Raja
Karya: Rohimullah Pancer Kusumo
Mentari pagi yang hangat baru saja menyapa bumi, menyapa padang rumput luas yang terhampar bagaikan permadani hijau. Hembusan angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah dan bunga liar, menenangkan jiwa dan membangkitkan semangat. Namun, kedamaian pagi itu terkoyak oleh gemuruh yang menggetarkan jiwa, memecah keheningan dengan dentang logam yang nyaring.
Ribuan prajurit dari dua kerajaan beradu kekuatan, teriakan demi teriakan menggema di udara bercampur dengan erangan kesakitan dan kematian. Debu dan asap mengepul, tebal dan menyesakkan, menutupi pemandangan dan mengubah siang menjadi malam. Bau besi berkarat dan darah menyengat hidung, menambah kengerian pertempuran yang berkecamuk.
Di tengah kekacauan itu, Raja Idris berdiri tegak di atas kudanya, matanya berkilat tajam di bawah helmnya. Tubuhnya terbalut baju zirah yang berkilauan, dihiasi lambang kerajaan yang gagah. Pedangnya yang berlumuran darah berkilau di bawah sinar matahari yang redup, menjadi saksi bisu keganasan pertempuran.
Raja Idris merasakan kembali ketegangan dan ketakutan yang dia rasakan saat itu. Pedang musuh menari-nari di dekatnya, nyaris merenggut nyawanya. Darah memercik ke tanah, menodai rumput hijau yang indah. Teman-temannya gugur satu per satu, meninggalkan luka yang mendalam di hatinya.
Raja Idris memejamkan matanya sejenak, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan jiwanya. Ketika dia membukanya kembali, tatapannya memancarkan wibawa dan tekad yang kuat. Wajahnya yang agung, penuh dengan garis-garis tegas, menceritakan kisah-kisah pertempuran yang telah dia lalui. Di matanya terukir kenangan tentang perjuangan berdarah, tentang pengkhianatan dan kelicikan, tentang kesabaran dan ketekunan seorang raja.
Dia adalah Raja Idris, pemimpin yang dihormati dan dicintai rakyatnya. Dia adalah simbol keamanan dan keselamatan, benteng kokoh yang melindungi mereka dari bahaya. Keberaniannya di medan perang dan kebijaksanaannya dalam memimpin kerajaan ke dalam kemakmuran.
Raja Idris duduk di atas tahta kerajaannya, hasil dari perjuangan yang panjang dan penuh pengorbanan. Tahta itu bukan hanya sebuah simbol kekuasaan, akan tetapi juga menjadi pengingat akan tanggung jawabnya yang besar. Dia adalah pelindung rakyatnya, penjaga kemakmuran dan kedamaian kerajaan.
Dia tidak pernah melupakan pengorbanan yang telah dia lakukan selangkah demi selangkah untuk mencapai posisinya saat ini. Dia ingat setiap tetes darah yang tertumpah, setiap nyawa yang melayang, setiap air mata yang terjatuh. Pengalaman itu telah menempa dirinya menjadi pemimpin yang tangguh dan adil.
Raja Idris tahu bahwa pertempuran di padang rumput itu hanyalah salah satu dari banyak rintangan yang harus dia lalui. Dia telah belajar banyak dari pengalamannya, dan dia tahu bahwa masih banyak tantangan yang menanti di depan. Tapi dia tidak akan gentar. Dia memiliki kekuatan dan tekad untuk mengatasinya.
Akan tetapi kerajaan yang dulunya makmur kini di ambang kehancuran. Api peperangan melahap semua yang dilaluinya, menyisakan puing-puing dan kepedihan. Teriakan rakyat menggema di udara, meraung pilu di tengah asap dan debu. Anak-anak tak luput dari tragedi ini, tangisan mereka memecah hati yang mendengarnya. Wanita-wanita meratapi kehilangan suami dan anak-anak mereka, wajah mereka pucat pasi dihiasi air mata yang tak henti mengalir.
Raja Idris, dengan hati yang teriris melihat penderitaan rakyatnya, tak kuasa menahan amarah. Api membara di matanya, tekad baja terpancar dari raut wajahnya. Dia adalah raja yang terlahir untuk memimpin, dan dia takkan tinggal diam melihat kerajaannya hancur.
Pertempuran epik pun berkecamuk. Darah bercucuran di medan perang, teriakan kesakitan dan kematian bersahut-sahutan. Raja Idris memimpin pasukannya dengan gagah berani, menebas setiap musuh yang menghalangi jalannya. Di tengah pertempuran yang brutal, dia bertemu dengan Raja Anupatra, pemimpin pasukan kerajaan lawan.
Kedua raja saling beradu kekuatan, pertarungan sengit yang menguras seluruh tenaga dan jiwa. Pedang mereka beradu dengan bunyi nyaring, percikan api beterbangan di udara. Raja Idris tak gentar, semangatnya tak terkalahkan. Dia bertarung dengan penuh tekad, demi rakyatnya, demi kerajaannya.
Pertempuran klimaks pun terjadi. Raja Idris dan Raja Anupatra saling menyerang dengan brutal, tak ada yang mau mengalah. Pada akhirnya, dengan satu gerakan terakhir yang penuh kekuatan, Raja Idris berhasil menusuk Raja Anupatra. Raja Anupatra tersungkur ke tanah, nafasnya tersengal-sengal sebelum akhirnya hembusan terakhirnya keluar dari bibirnya.
Namun, kemenangan itu harus dibayar mahal. Raja Idris terluka parah, pedang Raja Anupatra menembus dadanya. Walau begitu , dengan sisa-sisa tenaganya, dia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, menandakan kemenangan kerajaannya. Rakyatnya bersorak sorai, namun sorak sorai itu bercampur dengan tangisan kesedihan. Raja Idris, sang pemimpin yang dicintai, telah gugur di medan perang.
Pemakaman Raja Idris menjadi momen teramat duka bagi seluruh rakyat. Tangisan mereka menggema di seluruh penjuru negeri, air mata membasahi bumi. Kehilangan Raja Idris meninggalkan lubang besar di hati rakyatnya.
Namun, semangat Raja Idris takkan pernah mati. Dia mewariskan tahta dan semangatnya kepada generasi selanjutnya, yang kelak akan memimpin kerajaan dengan kebijaksanaan dan keberanian. Kerajaan yang dulunya hampir hancur kini bangkit kembali, lebih kuat dan lebih bersatu. Kisah Raja Idris akan terus diceritakan, menjadi legenda yang menginspirasi generasi penerus untuk selalu berani, adil, dan bijaksana.
Bertahun-tahun setelah kepergian Raja Idris, kerajaannya berkembang pesat di bawah kepemimpinan putranya. Raja muda ini mewarisi kebijaksanaan dan keberanian ayahnya, memimpin rakyatnya dengan penuh kasih sayang dan keadilan.
Kerajaan yang dulunya rapuh kini menjadi kekuatan yang tak tergoyahkan. Rakyatnya hidup dengan damai dan sejahtera.
Semangat Raja Idris terus hidup di hati rakyatnya. Dia dikenang karena keadilan bertahta di atas singgasananya, kebijaksanaan menuntun setiap langkahnya, kekuatannya mengantarkan rasa aman bagi rakyatnya, dan keberaniannya menggetarkan hati musuh musuhnya. Mereka memanggilnya “Maha Rajadiraja” ( Raja Agung di Atas Segala Raja)
Salatiga, 17 Maret 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar