Senja di Balik Jendela
Oleh: Agus Satriyo
Mentari senja mulai merayap turun, menyisakan semburat jingga di langit barat. Angin sore berhembus lembut, menerpa dedaunan dan membawa aroma tanah basah. Di sebuah kamar kecil yang menghadap ke arah barat, seorang gadis bernama Maya duduk termenung di balik jendela. Matanya yang cokelat menatap kosong ke arah langit yang mulai berubah warna.
Maya adalah seorang gadis berusia 17 tahun yang memiliki mimpi besar untuk menjadi seorang penulis. Namun, impiannya itu seolah terhalang oleh tembok tebal bernama keraguan. Ia seringkali merasa tulisannya tidak cukup bagus, tidak cukup menarik, dan tidak akan pernah bisa menyamai karya para penulis idolanya. Setiap hari, Maya menghabiskan waktunya dengan membaca buku dan menulis di buku catatannya. Ia menuangkan segala imajinasi dan perasaannya ke dalam kata-kata. Namun, setiap kali ia selesai menulis, ia selalu merasa tidak puas. Ia merasa tulisannya terlalu sederhana, terlalu biasa, dan tidak memiliki makna yang mendalam.
Suatu sore, saat Maya sedang duduk termenung di balik jendela, seorang lelaki tua bernama Pak Hasan menghampirinya. Pak Hasan adalah tetangga Maya, seorang pensiunan guru bahasa Indonesia yang sangat menyukai sastra.
"Sedang apa kamu, Maya?" tanya Pak Hasan sambil tersenyum
"Tidak ada, Pak," jawab Maya singkat
"Kamu terlihat sedang melamun. Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Pak Hasan lagi
Maya terdiam sejenak, lalu ia menceritakan tentang mimpinya untuk menjadi seorang penulis dan keraguannya tentang kemampuannya. Pak Hasan mendengarkan dengan seksama, lalu ia berkata,
"Maya, setiap orang memiliki gaya menulisnya sendiri. Jangan pernah membandingkan dirimu dengan orang lain. Tulislah apa yang ingin kamu tulis, dengan caramu sendiri. Jangan takut untuk mencoba hal-hal baru dan jangan pernah menyerah pada impianmu."
Kata-kata Pak Hasan itu menyentuh hati Maya. Ia merasa seperti mendapatkan suntikan semangat baru. Ia berterima kasih kepada Pak Hasan atas nasihatnya dan berjanji akan terus menulis.
Sejak saat itu, Maya mulai menulis dengan lebih percaya diri. Ia tidak lagi takut untuk mengeksplorasi gaya menulisnya sendiri. Ia menulis tentang apa pun yang menarik perhatiannya, mulai dari kisah-kisah fiksi hingga puisi-puisi pendek.
Suatu hari, Maya memberanikan diri untuk mengirimkan salah satu cerpennya ke sebuah majalah sastra. Ia tidak berharap banyak, tetapi ia tetap berharap cerpennya akan diterima. Beberapa minggu kemudian, Maya mendapatkan kabar bahwa cerpennya diterima dan akan diterbitkan di majalah tersebut. Ia sangat senang dan tidak percaya. Ia merasa mimpinya mulai menjadi kenyataan.
Maya menyadari bahwa keraguan adalah hal yang wajar, tetapi ia tidak boleh membiarkan keraguan itu menghalanginya untuk meraih mimpinya. Ia akan terus menulis, terus belajar, dan terus berusaha untuk menjadi penulis yang lebih baik.
Senja di balik jendela itu menjadi saksi bisu perjalanan Maya dalam meraih mimpinya. Ia belajar bahwa setiap mimpi membutuhkan keberanian, ketekunan, dan kepercayaan diri. Dan yang paling penting, ia belajar bahwa setiap orang memiliki potensi untuk menjadi apa pun yang mereka inginkan.
Temanggung,12 Maret 2025