DALAM BAYANG PILIHAN

                     DALAM BAYANG PILIHAN

                             Karya : Iza Nuryani



Langit senja membentang di atas kota yang perlahan ditelan keheningan malam. Suara riuh kendaraan mulai mereda, digantikan gemerisik bayu yang membelai pepohonan. Di atas bangku kayu sudut taman kota, seorang wanita menangis terisak seorang diri. Matanya menatap kosong lampu-lampu jalanan kota yang mulai menyala satu per satu. Ia banyak menyimpan cerita dalam hatinya, yang hanya mampu ia bisikkan pada angin malam itu, seolah berharap angin bisa membawa semua keluh kesahnya jauh, jauh dari hidupnya.

Setelah percakapan panjang dengan ibunya tadi pagi, Khawa merasa dunianya terasa semakin berat. Ibunya yang selalu memberi harapan dan semangat, kali ini hanya menunjukan wajah penuh prihatin, itu terasa lebih menyakitkan dari semua kegagalan yang pernah ia alami. Dan Khawa, yang selalu berusaha keras untuk membuat ibunya bangga, merasa seperti sedang terjatuh ke dalam jurang yang tak ada ujungnya.


Khawa : (dengan suara gemetar) "Ibu, aku sudah berusaha sebaik mungkin... Kenapa semua ini harus berakhir seperti ini?"

 

Ibu : (dengan nada lembut, namun penuh keprihatinan) "Nak, aku tahu kamu sudah berusaha keras. Tapi kadang, usaha kita tidak selalu berbuah manis seperti yang kita harapkan."

 

Khawa: (menunduk, air mata mulai mengalir) "Aku merasa aku gagal, Bu. Semua yang aku impikan, semua yang aku perjuangkan… hancur begitu saja. Aku ingin membuktikan sesuatu, ingin membuatmu bangga, tapi…"

 

Ibu: (memegang tangan Khawa dengan lembut) "Kamu sudah membuat ibu bangga, Khawa. Bukan karena apa yang kamu capai, tapi karena keberanianmu untuk mengejar impianmu. Terkadang, kegagalan itu adalah bagian dari perjalanan. Jangan biarkan satu kegagalan merusak seluruh hidupmu."

 

Khawa: (menarik napas dalam, berusaha menahan tangis) "Tapi bagaimana kalau aku tidak bisa bangkit lagi, Bu? Aku sudah terlalu banyak jatuh. Aku tidak tahu harus mulai dari mana."

 

Ibu: (tersenyum teduh, menatap Khawa dengan penuh kasih) "Kamu tidak perlu langsung tahu jawabannya. Terkadang, yang penting adalah melangkah, meski langkah pertama itu kecil. Hidupmu tidak akan berhenti hanya karena satu kegagalan. Kamu masih punya waktu, masih punya kesempatan untuk mencoba lagi."

 

Khawa: (mematung sejenak, lalu berbisik) "Tapi aku takut, Bu. Takut untuk gagal lagi, takut kalau aku tidak cukup kuat."

 

Ibu: (memandangnya dengan penuh pengertian) "Tidak ada yang bisa menjamin kita tidak akan gagal, Nak. Tapi ingat, kegagalan bukanlah akhir dari segalanya. Yang terpenting adalah bagaimana kita bangkit dan belajar darinya. Ibu percaya, kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Ibu tahu kamu lelah, Nak. Semua orang pernah merasa seperti itu. Tapi percayalah, hidup ini bukan tentang berapa kali kita jatuh. Ini tentang seberapa kuat kita bangkit setelah jatuh. Kamu pasti bisa. Ibu ada di sini, selalu untukmu."

 

Khawa teringat dua tahun lalu, saat ia memutuskan untuk meninggalkan bangku kuliah demi memulai bisnis baru yang ia anggap bisa mengubah hidupnya. Waktu itu, ia merasa begitu yakin bahwa dunia bisnis adalah panggilan hidupnya. Ia bermimpi bisa sukses dan membangun sesuatu yang membanggakan, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk ibunya yang selalu mendampinginya. Namun, kenyataan berkata lain. Usahanya bangkrut dalam sekejap, kepercayaan yang ia tanamkan pada rekan bisnisnya ternyata sia-sia. Ditipu dan dikhianati, Khawa merasa seperti baru saja kehilangan segalanya. Semua impian yang ia bangun runtuh begitu cepat, dan rasa kecewa itu menyesakkan dada, membuatnya merasa seperti tak ada lagi yang bisa diandalkan dalam hidupnya.

Di tengah kehampaan itu, Khawa merasa tak tahu harus berbuat apa. Hidupnya dipenuhi kegagalan yang tidak kunjung berhenti datang. Setiap kali ia mencoba bangkit, ada saja rintangan yang lebih besar menghadang. Teman-temannya yang dulu memberi semangat kini malah menjauh, seolah-olah mereka sudah tidak lagi percaya pada impian Khawa.

Tapi di balik semua kesedihan dan kekecewaan itu, Khawa tahu ada sesuatu yang harus ia temukan. Meski hatinya begitu terluka, ia tak ingin menyerah. Ia ingin bangkit, meski langkahnya terasa berat dan gelap. Ia teringat pada kata-kata yang pernah ia baca: "Dalam setiap kegagalan, ada pelajaran yang harus diambil." Ia tahu bahwa dunia ini tidak selalu adil, tapi hidup tidak hanya tentang menang atau kalah, melainkan bagaimana kita bisa bertahan dan belajar dari setiap ujian yang datang.

Tiba-tiba ponselnya bergetar tanda panggilan masuk, ternyata dari sahabatnya, Humsa.

Humsa : (dari ujung telepon) "Khawa, kamu kenapa? Aku sudah coba menghubungi kamu berkali-kali, tapi tidak ada jawaban. Apa yang terjadi?"

 

Khawa: (suara serak, terdengar sedih) "Aku... aku nggak tahu harus mulai dari mana. Semua terasa begitu berat, Aku merasa aku sudah gagal, Sa."

 

Humsa : (menenangkan) "Khawa, tenang dulu. kenapa? Kamu bisa cerita, oke. Aku di sini buat kamu."

 

Khawa: (terdiam sejenak, kemudian suara terisak) "Ibuku bilang aku harus lebih realistis, Sa. Dia bilang hidup itu nggak selalu seperti yang kita harapkan. Dan aku merasa seperti... seperti aku tidak punya apa-apa lagi. Aku gagal dengan bisnis ini. Semuanya hancur, dan aku merasa aku nggak bisa bangkit lagi."

 

Humsa : (suara penuh pengertian) "Aku tahu kamu lagi ngerasa berat banget sekarang, tapi kamu nggak sendirian, Khawa. Aku tahu kamu udah berusaha keras, dan kegagalan itu memang menyakitkan. Tapi itu bukan akhir dari segalanya. Kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan."

 

Khawa: (terisak lebih keras) "Aku merasa semuanya sia-sia, Sa. Aku sudah kehilangan semua yang aku banggakan. Aku cuma ingin sukses, ingin membuat orang tuaku bangga. Tapi… aku gagal. Rasanya aku nggak tahu harus ngapain lagi."

 

Humsa : (dengan suara tegas tapi penuh kasih) "Kamu tidak gagal, Khawa. Kamu hanya sedang melewati masa sulit. Ingat nggak waktu kamu mulai bisnis itu, kamu semangat banget, penuh dengan harapan? Itu bukan kegagalan. Itu adalah bagian dari perjalanan. Semua orang yang pernah sukses juga pernah jatuh. Yang membedakan adalah mereka tidak berhenti. Kamu nggak akan berhenti, kan?"

 

Khawa: (terdiam sejenak, berusaha mencerna kata-kata sahabatnya) "Aku... aku nggak tahu, Sa. Aku benar-benar capek. Sepertinya nggak ada jalan keluar."

 

Humsa : (lembut) "Aku tahu kamu lelah, dan itu wajar. Tapi jangan biarkan rasa lelah itu membuatmu menyerah. Coba deh lihat dari sisi lain. Setiap kesulitan ini memberi kamu pelajaran yang nggak bisa dipelajari dengan cara lain. Dan kamu selalu bisa bangkit, karena kamu sudah melewati banyak hal sebelumnya, bukan? Kamu tidak pernah benar-benar kalah, Khawa. Kamu cuma sedang istirahat sebentar untuk bangkit lagi."

 

Khawa: (suara semakin tenang) "Aku... aku tahu, Sa. Tapi kadang aku merasa, sebanyak apa pun aku berusaha, hasilnya tetap nggak akan sesuai."

 

Humsa : "Kadang memang tidak akan selalu sesuai harapan, Khawa. Tapi kamu sudah melakukan yang terbaik. Itu yang penting. Kita nggak bisa mengontrol semuanya, tapi kita bisa mengontrol bagaimana kita meresponsnya. Jangan biarkan satu kegagalan membuatmu merasa kurang. Kamu lebih dari itu."

 

Khawa: (menarik napas panjang, sedikit tersenyum) "Terima kasih, Humsa. Aku nggak tahu lagi apa yang aku lakukan tanpa kamu."

 

Humsa : "Kamu nggak sendirian, Khawa. Aku selalu di sini untuk kamu. Jangan pernah ragu buat ngehubungin aku kapan aja, oke? Kita bisa lewati ini bersama-sama."

 

Khawa: (suara lebih ringan) "Iya, aku tau. Terima kasih ya Sa sudah selalu ada. Aku... aku akan mencoba untuk bangkit lagi."

 

Humsa : "Itu yang aku ingin dengar. Kamu pasti bisa, Khawa. Semangat sahabatku!."

Malam itu, di bangku kayu taman kota, Khawa membiarkan air matanya mengalir. Ia tidak tahu bagaimana kelanjutan hidupnya, tapi ia merasa sedikit lebih ringan setelah membiarkan dirinya menangis, meluapkan segala yang ada didalam hatinya. Di luar sana, dunia terus bergerak, dan meski rasa sakit itu masih ada, ia tahu bahwa ia harus terus berjalan. Mungkin langkahnya belum pasti, tapi setidaknya ia tahu ia tidak sendirian. Di bawah langit yang kini semakin gelap, Khawa memutuskan untuk mulai mencari kembali cahaya yang pernah ada dalam hidupnya, dengan harapan suatu hari ia akan menemukan jalan yang lebih terang.

Kataba

KATABA : Komunitas Pegiat Literasi Santri Ma'had Al-Jami'ah KATABA adalah komunitas pegiat literasi di lingkungan Ma'had Al-Jami'ah IAIN Salatiga yang lahir pada 16 Maret 2017. Komunitas ini terbentuk dari inisiatif seorang mahasiswa kelas khusus Internasional (KKI) program studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, yaitu Muhammat Sabar Prihatin. Pengalaman dan prestasinya di dunia literasi yang membludak, mulai dari prestasi lokal hingga internasional, membuatnya tergugah untuk menyalurkan bakatnya. Setelah sekian kali mengikuti berbagai event literasi, akhirnya ia merasa terpanggil untuk menciptakan sebuah wadah yang menaungi kompetensi orang lain. Pada suatu event bernama Pelatihan Jurnalistik Santri Nusantara yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 2017, ia merasa terinspirasi untuk menyalurkan bakatnya dengan cara memberi jalan terang bagi mereka yang ingin menemukan potensi diri. Diciptakanlah sebuah komunitas literasi bernama KATABA.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama