TRADISI SADRANAN: SEBUAH PERAYAAN KEKERABATAN DAN PENGHORMATAN KEPADA ARWAH LELUHUR

 


Oleh: Sahlan Ahmad Mubarok

            Tradisi Sadranan merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan oleh warga Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, setiap bulan Syaban atau Ruwah dalam penanggalan Jawa. Tradisi ini memiliki keunikan tersendiri, karena setelah melaksanakan ziarah kubur di makam para leluhur, masyarakat Cepogo kemudian saling berkunjung ke rumah-rumah tetangga untuk silaturahmi. Kegiatan ini tidak hanya sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur, tetapi juga mempererat hubungan sosial antarwarga. Agar generasi muda dapat memahami dan melestarikan budaya lokal seperti Sadranan, penting adanya literasi budaya yang mampu memberikan pengetahuan mendalam mengenai nilai-nilai tradisional. Dengan demikian, generasi muda diharapkan dapat terus menjaga dan mencintai warisan budaya mereka.(Yandri, 2020)

            Tradisi Sadranan di Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, merupakan bentuk penghormatan pada leluhur yang dilaksanakan setiap bulan Ruwah (Syaban) dalam penanggalan Jawa. Istilah "Sadranan" berasal dari bahasa Arab "Shod'ron," yang berarti mendekatkan diri kepada Allah. Tradisi ini mengingatkan masyarakat akan kematian dan mendorong mereka untuk kembali kepada Sang Pencipta. Pada pelaksanaannya, warga melakukan ziarah kubur dan kemudian mengadakan silaturahmi antar keluarga dan tetangga. Selain itu, masyarakat juga mengadakan kenduri dengan sesajian berupa kue apem, ketan, dan kolak yang dibagikan kepada sanak saudara dan tetangga.

Tradisi ini berfungsi mempererat hubungan sosial dan memperkuat ikatan vertikal dengan Tuhan serta horizontal antar sesama. Menurut Santoso (1984), Sadranan bertujuan untuk menjaga keharmonisan kehidupan. Masyarakat Cepogo sangat menjaga pelaksanaan tradisi ini, dengan 77,1% warga terlibat aktif setiap tahun. Dalam beberapa kasus, tradisi ini juga menarik minat wisatawan yang ingin menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan masyarakat. Meskipun terdapat sedikit perbedaan dalam tata cara antar desa, pelaksanaan Sadranan tetap konsisten dengan kegiatan bersih makam, doa bersama, dan kenduri. Sebagai media sosial dan budaya, Sadranan juga menjadi momen penting dalam memperkuat hubungan antar keluarga dan tetangga.(Putri, 2017)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Tradisi Nyadran di Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, mengandung nilai-nilai pendidikan Islam yang sangat penting untuk diwariskan kepada generasi penerus. Tradisi ini tidak hanya berfungsi sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur, tetapi juga sebagai sarana untuk mempererat tali persaudaraan antarwarga. Proses pelaksanaan Nyadran yang meliputi bersih kubur, doa bersama, tukar makanan, dan pambagyo tamu memiliki makna mendalam sebagai bentuk rasa syukur atas karunia Tuhan dan sebagai media untuk menyampaikan pesan dakwah. Kegiatan ini memberikan pelajaran tentang pentingnya silaturahmi, saling berbagi, dan kepedulian sosial. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa meskipun terdapat variasi tata cara di beberapa desa, inti dari tradisi ini tetap sama, yaitu mengingatkan masyarakat akan pentingnya hubungan dengan Tuhan dan antar sesama. Dengan demikian, Tradisi Nyadran tidak hanya menjadi bagian dari warisan budaya, tetapi juga sebagai wahana untuk menyebarkan nilai-nilai keagamaan yang dapat dilestarikan dan diteruskan kepada generasi mendatang.(SRI WAHYU HANDAYANI, 2020)

Nilai ibadah sangat kental dalam Tradisi Sadranan, karena tujuan utamanya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan mendoakan leluhur yang telah meninggal. Kemudian, nilai muamalah tercermin dalam kebersamaan masyarakat yang saling tolong-menolong dan bekerja sama, seperti terlihat dalam kegiatan membersihkan makam dan makan bersama. Terakhir, nilai silaturahmi sangat dijunjung tinggi dalam tradisi ini, di mana setiap keluarga membuka rumah untuk menerima tamu, berbagi makanan, dan mempererat hubungan antarwarga. Tradisi Sadranan, dengan segala nilai yang terkandung di dalamnya, mengingatkan kita tentang pentingnya keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, serta pentingnya bersedekah, bersilaturahmi, dan gotong royong dalam kehidupan sosial. Dengan demikian, tradisi ini tidak hanya melestarikan budaya lokal, tetapi juga memperkuat nilai-nilai keagamaan dan sosial dalam kehidupan masyarakat.(Ifadah, 2021)

Kesimpulannya, Tradisi Sadranan di Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, mencerminkan relasi yang erat antara pendidikan Islam dan kearifan lokal masyarakat Jawa. Tradisi ini mengandung tiga nilai pendidikan Islam yang mendalam. Pertama, nilai ibadah yang terkandung dalam Tradisi Sadranan, di mana masyarakat melaksanakan tradisi ini sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT, dengan mendoakan leluhur sebagai sarana mendekatkan diri kepada-Nya. Kedua, nilai muamalah yang menggambarkan hubungan sosial yang harmonis antara sesama, tanpa membedakan satu sama lain, seperti yang tercermin dalam kebersamaan dalam membersihkan makam dan makan bersama. Ketiga, nilai silaturahmi yang menjadi tujuan utama dari Tradisi Sadranan, yakni mempererat tali persaudaraan antar keluarga dan masyarakat, sehingga tercipta kedamaian dan keharmonisan dalam hidup bermasyarakat.

Dengan demikian, Tradisi Sadranan tidak hanya berfungsi sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai wahana untuk menerapkan nilai-nilai keagamaan Islam, seperti ibadah, muamalah, dan silaturahmi, dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi ini mengingatkan masyarakat akan pentingnya keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, serta memperkuat ikatan sosial antar individu. Melalui Tradisi Sadranan, masyarakat Jawa dapat mempertahankan dan melestarikan kearifan lokal mereka, sekaligus memperkuat pemahaman dan pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan sosial mereka. Sebagai penutup, keberlanjutan tradisi ini akan terus menjadi sarana untuk menyebarkan nilai-nilai positif yang dapat diwariskan kepada generasi mendatang, menjaga keseimbangan antara warisan budaya dan ajaran agama.(Arifah & Zaman, 2021)

Pesan yang dapat kita ambil dari Tradisi Sadranan adalah pentingnya menjaga hubungan baik dengan Allah, sesama manusia, dan leluhur kita. Melalui kegiatan ini, kita diajarkan untuk selalu berbagi, saling membantu, dan mempererat silaturahmi dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi ini mengingatkan kita bahwa hidup harus seimbang antara urusan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, mari kita terus menjaga dan melestarikan tradisi ini, tidak hanya sebagai bagian dari warisan budaya, tetapi juga sebagai bentuk pengamalan nilai-nilai agama dalam kehidupan bermasyarakat. Semoga tradisi ini dapat terus membawa berkah dan kebaikan bagi kita semua, serta menjadi teladan bagi generasi yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

 

Arifah, D. N., & Zaman, B. (2021). Relasi Pendidikan Islam dan Budaya Lokal: Studi Tradisi Sadranan. ASNA: Jurnal Kependidikan Islam Dan Keagamaan, 3(1), 72–82. https://maarifnujateng.or.id/ejournal/index.php/asna/article/view/33

Ifadah, N. (2021). NILAI NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM TRADISI SADRANAN DI DUKUH KADIPIRO DESA GENTING KECAMATAN CEPOGO KABUPATEN BOYOLALI TAHUN 2020. Skripsi Publikasi, 259.

Putri, I. R. (2017). Tradisi Masyarakat Selo dan Pariwisata di Taman Nasional Gunung. Source : SASDAYA, Gadjah Mada Journal of Humanities, 1(2), 199–208.

SRI WAHYU HANDAYANI. (2020). Pesan Dakwah Dalam Tradisi Nyadran Dusun Beji Desa Sidomulyo Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali. 1–139. http://e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8727/

Yandri, M. E. (2020). Implementasi Literasi Budaya Sadranan Di Kecamatan Cepogo Boyolali Untuk Mempertahankan Budaya Lokal. Universitas Muhammadiyah Surakarta, 29. http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/89977

 

 

 

 

Kataba

KATABA : Komunitas Pegiat Literasi Santri Ma'had Al-Jami'ah KATABA adalah komunitas pegiat literasi di lingkungan Ma'had Al-Jami'ah IAIN Salatiga yang lahir pada 16 Maret 2017. Komunitas ini terbentuk dari inisiatif seorang mahasiswa kelas khusus Internasional (KKI) program studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, yaitu Muhammat Sabar Prihatin. Pengalaman dan prestasinya di dunia literasi yang membludak, mulai dari prestasi lokal hingga internasional, membuatnya tergugah untuk menyalurkan bakatnya. Setelah sekian kali mengikuti berbagai event literasi, akhirnya ia merasa terpanggil untuk menciptakan sebuah wadah yang menaungi kompetensi orang lain. Pada suatu event bernama Pelatihan Jurnalistik Santri Nusantara yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 2017, ia merasa terinspirasi untuk menyalurkan bakatnya dengan cara memberi jalan terang bagi mereka yang ingin menemukan potensi diri. Diciptakanlah sebuah komunitas literasi bernama KATABA.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama