Sumber:
www.google.com
Negeri yang terindah sepanjang masa adalah negeriku. Sebuah negeri
strategis yang diapit dua benua dan dua samudera yang menyimpan kekayaan alam
yang melimpah. Seringkali dipuja-puja negara tetangga dan menjadi rayuan pulau
kelapa.
Namun hal ini kian luntur. Kekayaan tak lagi menjadi kebanggan bagi
penduduknya sendiri. Mereka terbuai oleh negeri lain dan seolah lupa dengan
kekayaan sendiri. Mereka lebih bangga berpose di Eropa daripada di Indonesia padahal
mereka punya Jembatan Ampera di Pulau Sumatera, Kepulauan Derawan di
Kalimantan, Candi Borobudur di Pulau Jawa, dan masih banyak lagi. Tren gaya
wisata sudah beralih dan tersingkirkan grade-nya dengan luar negeri. Produk
lokal pun sudah tak ada nilai kebanggaan bagi mereka. Entahlah apa yang ada di
pikirannya.
---0---
“Mau pergi ke mana Nak?”
“Aku mau main sama teman-teman.”
“Sore hari harus sudah di rumah loh Nak.”
“Iya Bu.”
Tak lama menunggu, Bani, Adun, dan Sali menghampirinya seperti
sudah ada janjian sebelumnya. Mereka bersepakat untuk bermain petak umpet. Ada
yang bersembunyi di balik pohon besar, atas pohon, dan tiarap di antara semak
belukar. Begitu riangnya mereka bermain. Satu per satu menjadi penjaga markas,
dan yang lainnya bersembunyi.
Setelah tampak lelah bermain, mereka berkumpul untuk istirahat
sejenak dilanjut mencari buah-buahan di sekitar hutan. Setelah terkumpul,
mereka duduk bercengkrama sambil memakan buah-buahan yang didapatnya. Ada
pukih, kelengkeng, dan kedongdong. Semua itu didapat dari hutan liar yang tidak
terurus namun selalu tumbuh dan masyarakat sekitar banyak memanfaatkannya. Ada
yang memetik buahnya untuk dikonsumsi, dahannya untuk digunakan kayu bayar, dan
getahnya untuk dijadikan karet. Namun di sisi lain, ada satu hal yang menjadi
penting. Warga sekitar sangat bersahabat dengan alam. Tidak ada satu sampah pun
tergeletak atau pohon yang tak ditanam kembali setelah ditebang. Tak ada
tempelan-tempelan peringatan ataupun warning di sepanjang hutan, namun tindakan
merugikan bagi alam sudah menjadi pelangggaran terhadap norma sosial yang ada.
Matahari masih terik. Mereka melanjutkan perjalanan menuju sungai
yang tak jauh dari hutan. Untuk mengenyangkan perut, Rama dan teman-temannya
cukup mencari ranting pohon dan tali kemudian mengailkan cacing tanah lalu mencemplungkannya
ke sungai. Tak menunggu lama, seekor ikan akan nyangkut. Kadang kala ia
mendapat ikan gabus, sapu atau nila. Kemudian mereka membakarnya di atas bara
api kayu bakar.
Mereka pulang menyusuri indahnya panorama pesawahan. Tak lengkap
rasanya jika belum memburu belut di tepi sawah. Hanya diumpani cacing, belut
langsung melahapnya dan terperangkap pada kail. Hasil tangkapannya dibawa
pulang untuk dimasak ibu di rumah. Mereka menepi terlebih dahulu di sebuah gubuk
kemudian melanjutkan perjalanan pulang.
Setibanya di rumah, Rama disuguhi kelapa muda oleh ibunya yang
dipetik ayahnya dari pohon depan rumah.
“Bu, tumben memetik kelapa muda banyak-banyak.”
“Tadi ada tamu dari kota, Nak. Dia ingin bertemu ayahmu.”
“Siapa bu?”
---0---
Suatu hari ketika perjalanan pulang dari sekolah, Rama melihat tiga
orang pria berkemeja dan berdasi di depan rumahnya. Salah satu di antara mereka
berwajah seperti orang Bule. Selama ayahnya menjabat jadi kepala desa, ia tak
pernah melihat tamu seasing itu. Rama menahan tubuhnya di balik pohon untuk mengintip
mereka yang sedang bercengkerama ringan bersama ayahnya.
Bla, bla, bla... Rama tidak memahami apa yang mereka bincangkan. Tiga pria itu lewat
di hadapannya. Hampir saja mereka menjumpai Rama yang menyelinap di balik
pohon. Setelah mereka benar-benar pergi dengan mobil mewahnya yang terparkir di
tepi jalan, ia masuk rumah.
Seusai mengucapkan salam dan mencium tangan ayah, Rama lantas bertanya.
“Siapa tamu yang tadi yah?”
“Oh, itu utusan dari pemerintahan.”
Pemerintahan? Rama tidak meyakininya. Tiga pria tadi tidak
berseragam dinas. Ketika sudah menginjak remaja, Rama selalu bertindak kritis
terhadap suatu apapun.
“Tidak mungkin ayah. Mereka berpakaian rapi dan mewah. Tidak ada
identitas kepemerintahanannya.”
“Sudahlah Nak, yang jelas itu teman ayah.”
Rama tidak puas dengan jawaban ayahnya.
“Makan dulu Nak.” Ibunya mengingatkan untuk makan. Kemudian Rama
menuju meja makan.
“Yah, setelah makan, Rama mau ke rumahnya Adun untuk mengerjakan
tugas.”
“Iya, silakan. Makanannya habiskan dulu.”
Setelah lekas, Rama mengayuh sepedanya ke tempat yang dituju. Di
tengah perjalanan, ia menjumpai sebuah mobil yang sama persis dengan apa yang
dikendarai pria berkemeja tadi. Mobil itu terparkir di dekat pesawahan. Ia
memperhatikan gerak-geriknya yang mencurigakan. Rama mengintip mereka di balik
pohon dan memandangnya lekat-lekat. Kemudian ia mempercepat laju sepedanya
menuju rumah Adun. Sali dan Bani yang sudah berkumpul di rumah Adun sejak tadi.
“Kenapa kamu ngos-ngosan?”
tanya Adun.
“Ini minum dulu.” Bani menyodorkan segelas air putih.
Setelah meminumnya beberapa tegukan, Rama angkat bicara.
“Tadi, di sana..... “
“Ada apa?” Sali penasaran.
“Tiga orang pemuda berkemeja sedang berkumpul. Aku lihat dengan
mata kepala sendiri.”
“Itu sih sudah biasa. Jangankan tiga orang. Berpuluh-puluh orang
pun banyak.” Tebak Adun.
“Tapi ini beda Dun. Tiga orang itu berkomplot untuk merencanakan
sesuatu.”
“Sesuatu apa?”
“Ayo ikut aku.”
Rama mengajak mereka ke suatu tempat yang tadi ia lewat. Setibanya
di sana, mereka menyusun barisan. Mereka mengintip di balik pohon yang berbeda.
Seorang pria berkemeja berdiri menunjuk ini dan itu. Mukanya tampak mantap
sekali. Pria yang lain membuka sebuah lembaran yang Rama kira adalah sebuah
denah. Rama menarik tangan teman-temannya mengajak mereka ke tepian.
“Kalian lihat sendiri kan?”
Mereka mengangguk.
“Kita tidak boleh diam. Harus kita laporkan ke kepala desa.”
“Kan ayahmu sendiri.” Jawab Sali.
“O iya. Ayo kita ke rumahku.”
Baru tiga langkah menuju pulang, Rama mengurungkannya.
“Tunggu. Jangan ke rumahku.”
“Kenapa?”
“Kita ke rumahnya pak camat saja. Aku tak yakin kalau ayahku akan
menjawabnya dengan jujur.”
Pak camat tampak sedang memberi makan burung merpati di depan
rumahnya.
“Ada keperluan apa kamu ke sini?.”
Rama menjelaskan hasil penyelidikannya dengan jelas dan rinci.
“Lantas, apa yang kamu minta dari saya?”
“Bisakah bapak menghentikan tingkah tiga orang pria itu?”
“Sebentar Nak, jangan terburu-buru dalam bertindak. Butuh
pendekatan sosialis untuk memecahkannya.”
“Apa itu pak camat? Makanan apa itu? Sosis?” Celoteh Adun. Rama
menegur, membisikinya untuk tidak bersuara. Ini forum serius, Dun.
“Butuh pengumpulan bukti yang jelas supaya tidak salah dalam
menghukum sesuatu.”
“Pokoknya selesaikan secepatnya ya pak dalam 1x24 jam ini.” tegas
Rama.
“Siap. Bapak sangat mengapresiasi tindakanmu Nak.”
Rama dan teman-temanya pamit pulang.
---0---
“Bani, di mana kamu bersembunyi?” Rama berteriak mencari-cari Bani.
Di antara mereka, hanya Bani yang belum ditemukan keberadaannya.
“Rama, Adun, Sali, sini! “
Ketika hendak bersembunyi, Bani dikejutkan dengan sebuah gedung
tinggi mewah dan pabrik di atas pesawahan. Tak ada kesejukan yang terlihat
melainkan asap-asap kotor melayang di udara dan suara bising mengganggu
telinga.
Mereka menatapnya dengan terkesima kemudian saling memandang satu
sama lain.
“Kenapa hutan dan sawah kita jadi begini?”
“Bagaimana anak-cucu kita dapat merasakan kayanya alam desa?”
“Aku takut bencana alam menimpa anak-cucu kita karena ulah
keserakahan manusia.”
“Aku tak menyalahkan jika lahan sawah dan hutan dibangun untuk
kepentingan pendidikan. Tapi ini?”
Mereka berturut-turut saling menuturkan rasa kecewanya terhadap
keadaan desa sekarang. Berselang beberapa detik kemudian, geledek mulai
terdengar diiringi petir dan guntur yang membuat mereka terkaget.
Sayang, sebelum mereka sampai rumah, curah hujan kian tinggi dan
genangan air tak merembes ke tanah ataupun mengalir ke sungai. Air itu kian
meninggi dan meninggi.
“Tidaaaaaaakkkkkkkkkk.....”
Rama terbangun dari tidur siangnya di atas sofa. Sembari
berkata-kata tanpa sadar.
“Aku tidak akan membiarkan sejengkal pun tanah desaku termakan oleh
orang asing. Sampai kumenutup mata.”
Ibunya yang sedang menyapu tak mampu menahan tawa karena Rama
sendiri masih menutup matanya dan belum sadarkan diri. (Fadlan/red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar