Jumat, 16 Agustus 2019

MEMAKNAI KEMBALI ARTI KEMERDEKAAN


Sumber: www.google.com

Tanggal 17 Agustus 1945 merupakan momentum bersejarah bagi bangsa Indonesia. Setelah sekian lama bangsa ini dibungkam, diinjak, dilecehkan, diambil harta kekayaannya oleh kaum penjajah. Kala itu indonesia hanyalah bangsa yang lemah, yang ketika diinjak hanya bisa diam dan pasrah.
74 tahun silam akhirnya memerdekakan dan membebaskan diri dari kolonial Belanda dan Jepang. Tiga ratus lima puluh tahun dijajah oleh Belanda dan tiga setengah tahun oleh Jepang. Tentu, membebaskan negeri ini dari penjajahan bukanlah hal yang mudah, para pejuang rela meninggalkan keluarga, rela menghilangkan harta benda, dan mereka rela mengucurkan darahnya hanya untuk membebaskan diri dari kekejian rezim yang dzolim.
Para penjajah sungguh sangat tidak memiliki belas kasihan, mereka juga tidak memperdulikan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka memperlakukan manusia seperti halnya binatang. Karenanya, pekik kemerdekaan dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan, kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan keadilan.
Setelah 74 tahun silam dengan segala jeri payah para pejuang memerdekakan bangsa ini, apakah sekarang kita telah benar-benar terbebas dari segala bentuk penjajahan. Mengikuti heran penulis, sepertinya bangsa ini masih terus menerus dijajah. Bahkan yang menjajah adalah orang Indonesia sendiri.
Benar seperti apa yang telah dikatakan Presiden Soekarno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, tapi perjuangan kalian akan lebih berat karena melawan saudara sendiri”. Dan perkataan beliau memang telah terjadi sekarang ini.
Dapat kita saksikan sekarang, banyak manusia yang masih meminta belas kasihan orang lain dengan cara meminta-minta demi sesuap nasi. Masih banyak anak-anak yang menderita gizi buruk. Bahkan berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementrian Kesehatan 2018 menunjukkan 17,7% bayi usia dibawah lima tahun (balita) masih mengalami masalah gizi. Angka tersebut terdiri atas balita yang mengalami gizi buruk mencapai 3,9% dan yang menderita gizi kurang sebesar 13,8%.
Melihat data tersebut menjadi salah satu tugas penting bagi para elit untuk menyelesaikan masalah ketahanan pangan. Karena pangan merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakatnya. Ir Soekarno juga pernah menyampaikan bahwa, pangan merupakan soal hidup dan mati suatu bangsa. Apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dapat dipenuhi maka akan terjadi suatu malapetaka bagi bangsa tersebut.
Kemudian, penjajahan lain yang terjadi saat ini malah dilakukan oleh para elit bagsa Indonesia sendiri. Bentuk penjajahan yang kerap kali dilakukan oleh para elit adalah korupsi. Para pejabat yang dengan senang hati “merampok” uang rakyat dengan berbagai cara.
Korupsi merupakan kejahatan yang sangat luar biasa yang sudah ditetapkan sejak lama, namun pemberantasannya masih dengan cara yang biasa saja.  Itu terjadi karena korupsi perbuatan penjajah yang memiliki berbagai alasan untuk membenarkan perbuatannya. Seperti kolonial ketika menguasai Indonesia, mereka menghalalkan segala cara untuk berkuasa, merampas harta benda dan menerapkan kerja paksa. Penjajah korupsi juga demikian.
Mereka dengan sengaja menikmati uang rakyat untuk kepentingan pribadi atau kelompok, tanpa menghiraukan nasib rakyat. Mereka menguras uang yang seharusnya untuk menyejahterakan rakyat. Mereka mengorupsi uang pembangunan, pendidikan, bantuan pertanian, dan sebagainya.  Negara memungut pajak dari rakyat untuk kesejahteraan, namun faktanya membuat rakyat semakin mengalami penderitaan melalui pejabatnya yang korup.
Pada akhirnya penulis menyimpulkan, 74 tahun usia kemerdekaan bangsa ini sejatinya hanya merdeka dari penjajahan kolonial Belanda dan Jepang. Namun makna kemerdekaan yang sesungguhnya masih belum dapat dikatakan merdeka, karena merdeka adalah bebas, bebas dari rasa lapar, bebas dari perbuatan yang dzolim. Masalah-masalah seperti ini harus segera diatasi agar terciptanya keadilan bagi rakyatnya. Oleh karena itu, marilah kita merenung kembali makna kemerdekaan yang hakiki. Bila tidak, boleh jadi indonesia yang saat ini negara bhineka, mungkin saja akan hilang jika harapan rakyat tidak dapat terpenuhi. (Anam/red)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar