Minggu, 14 Februari 2021

The Wonder Mom (Perjuangan Seorang Ibu untuk Keluarga

 The Wonder Mom
(Perjuangan Seorang Ibu untuk Keluarga)

Oleh: M. Wisnu Nugraha


(Gambar ilustrasi berasal dari: google) 


  Di Desa terpencil di tatar Sunda, terdapat seorang wanita yang hidup menjanda. Ia hidup di gubuk istana bersama ke empat anaknya. Saat malam menjelang, sesekali ia termenung karena merasa kesepian tanpa belaian Sang Suami yang sudah lama tak dijumpainya. Semua bermula, ketika suaminya menderita sakit keras sampai berminggu-minggu tapi penyakitnya tak kunjung membaik juga. Rasa penasaran yang semakin menjadi-jadi membuat tekadnya semakin kuat untuk membawa suaminya ke Rumah Sakit dengan mengorbankan segala sesuatu yang dimilikinya. Sang Suami akhirnya bisa berangkat dengan menggunakan mobil pick-up, maklum keterbatasan biaya membuatnya harus mencari jalan alternatif lain yang lebih menghemat biaya yang penting suaminya bisa sampai dulu di Rumah sakit yang di tuju. 

Ntahlah!.. gara-gara uang terkadang menjadikan manusia tidak memiliki rasa kemanusiaan. Semua tercermin dari ruangan pasien yang didapatkan, di saat suaminya membutuhkan ruangan khusus dengan perawatan yang intensif lagi-lagi masalah biaya memutus harapannya. Setelah seminggu di Rumah Sakit Sang Suami tak kunjung mendapatkan perawatan secara maksimal. Ia tak menyangka, keajaiban akhirnya menghampiri setelah sekian lama Sang Suami berjuang melawan penyakitnya. 

      Tuhan akhirnya mengabulkan sebait do’a yang senantiasa ia panjatkan untuk kesembuhan Sang Suami di setiap kesempatan. Sang Suami akhirnya mendapatkan kesembuhan, hal itu nampak dari raut wajah Sung Suami yang sangat tenang sambil tersenyum tipis tanpa merasakan sedikitpun penderitaan akibat penyakitnya. Tuhan lebih sayang dengan suaminya, oleh karena itu Dia memanggil suaminya lebih cepat untuk menghadapnya. Seketika tangis histeris mewarnai hari duka itu ia tak sanggup mebendung air mata lagi yang semakin deras menghujani pipinya. 

Geroan Dokter, burukeun geroan!”. Teriaknya menyuruh Sang Anak memanggilkan dokter.

“Dokter..dokter…dokter!”.  Jerit anaknya dengan terengah-engah.

Sang dokter datang dengan santainya seolah tidak ada hal yang penting, dan dengan lugu dokter itu berkata, “Mohon maaf suami ibu sudah meninggal dunia”. 

Sang anak yang tidak terima mengacak-ngacak semua barang yang ada di kamar pasien tempat ayahnya dirawat saat itu. 

“Sialan memang, mentang-mentang gue berasal dari keluarga miskin mau berobat yang layak aja susah”. Gumamnya di lubuk hati yang terdalam.

Ia pandangi lagi wajah ayahnya yang sudah mulai memucat dan terbujur kaku.

“Bapak….bapak…bapak!”. Suara jeritan tangisnya sambil tersedu-sedu. 

Airmata yang tadinya deras membahasahi seketika mengering, mungkin saking kagetnya mendengar kabar duka tersebut. Ia terus membangunkan suaminya yang sudah tak bernyawa berharap akan adanya keajaiban, siapa tahu suaminya hanya pura-pura, dalam pikirannya. Ia mulai tersadar, bahwa yang namanya kematian memang sudah ditentukan Tuhan, mau siapapun dia jika sudah tiba waktunya maka dia tidak akan bisa mengelak akan ketetapan-Nya. Sesekali ia menengok anak-anaknya apalagi yang paling kecil yang masih berusia 5 tahun dan tentu masih sangat membutuhkan belai kasih sayang ayahnya. Air mata yang tadinya sudah mengering tiba-tiba mengalir kembali ketika ia melihat anak-anaknya. 

Betapa besar kesedihan yang ia alami saat itu, sudah berstatus janda di usia yang masih muda dengan anak-anak yang masih kecil pula. 

“Mau bagaimana lagi nasi sudah menjadi bubur yang sudah tiada, mana mungkin bisa kembali”. Kata hatinya dengan penuh kesedihan.

Ia tak bisa terus-terusan bermurung tanpa berbuat apa-apa. Sementara itu, ia masih punya empat orang anak yang harus dibesarkan dan dikasih makan, bagaimana pun keadaannya saat ini ia tetap harus bertanggung jawab atas kehidupan anak-anaknya. Menjadi single parent dengan empat orang anak memang tidak semudah yang terbayangkan. Apalagi jika melihat mata pencahariannya yang hanya bekerja sebagai buruh dengan gaji yang pas-pasan bahkan cenderung kurang untuk mereka berlima. Sebab  semua anaknya masih mengenyam pendidikan sekolah, sudah barang tentu gajinya yang pas-pasan itu harus ia atur dengan cermat. Yaa! minimalnya ia tidak terlalu menunggak hutang yang terlalu menggunung, takutnya nanti ia juga yang susah untuk melunasinya. 

Sehari dua hari memang masih belum bisa lupa dan melepaskannya secara ikhlas. Bayangan suaminya seolah-olah masih ada di dekatnya, dan masih melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan. Lama-kelamaan ia sadar juga, bahwa ada hal yang lebih penting yang harus ia pikirkan daripada terus berkhayal mengharap yang tidak pasti. sebulan berlalu sedikit-demi sedikit ia mulai lupa dan mulai bisa merelakan kepergian suaminya. 

         Ternyata memang benar adanya melupakan dan mengikhlaskan sesuatu yang kita sayangi itu membutuhkan waktu yang lama, bisa seminggu, bisa sebulan, atau bisa juga setahun bahkan ada juga yang bertahun-tahun. Semua tergantung seberapa besar rasa saling cinta mereka karena cinta yang sejati adalah cinta yang tak akan mati meskipun harus terpisah dengan kematian. Cintailah mereka yang sudah mati dari lubuk hatimu yang paling dalam niscaya mereka akan merasakannya.


…(Nantikan kelanjutan kisah ini yaa)….

1 komentar: