Jumat, 14 Februari 2020

Kisah Dua Bunga


doc. google

Kisah Dua Bunga
Oleh : Ali Hamidi

"Silahkan mampir, hari ini adalah hari kasih sayang. Silahkan beli bunga dan berikan pada orang yang anda sayangi" Teriak salah seorang penjaga toko di sebuah komplek. Wanita itu bermata sipit khas orang Asia. Tubuhnya kecil, rambutnya terikat ke belakang. Melambai lambaikan tangannya di keramaian jalan mengajak mampir dan menawarkan berbagai jenis bunga warna warni yang ada di tokonya. Senyumnya lebar, ia sangat ramah.

Beberapa orang jalan kaki masuk untuk membeli, beberapa juga ada yang masih celingak celinguk di epan took. Februari ini pengunjung kota Paris sangat ramai melebihi biasanya. Jalanan ramai pejalan kaki, puluhan pasang remaja hingga orang tua bergandengan tangan menjelajahi kota itu, tepat di bawah menara Eifel. Icon kota yang tersohor di seluruh dunia.

Siapa kira dengan julukan kota paling romantis di dunia itu mengundang turis berwisata ke sisni, juga membuat toko fleur de paris sangat ramai, tidak sia sia perempuan itu menyambut hangat para pejalan kaki. Tokonya kini ramai. Di depan kaca toko kini telihat dua orang sedang mangamati cukup lama. Seorang kakek tua berjaket tebal berarna putih, rambutnya juga putih beruban nampak sedang mengamati jendela toko, sesekali senyumnya terukir manis setelah memandangi bunga bunga. Tak jauh di sampingnya seorang anak muda, berpakaian modis, bercelana jeans panjang juga mengamati berbagai jenis bunga di pajangan. Ia melirik seikat bunga mawar yang merah menyala, berhias kain merah muda yang anggun. Ada pula bunga yang putih bercahaya sangat mempesona. Tapi ia tak tahu nama dan jenisnya.
           
Perempuan penjaga took itu melihat mereka berdua, dengan langkah pelan mencoba tidak mengejutkan, sang penjaga menyapa mereka,"Selamat sore tuan tuan, kalau boleh tau ingin mencari bunga apa?" sapa penjaga toko, setelah itu ia menjelaskan berbagai jenis bunga yang umumnya dibeli di toko itu seperti mawar, tulip, matahari dan lain sebagainya. Ia bilang setiap bunga memiliki cerita dan filosofi. Setelah penjelasan yang singkat dari penjaga toko keduanya pembeli hampir bersamaan menyebut bunga yang sama,"krisan putih".

Sang penjaga tersenyun lalu memuji mereka,"Kalian pandai memilih, krisan putih adalah lambang kesempurnaan, bunga ini sebagai tanda pujian kepada sang kekasih atau orang yang sangat kalian sayangi"

Sang penjaga tersenyum lagi menatap mereka berdua lalu buru buru mengambil bunga yang mereka pesan.
"Hai nona" panggil kakek membuat langkahnya berhenti seketika.
"Aku minta bunga krisan putih juga potnya. Ada?" Pinta sang kakek.
"Iya pak" sang penjaga mengangguk, tersenyum. Mungkin kakek akan membawanya pulang untuk dirawat.

Pemuda itu mendekati kakek sambil memasukkan kedua tangannya ke jaket, memeriksa beberapa lembar uang dikantongnya lalu memandang wajah kakek, berusaha menyapa,”Untuk istri kakek?”
Kakek hanya membalas senyum dan mengangguk kecil.
"Kakek suka bunga" pemuda itu mencoba tersenyum ramah.
"Tidak, aku mencintainya" Jawab kakek singkat lalu membalas senyumnya.
"Apa bedanya?" tanya pemuda itu dengan nada agak meremehkan.
"Silahkan bunga kalian" sahut penjaga mengakhiri percakapan keduanya.

Mereka mengambil bunga masing-masing, menyerahkan beberapa lembar uang lalu bergegas pergi ke arah yang berlawanan. Pemuda itu berjalan agak cepat ingin menjumpai kekasihnya, berharap semoga kekasihnya bisa datang menemuinya sore ini, di sebuah kafe mewah tempat mereka berjanjian. Ia sangat merindukannya.
Belum sepuluh menit ia berjalan, gerimis mulai datang. Pemuda itu cepat cepat melangkahkan kakinya, sekitar 200 meter lagi ia akan sampai ke kafe pesanannya, seudah lama ia menabung untuk menyiapkan hari spesial ini.
"Dtiiit" dering pesan masuk melalui ponsel pemuda itu. Dari kekasihnya Yelena.
Ia lantas membukanya.
"Rey maafkan aku tidak bisa menemui hari ini, juga seterusnya. Kau tampan, baik dan sopan kepada semua orang, tak akan sulit kau mencari gadis lagi. Jangan cari aku, sekarang aku dan Devid, senior kuliahku sudah berkomitmen, kita saling mencintai. Aku harap kau melupakanku, sorry"

Langkah Rey terhenti di bawah pemberhentian bus kota, seketika badannya lemas dan tergeletak bersandar di kursi tunggu setelah membaca pesan singkat itu. Sabuah kafe yang disewanya kemarin dengan tabungan kerjanya selama berbulan bulan sia sia, begitu juga dengan beberapa pemain biola yang telah lama berlatih. Ia merogoh saku jaketnya lagi, bukan hendak mengambil uang, tapi mengamati lagi sebuah kotak cincin permata. Luntur sudah rencana melamar kekasihnya sore ini. Lima tahun yang hancur sekejap mata. Ia masih bersandar meratapi dirinya, sementara gerimis telah menjadi hujan lebat, membasahi jalan yang tandus. Rey mengusap air matanya.

Di lain jalan dan sudut kota yang berbeda, cukup jauh kakek berjalan dari arah toko fleur de paris menuju pemakaman Pere-lachaise. Ia sangat hafal lokasi lokasi pemakaman itu, tak jauh dari bawah pohon seukuran dirinya ia duduk. Mengelus elus sebuah nisan bertulis "Sri Ningrum" istri sang kakek. Sambil menunduk kakek mengucap salam dan berdoa untuk seisi pemakaman terkhusus istrinya.

Pot bunga krisan putih di taruhnya di sebalah kiri nisan, berjejer dengan beberapa pot bunga lain, ada juga yang tertanam di atas tanah makam istrinya. Air matanya meleleh membasahi wajahnya, ia teringat masa masa bersama istrinya. Mereka opasangan suami istri asli jawa yang diberi takdir menghabiskan masa tuanya di paris.

Kakek teringat suatu hari, tahun lalu di bulan Februari ia pulang ke rumah membawa setangkai bunga yang dibelinya di toko pinggir jalan, kakek bilang ini hari valentine seperti yang orang lain rayakan, ini hari kasih sayang. Sengaja ia berikan bunga itu untuk istrinya.

Istrinya hanya terdiam, lalu memandang kakek tajam.

Mereka saling bertatapan,"Apa mas bisa melihat wajahku dan rambutku?. Lalu aku juga bisa melihat wajahmu dan rambutmu" ujar nenek yang tiba tiba matanya berkaca kaca. Kakek terdiam tak mengerti.

"Setiap kerut yang tercipta dari wajah kita mas, setiap uban yang tumbuh dirambut kita. Mas adalah orang yang selalu menemaniku, mencintaiku dan membuat cerita cerita bahagia dalam hidupku. Meski pada akhirnya aku mengecewakanmu dengan tak bisa memberimu buah hati" air mata nenek mengalir.

"Tolong jangan berkata seperti itu" sambung kakek, lalu mencoba menenangkan tangis nenek dengan memeluknya erat.

"Kita tidak seperti orang orang yang hanya setahun sekali merayakan hari kasih sayang. Mas membuat hari hari yang aku lalui adalah hari kasih sayang, setiap hari Mas. Dan itu adalah kenangan termanis untukku."

"Tolong jangan bawa bunga yang terpotong lagi untukku, jangan sakiti bunga itu. Kalau mas menyukai bunga, Mas akan membawanya pulang dan menbiarkannya layu. Tapi kalau Mas mencintai bunga, Mas akan merawatnya dan membiarkannya hidup"

Setelah berkata seperti itu nenek menangis tersedu sedu teringat keberuntungan yang ia miliki, pemberian Tuhan paling berharga, Aji Arwani, suaminya. Kakek juga tak kuasa menahan tangis hari itu, juga sekarang. Di atas gundukan tanah makam istrinya yang penuh bunga, ia membawakannya bunga, Kakek sangat rindu. Februari tahun lalu ia menenangkan istrinya namun sekarang ia tak bisa. Sri Ningrum telah pergi mendahuluinya.

Di sudut barat kesukaan seorang pemuda kepada bunga harus berakhir layu seperti kisah cintanya. Sementara di sebelah timur toko, di sebuah pemakaman, kecintaan kakek terhadap bunga membiarkannya tetap hidup menghiasi makam istrinya. Begitulah kisah dua bunga yang memiliki tempat tujuan karena pembelinya.

"Aku tidak perlu menunggu hari valentine untuk mengasihi dan menyayangimu. Karena kau adalah alasan terbesar terciptanya hari hari penuh kasih sayang dihidupku." Lirih kakek dalam hatinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar