Hidup
Setelah Pergi
Oleh :
Shofiyatur Rohmah
Hidup
Setelah Pergi
Oleh :
Shofiyatur Rohmah
Di
sore hari, disaat sang matahari mulai pergi dan meninggalkan garis garis jingga
yang indah, Rina seorang remaja yang beranjak dewasa yang cantik dan ceria.
Gadis itu tengah berjalan sendirian. Tidak, dia tidak benar benar sendirian,
dia ditemani ramainya kendaraan yang berlalu lalang mengantar pengemudinya
pulang setelah beraktifitas seharian. Lampu
jalan mulai menyala, pancaran cahaya lampu menyinari jalanan yang mulai
kehilangan cahaya sang matahari menemani Rina menuju rumahnya setelah seharian penuh berada
di kampus. Namun Ia memutuskan untuk pergi ke sebuah minimarket dipinggir jalan
terlebih dahulu untuk membeli beberapa belanja. “Selamat datang” sapa
seorang pelayan cantik sambil tersenyum manis kepadanya, Rina membalas senyum ramah
dan langsung pergi untuk mencari barang yang dicarinya. Tak diduga duga, langit
yang tadinya tidak ada tanda tanda akan datangnya hujan namun kini hujan tiba
tiba turun saat dia tengah memilih barang belanjaannya. Mengetahui telah hujan
dan dia sadar tidak membawa payung, dia langsung memutuskan untuk membeli
sebotol kopi dan camilan manis untuk menemaninya menunggu hujan reda. Ia segera
membayar belanjaannya dan pergi untuk duduk dikursi yang ada didepan minimarket
tersebut sambil meminum kopi yang telah ia beli.
Meminum
kopi ditemani dengan riuh hujan yang semakin lebat, suasana yang seketika
menjadi sepi dikarenakan hujan membuat dia terlarut dan termenung. Kini pandangannya
menatap kosong kearah hujan, hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan semakin
sore, namun hujan tak juga kunjung reda, hingga dingin semakin terasa dan membuatnya
merindukan pelukan yang hangat serta penuh kasih sayang dari seseorang yang ia
rindukan. Lamunan Rina pun semakin mendalam bersama hujan, air mata yang
terbendung membuat pandangannya semakin buram. “Bolehkah aku kembali ke masa
itu?” gumamnya lirih dan tak ada tenaga karena teringat akan halaman rumahnya,
dimana ada kedua orangtua dan satu adik laki lakinya. Dia memutuskan untuk
pergi dari kampung halaman tercinta, jauh dari orang orang tersayang disaat dia
berusia 19 tahun. Hal itu dilakukannya selain untuk menempuh dunia pendidikan,
dia melakukan itu demi keluarganya kelak.
Bersamaan
dengan suara azan maghrib, kini hujan suda sedikit reda. Ia menghabiskan kopi
dan segera melanjutkan perjalananya pulang ditemani dengan rintikan hujan yang
samar samar. Ia berjalan memasuki sebuah gang dan di ujung gang sudah terlihat
sebuah rumah kos kecil tempat istirahatnya. Ya, sekarang rumahnya berada
disana, rumah yang berbeda dengan masa kecilnya dimana selalu ada sambutan
hangat dari keluarganya. Kini dia sendirian, tidak ada sambitan setelah
beraktifitas di luar dan tidak ada yang menemaninya makan. Dia memilih di kos bukan tanpa sebab, dia
memilih untuk merantau dan jauh dari keluarganya karena dia memikirkan
bagaimana cara agar dia tetap bisa menempuh pendidikan tanpa harus merepotkan
orang tuanya, dan dia juga ingin menjamin pendidikan Raka, sang adik laki
lakinya.
Rina
menaruh tas yang dibawanya untuk kuliah, dan bergegas untuk mengambil air wudhu
dan mengganti bajunya yang basah akibat dari rintikan hujan. Sajadah dan mukena
yang digantung segera ia ambil dan sesegera mungkin melaksanakan sholat maghrib
juga tak lupa mendoakan kebaikan keluarga dan dirinya sendiri. Selepas sholat
ia istirahat sejenak, mengambil air putih sambil melihat ponselnya yang tidak
ia keluarkan sedari kuliah. Ternyata ada beberapa notifikasi pesan yang masuk dan belum ia baca, terdapat satu pesan yang
selalu ia tunggu dan itu pesan dari sang ibu.
“Bagaimana
harimu kali ini kak Rina? Jangan terlalu menyiksa dirimu, istirahatlah jika
kamu lelah, dan kami selalu menunggumu untuk pulang. Sehat selalu kesayangan
kami.”
Ia
tersenyum kecil namun mata tak dapat berbohong, kini matanya berkaca kaca, ia
merindukan mereka yang jauh didesa. Namun ia langsung teringat, sekarang belum
saatnya untuk termenung bersedih dan dia hanya memiliki waktu beristirahat
selama 20 menit saja untuk beristirahat. Azan isya sudah berkumandang dan ia
bergeas menunaikan shalat lalu setelahnya ia langsung bersiap siap menuju kedai
tempat ia bekerja. Tepat pukul 19.30 Rina sampai disebuah kedai roti, ia
bertemu dengan Ibu Nina wanita paruh baya pemilik kedai tersebut.
“Selamat
malam buk”, sapa rina tersenyum kepada pemilik toko yang sedang duduk
ditemani minuman dan beberapa kukis.
“Selamat
malam Rani, malam ini sepertinya tidak banyak pembeli karena habis hujan. Jadi
bersantai saja, sini ayo kita makan kukis yang ibu buat!” Jawab
Ibu Nina sambil menawarkan kukis yang masih hangat itu.
Rani :
Baik buk, saya akan membereskan ini terlebih dahulu
Jawabnya
sambil mengambil gelas milik pelanggan sebelumnya.
Selesai
membereskannya ia menghampiri Bu Nina, sikap Bu Rina yang sanngat baik dan
sudah menganggap Rani sebagai anak sendiri sehingga Rina pun tidak sungkan lagi
duduk bersamanya.
Rani ; Tumben sekali ibu membuat kukis?
Bu Nina
; Lagi pingin aja, lagipula dari tadi kedai juga sepi jadi ibu iseng membuat
kukis. Cepat cicipi kukis buatan Ibu!
Rani mengambil satu kukis buatan sang pemilik kedai
Rani ; Umm kukis buatan ibu sudah tidak
diragukan lagi! Kita harus memasukkan ini kedaftar menu sih buk, enak bangett!
Mereka
pun menyantap kukis bersama sambil bercerita kesana kemari, hingga rasa lelah
Rani setelah seharian kuliah pun tak dirasanya lagi. Ia merasa beruntung sekali
bisa bekerja dengan majikan yang sangat baik hati. Mereka bersendau gurau tanpa
sadar jam sudah menunjukkan pukul 22.00 malam, menandakan sudah saatnya menutup
kedai roti tersebut.
Bu
Nina ; Wah sudah jam 10 malam saja, dan benar perkataan ibu tadi, tidak akan ada
pelanggan malam hari ini.
Ucap
pemilik kedai dengan tersenyum ihlas.
Rani ; Iya buk, mungkin semua oranng malas
untuk keluar dari rumah karena hawa dingin ini. Nina yakin jika hari ini sepi
pasti besok akan sangat ramai pembeli
Jawab
Rani penuh percaya diri dan harapan, sifat Rani inilah yang membuat pemilik
kedai senang berinteraksi padnya, dia selalu menyebar energi positif dan penuh
dengan harapan. Begitupun Rani, dia merasa sangat beruntung dapat mengenal Bu
Nina, sosok ibu nya ketika di perantauan.
Setelah selesai membersihkan kedai dan
menutupnya, Rina dan Bu Nina berpisah untuk kembali ke rumah masing masing.
“Terimakasih
untuk hari ini buk, hari hati dijalan ya!”
“Terimakasih
kembali Rina, kamu juga hati hati, sampai jumpa besok malam lagi”
Ucapan
mereka berdua untuk berpisah hari ini.
Bu
Nina pulang ke rumah yang tak jauh dari kedai dan disambut oleh anak dan
suaminya, disisi lain Rina pulang kedalam kesedihannya. Ia berjalan sendirian
menuju ke kos kecil yang tak jauh juga dari tempat kerja, hanya membutuhkan
waktu 20 menit saat berjalan kaki menuju kos nya. Belum jauh dari kedai, dering
ponsel berbunyi dan itu panggilan suara dari ibunya.
“Hai
kakak, lagi apa? Aku meminta ibu untuk telfon kakak, kenapa kakak tadi tidak
membalas pesan ibu? kapan kakak akan pulang?” Ocehan adik lak- lakinya karena
ia tadi terlupa untuk membalas pesan. Tak lama kemudian, suara lelaki terdengar
“Iya
kak, kapan kakak akan pulang?” Sambung dari sang ayah.
“Secepatnya
aku akan pulang, aku rindu kalian” jawabanya sembari berjalan menuju kos
“Kakak
baru pulang bekerja?” tanya ibu memastikan
“Iya
ibu, aku sedang berjalan menuju kos”
Tiba
tiba telefon mati, sambungan wifi toko sudah tidak sampai. Rina melanjutkan
perjalanan pulangnya, meski hanya 20 menit namun terasa sangat lama bagi Rina.
Dibalik keceriaan dia didepan semua orang, kini ketika ia sendirian terlihat
raut muka yang tak biasa ia tampakkan. Pandangannya akan jalan kini menjadi
kabur akibat bendungan air mata. “Kapan aku bisa kembali? Apakah aku bisa
kembali ke masa itu lagi?”, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Ia merindukan
semua tentang halaman rumahnya, makan bersama sembari bergurau, menjahili adik
laki lakinya hingga menangis, ocehan dari ibu yang selalu ia tunggu, bercerita
keseharian dengan ayah, dia rindu semua itu.
Tak terasa ia sudah sampai didepan
kos, sesampainya di kos ia lagsung membersihkan diri dan menghabiskan makanan
sisa tadi pagi. Setelah makan ia mengerjakan beberapa tugas yang sudah
tertumpuk, hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 1 malam. Pantas saja
jika matanya mulai berat hingga ia memutuskan untuk lanagsung tidur.
Azan subuh telah berkumandang, ia
terbangun dan langsung mengambil handuk untuk langsung mandi, mengambil air
wudhu dan melaksanakan shalat. Setelah shalat ia langsung bersiap siap masuk
kuliah di jam 7 pagi. Sesampainya dikelas tak ada satupun teman yang
menyapanya, tapi ia tetap menyebarkan senyuman nya yang manis dan itu
memang sudah biasa. Dimana hanya orang
orang yang setara saja yang akan mendapatkan teman, hingga semua tugaspun ia
kerjakan sendirian. Tak jarag ia hanya bermain hp dan tertidur saat dikelas,
itu memang sudah biasa, namun dia tetap saja tidak bisa terbiasa. Di gazebo
kampus, disaat suasana sedang sepi ia termenung, “Seperti inikah kehidupan bagi
orang yang tidak punya apa apa?” gumamnya.
Hingga dibenaknya ia mendapatkan
pemikiran baru bahwa “ kehidupan orang memang berbeda beda, mungkin aku
memang tidak beruntung dalam hal pertemanan dan juga keuangan, namun aku
memiliki keluarga yang sangat hebat dan bertrmu dengan orang yang sangat baik
hati. Semua kehidupan di dunia ini memiliki takaran masing-masing, dan ini
memang takaranku.”
Dia
tidak menjadikan semua itu halangan, Rina malah justru terpacu dengan semua
masalahnya. Rina ingin menunjukkan pada dunia bahwa semua orang berhak
mendapatkan pendidikan, sekalipun dari keluarga dengan strata sosial seperti
dirinya yang berasal dari keluarga menengah kebawah. Ia ingin menunjukkan
betapa hebat kedua orang tuanya, dapat memberikan pendidikan yang tinggi
untuknya, ia selalu berpikir bahwa orang dari strata sosial yang tinggi memang
sudah porsinya berada disini, hanya keinginan yang menentukan. Namun kini, dia
dari seorang yang kurang mampu, orang tua yang kurang berpendidikan tetapi
dapat menempuh ilmu seperti orang orang tinggi itu dapatkan. “Betapa hebatnya
orang tua ku” isihati Rina setiap hari membanggakan orang tuanya.