doc. google
Teologi Jomblo : Liberal Berkarya dan Liberal Berekspresi
Oleh : Fadlan S
“Terkadang kita salah mempersepsikan
istilah jomblo. Menjadi jomblo adalah sebuah pilihan, bukan semata-mata sebuah
nasib.”
Dilihat dari asal-usulnya, kata “jomblo”
bukan merupakan kata dalam Bahasa Indonesia, melainkan serapan dari Bahasa
Sunda yang dibakukan ke dalam Bahasa Indonesia yang artinya pria atau wanita
yang belum memiliki pasangan. (IDN Times, 2019)
Generasi muda adalah masa-masa ketika
hasrat kedewasaan sudah matang dan mumpuni untuk disalurkan. Namun banyak
sekali pertimbangan yang harus diprioritaskan seperti tingkat pendidikan dan
kemapanan ekonomi. Di antara kedua poin ini, ada satu hal yang berperan sebagai
“bumbu kehidupan”, yaitu asmara. Mustahil anak muda tidak memiliki hasrat asmara
yang merupakan pigmen cinta kasih Allah kepada manusia untuk menjadikan
hidupnya lebih indah. Itulah mengapa manusia bisa menyaingi kehebatan malaikat
jika mampu mengelola anugerah ini dengan baik.
Setiap orang memiliki prinsip hidup
masing-masing. Dalam hal ini, setiap pemuda memiliki pola pandangnya tersendiri
dalam memahami “jomblo”. Ada yang menghindari jomblo karena gengsi, ada yang
memang berpendirian bahwa menjadi jomblo itu hidupnya kurang lengkap, ada pula
yang memang memilih untuk menjadi “jomblo” dengan alasan-alasan yang lebih
spiritual. Tulisan ini mengajak pembaca untuk melihat nash-nash ayat suci
Al-Qur’an yang sedikit banyak menyinggung masalah asmara.
Penulis ingin mengangkat mau’idhoh
yang didapatnya selama menjadi budak para guru-guru selama di MAPK Surakarta.
Tentu saja pendidikan mempengaruhi argumentasi penulis yang melatarbelakangi
segala tindakan dan prinsip hidupnya.
Ustadz Mundzir Fatah adalah salah seorang
sosok guru yang menginspirasi bagi penulis. Suatu saat beliau menyinggung soal
asmara yang mengaitkannya dengan Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 21. “Kita itu
familiar dengan kata sakinah, mawaddah, warahmah, namun kurang bisa
mendalaminya,” begitu kurang lebih kata yang penulis ingat di memori.
Menurut beliau, tahapan dalam menggapai puncak asmara (perkawinan) adalah 3
tahap, yaitu sakinah (bertemu menjadi satu kesatuan ikatan yang sah), mawaddah
(timbul rasa saling mencintai antara keduanya), dan warohmah (saling
menyayangi satu sama lain). Di luar tiga tahap ini maka hanyalah sebuah
tindakan di luar apa yang digariskan syari’at.
Sejauh ini penulis belum mengetahui betul
apa itu makna sakinah. Setelah beliau menyampaikan petuah itu, maka penulis pun
mengakui bahwa pada dasarnya untuk jatuh cinta itu hanya perlu bertemu dalam
jangka waktu yang sangat sering. Contohnya saja dalam hal membaca buku. Untuk
jatuh cinta kepada membaca, maka Anda perlu membaca dengan sering. Begitupun
dengan mencinta. Untuk jatuh cinta pada seseorang, maka Anda hanya perlu
menjalin hubungan yang mengharuskan dan memberikan Anda banyak kesempatan untuk
menemuinya. Itulah yang dimaksud dengan akad nikah.
Atas dasar itulah maka penulis berpandangan
bahwa berpacaran berada di luar garis itu. Untuk menjadi pria yang berstatus “sudah
berpacaran”, justru membuat rasa cinta kasih kita kepada orang lain menjadi
berkurang. Status berpacaran berarti ketidakbebasan : ketidakbebasan dalam
banyak hal. Ketika bertemu dan dekat dengan wanita lain, maka pacar kita
cemburu. Atau bahkan foto berdua dengan lawan jenis, maka pacar kita marah.
Kalau tidak memberi kabar, maka pacar kita sedang dilanda kerinduan yang
memuncak. Kepada siapa lagi ia harus melabuhkan hatinya? Ya, dia sudah
diperbudak oleh pasangannya sendiri yang notabene belum berhak untuk menandaskan
hati padanya. Belum ada ikatan yang menjadikannya sah untuk sebuah sandaran
hati.
Atas dasar itulah, penulis terharu dengan
sistem di MAPK Surakarta yang melarang adanya pacaran. Tidak hanya bertemu
(nge-date) bersama pasangan, bahkan saling chatting-an satu sama lain
juga akan mendapatkan sanksi. Apalagi jika tertangkap basah bertemuan dengan
pacar, maka hukuman drop out (dikeluarkan secara tidak hormat) menjadi
balasannya. Tindakan preventif dari hal ini adalah selalu menyertakan Divisi
Keamanan ketika akan dilaksanakan rapat tiap divisi antara putra dan putri.
Demikianlah sekelumit motivasi dan petuah
yang penulis serap dan tersimpan di memori sehingga menjadi sebuah prinsip yang
dipegang oleh penulis. Menjadi jomblo yang berkualitas adalah pilihan hidup
yang terbaik bagi pemuda yang ingin liberal dalam melebarkan sayap cinta dan
liberal dalam berekspresi juga berkarya. Selamat ber-jomblo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar