Jumat, 14 Februari 2020

Teologi Jomblo : Liberal Berkarya dan Liberal Berekspresi


doc. google

Teologi Jomblo : Liberal Berkarya dan Liberal Berekspresi
Oleh : Fadlan S

“Terkadang kita salah mempersepsikan istilah jomblo. Menjadi jomblo adalah sebuah pilihan, bukan semata-mata sebuah nasib.”

Dilihat dari asal-usulnya, kata “jomblo” bukan merupakan kata dalam Bahasa Indonesia, melainkan serapan dari Bahasa Sunda yang dibakukan ke dalam Bahasa Indonesia yang artinya pria atau wanita yang belum memiliki pasangan. (IDN Times, 2019)

Generasi muda adalah masa-masa ketika hasrat kedewasaan sudah matang dan mumpuni untuk disalurkan. Namun banyak sekali pertimbangan yang harus diprioritaskan seperti tingkat pendidikan dan kemapanan ekonomi. Di antara kedua poin ini, ada satu hal yang berperan sebagai “bumbu kehidupan”, yaitu asmara. Mustahil anak muda tidak memiliki hasrat asmara yang merupakan pigmen cinta kasih Allah kepada manusia untuk menjadikan hidupnya lebih indah. Itulah mengapa manusia bisa menyaingi kehebatan malaikat jika mampu mengelola anugerah ini dengan baik.

Setiap orang memiliki prinsip hidup masing-masing. Dalam hal ini, setiap pemuda memiliki pola pandangnya tersendiri dalam memahami “jomblo”. Ada yang menghindari jomblo karena gengsi, ada yang memang berpendirian bahwa menjadi jomblo itu hidupnya kurang lengkap, ada pula yang memang memilih untuk menjadi “jomblo” dengan alasan-alasan yang lebih spiritual. Tulisan ini mengajak pembaca untuk melihat nash-nash ayat suci Al-Qur’an yang sedikit banyak menyinggung masalah asmara.

Penulis ingin mengangkat mau’idhoh yang didapatnya selama menjadi budak para guru-guru selama di MAPK Surakarta. Tentu saja pendidikan mempengaruhi argumentasi penulis yang melatarbelakangi segala tindakan dan prinsip hidupnya.

Ustadz Mundzir Fatah adalah salah seorang sosok guru yang menginspirasi bagi penulis. Suatu saat beliau menyinggung soal asmara yang mengaitkannya dengan Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 21. “Kita itu familiar dengan kata sakinah, mawaddah, warahmah, namun kurang bisa mendalaminya,” begitu kurang lebih kata yang penulis ingat di memori. Menurut beliau, tahapan dalam menggapai puncak asmara (perkawinan) adalah 3 tahap, yaitu sakinah (bertemu menjadi satu kesatuan ikatan yang sah), mawaddah (timbul rasa saling mencintai antara keduanya), dan warohmah (saling menyayangi satu sama lain). Di luar tiga tahap ini maka hanyalah sebuah tindakan di luar apa yang digariskan syari’at.

Sejauh ini penulis belum mengetahui betul apa itu makna sakinah. Setelah beliau menyampaikan petuah itu, maka penulis pun mengakui bahwa pada dasarnya untuk jatuh cinta itu hanya perlu bertemu dalam jangka waktu yang sangat sering. Contohnya saja dalam hal membaca buku. Untuk jatuh cinta kepada membaca, maka Anda perlu membaca dengan sering. Begitupun dengan mencinta. Untuk jatuh cinta pada seseorang, maka Anda hanya perlu menjalin hubungan yang mengharuskan dan memberikan Anda banyak kesempatan untuk menemuinya. Itulah yang dimaksud dengan akad nikah.

Atas dasar itulah maka penulis berpandangan bahwa berpacaran berada di luar garis itu. Untuk menjadi pria yang berstatus “sudah berpacaran”, justru membuat rasa cinta kasih kita kepada orang lain menjadi berkurang. Status berpacaran berarti ketidakbebasan : ketidakbebasan dalam banyak hal. Ketika bertemu dan dekat dengan wanita lain, maka pacar kita cemburu. Atau bahkan foto berdua dengan lawan jenis, maka pacar kita marah. Kalau tidak memberi kabar, maka pacar kita sedang dilanda kerinduan yang memuncak. Kepada siapa lagi ia harus melabuhkan hatinya? Ya, dia sudah diperbudak oleh pasangannya sendiri yang notabene belum berhak untuk menandaskan hati padanya. Belum ada ikatan yang menjadikannya sah untuk sebuah sandaran hati.

Atas dasar itulah, penulis terharu dengan sistem di MAPK Surakarta yang melarang adanya pacaran. Tidak hanya bertemu (nge-date) bersama pasangan, bahkan saling chatting-an satu sama lain juga akan mendapatkan sanksi. Apalagi jika tertangkap basah bertemuan dengan pacar, maka hukuman drop out (dikeluarkan secara tidak hormat) menjadi balasannya. Tindakan preventif dari hal ini adalah selalu menyertakan Divisi Keamanan ketika akan dilaksanakan rapat tiap divisi antara putra dan putri.  

Demikianlah sekelumit motivasi dan petuah yang penulis serap dan tersimpan di memori sehingga menjadi sebuah prinsip yang dipegang oleh penulis. Menjadi jomblo yang berkualitas adalah pilihan hidup yang terbaik bagi pemuda yang ingin liberal dalam melebarkan sayap cinta dan liberal dalam berekspresi juga berkarya. Selamat ber-jomblo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar