusuh, kusut, ketara sekali dibawa dengan susah payah oleh bapak hasilnya jadi sopir becak, yang ia harapkan anaknya akan menerimanya dengan penuh apresiasi.

  Senyum bapak yang dalam dan penuh makna, keringatnya membasahi baju hingga berkali-kali kering terkibas angin panas, sekali lagi yang diharapkan hanyalah apresiasi dari anak bahwa, ‘Hey! Ini ayahmu membawakanmu uang saku! Kamu bisa membeli minuman dengan ini!’

Namun hanya balasan menohok yang ia dapat atas lelahnya banting tulang.

“Icha, dia itu Ayah mu, kamu seharusnya yang sopan sama ayahmu”

“Peduli apa aku? Toh dia bukan ayah ku”

Bapak yang mendengarnya menghela nafas berat “Sudah biar bapak yang pergi, tidak usah bertengkar”

Hingga akhirnya pak Joko sudah Lelah dengan sikap putri bungsunya dan memilih untuk melanjutkan pekerjaannya. Ayahnya sejenak menatab ke cakrawala dan akhirnya menaiki becaknya. Tidak lama dari lawan arah terdapat mobik berkecepatan tinggi menyundul pak joko dengan becaknya dan membawa segala impian, terseret memudah beserta raga dan becak kesayangannya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar