Sabtu, 10 April 2021

Berita dan Cerita Orang-orang Desa

Berita dan Cerita Orang-orang Desa

Oleh: Rochma;  Septi;  dan Ali 


(Gambar ilustrasi berasal dari google) 


“Kukira gara-gara kau lahir persis di tahun dimana Indonesia mengalami krisis moneter, nasibmu jadi sial Man” ujar Anun, anak Camat setempat yang berambut kriting dan berkulit sawo gosong. Manusia bernama Anun itu memang dilahirkan ke dunia ini untuk menjadi peran antagonis. Bakatnya sudah ada sejak kecil yaitu sombong. Tujuan hidupnya tertulis di topi hitam yang selalu ia pakai kemana-mana, kalimat bijak entah berasal dari kutipan acara televise mana, “Aku kaya, maka aku ada.”


Belum sempat Rahman membalas kalimat Anun. Eh si Anun tiba-tiba nyeletuk lagi. Kesombongannya makin spesifik,

“Dilihat dari warna kulitmu yang coklat karena kepanasan, rambutmu yang tak jelas gayanya, wajahmu yang melas, bau tubuhmu yang seperti lumpur sawah serta kakimu yang pendek itu. Sepertinya kau memang cocok jadi orang miskin. Jadi petani seperti silsilah keluargamu Man.”


Rahman hendak membantah dan membalas, tapi ia sibuk memahami kalimat Anun, bahwa di negara ini miskin dan kaya urusan penampilan memang. Karena kebanyakan orang tidak menginginkan kaya, melainkan hanya ingin terlihat kaya.


Rahman membalas dengan argumen yang sering ia lontarkan, “Tapi sekolahku punya peringkat dan ujianku tak membuka buku. Bukan macam kau yang pesan jawaban orang lain.”

Lalu dengan gayanya, Anun menanggapi dengan argumen yang sering ia lontarkan pula, “Ayolah Man, Ujung Rahman.”

“Ujang” Rahman membenarkan.

“Sekolah itu urusan transaksi Man, siapa yang bayar ia yang sekolah. Bukankah begitu? Lihatlah namamu saja Ujang atau Ujung. Memang ccocok jadi orang-orang pinggiran saja” karena tak merasa disindir karena ucapan Anun benar, Ujang Rahman tak marah. Ia malah sibuk memikirkan apa sebenarnya arti namanya.

“Bukankah begitu Asep? Rendi?” Anun meminta keyakinan dua teman mereka yang lain. Karena faktor usia, Anun lebih dihormati.


Asep mengangguk-angguk saja, anak tukang becak itu tak akan berbicara di luar kemampuannya: dunia perbecakan.

“Becakmu bagaimana Sep? apa becak sudah bisa memakai remot dan antena hahaha” setelah Ujang Rahman terdiam memikirkan arti namanya, Asep jadi incaran Anun.


Anak tukang becak yang pendek, suka membaca dan pandai bernegosiasi ini agak tempramen ketika mendengar kalimat Anun, “Becak itu merupakan bagian ilmu semiotik, simbol gerak fisik dan spiritual dari berbagai bentuk pergerakan badan, terutama kaki, mengartikan upaya untuk maju dan berkembang, tak sembarang orang bisa menjadi tukang becak. Naik becak memiliki kedekatan intensif yang menjadi ikatan tersediri dalam jarak dan perbincangan antara penumpang dan pegayuh pedal” jelas Asep. Karena sering membaca, ia paling pintar di antara temannya yang lain.


“Gak ngerti aku Sep, biarlah becak dan melarat itu urusanmu saja. Aku memiliki fokus menjadi youtuber suatu hari nanti. Kau mendukungku kan Rendi?” Anun membela diri.


Rendi hanya mengangguk. Anun tak akan mengajukan pertanyaan atau menyombongkan diri kepadanya, karena Rendi tak akan menanggapi atau menjawabnya, sebab ia memang tunawicara. Ia hanya fokus beternak ayam bersama bapaknya ketika pulang sekolah.

“Sekolah saja masih belum lulus malah mau jadi youtuber” celetuk Ujang Rahman.


“Setelah lulus nanti, bapakku pasti mau mendaftarkanku di kampus terkenal di Jakarta sana. Gampang, tinggal bayar lalu menunggu empat tahun dan lulus” Anun menggebu-gebu, hingga gubuk di tengah sawah yang terbuat dari kayu itu agak bergoncang. Gubuk tua dari kayu itu, berada di tengah-tengah sawah milik Ujang Rahman.


Seekor capung hinggap di ujung genteng gubuk Pak Arif, lalu bersamaan kami menoleh ke arah capung itu. Merah dan menyala, dan ia melirik kami. Seorang narasumber dan wartawan yang sedang melakukan wawancara di tengah sawah. Aku ditugaskan media tempatku bekerja secara terhormat menjadi tim redaksi untuk mewawancarai Pak Arif, seorang pemuda berusia 24 tahun yang sukses menjadi pelopor pertanian di tempat asalnya, Kota Indramayu.


“Apa karena mendapat ejekan dari teman Bapak, maka Pak Arif menjadi bangkit dan semangat seperti berbagai cerita motivasi begitu?” tanyaku memperjelas cerita beliau tentang masa kecilnya.


“Ah. Tidaklah, buat apa saya repot-repot mendengar ejekan Anun. Setelah kejadian itu saya malah sibuk mencari arti nama saya, Ujang Arif  Rahman. Ujang artinya laki-laki, Arif itu bijaksana dan Rahman seperti asmaul husna, artinya penyayang” jelasnya kemudian menoleh ke arah hamparan sawah.


Muda, menyenangkan dan juga sudah sukses dengan kemampuannya. Atasanku menyuruhku menggali hal-hal penting yang bisa ditulis di koran. Namun Pak Arif bukan bercerita lika-liku usahanya hinggaa merintis kesuksesan di pertanian, melainkan bercerita masa kecilnya bersama taman-temannya yang bermacam-macam. “Lalu bagaimana upaya Pak Arif ketika merintis pertanian yang sukses ini?” aku bertanya lagi. Demi berita yang akan kutulis.


“Ah aku masih muda malah dipanggil Pak. Panggil Mas saja ya. Jadi begini Dik. Setelah Anun keliru mengartikan namaku, aku bertanya pada Pak Ustadz dan terkesima pada arti namaku sendiri, kata Pak Ustadz aku adalah orang yang penyayang, maka kata beliau pula jadilah aku petani yang penyayang. Kemudian ketika Aku, Asep dan Rendi mengaji, Pak Ustadz berpesan bahwa kami harus bekerja keras sebab orang seusia kami harus fokus merubah bangsa melalui perannya masing-masing.”

“Meskipun kami petani, anak tukang becak atau peternak?” tanya kami serempak.

Agent of change itu dari segala lini dan lapisan. Dengan segala kemampuan yang dimiliki manusia, kita harus memanfaatkan anugrah Tuhan itu. Oh iya, kenapa Anun tak pergi mengaji?” tanya Pak ustadz pada kami.

“Main internet Pak, katanya ada banyak permainan di sana”

Lalu aku mengangguk-angguk mendengar cerita itu, temannya si Anun anak Camat itu secara tidak sengaja mendorong Kawan-kawannya sendiri menjadi sehebat beliau, anak kecil dari pelosok Indramayu yang terkenal di bidang agribisnis dan pertanian, meski tak sekolah tinggi jurusan pertanian. Beberapa artikel memprediksi bahwa Pak Arif akan menjadi Menteri Pertanian di periode yang akan datang.


Lalu terbesit di pikiranku untuk menanyakan kabar Kawan-kawan yang ada dalam ceritanya.

“Dan terakhir kalau boleh tau, bagaimana kabar Kawan-kawan yang anda ceritakan, Pak?”

“Maaf Mas Arif?” 

Mas Arif, kalau boleh kusebut agar lebih akrab tiba-tiba tersenyum simpul. Matanya berbinar dan bercahaya, kemudian ia membenarkan posisi duduknya.

“Asep, pada tahun 2019 lalu ketika Pak Jokowi berkunjung ke Indramayu membuat pawai dan penyambutan besar-besaran menggunakan becak. Pada akhirnya ia membuat pangkalan dan jalur tertentu di Indramayu yang khusus dilalui becak sebagai transport jarak dekat atau kendaran antar ketika wisata. Terakhir kali kulihat seminggu lalu kulihat wajahnya, ia nampak bahagia, sebahagia mungkin”

“Kemudian tahun 2020, seorang anggota stasiun televise mengundang Rendi untuk menjadi pembicara. Eh, mereka tidak tau bahwa peternak sukses itu tunawicara” Mas Arif agak tersenyum.

“Pada akhirnya, Rendi hanya menuliskan pesan-pesannya dan metode beternak dalam bentuk buku, yang kemudian tanpa disangka bukunya best seller di dunia fauna, terutama ayam”

“Dan Anun?” aku menambahkan pertanyaan setelah Mas Arif terdiam agak lama.

“Anun lulus dari kuliah” ujar Mas Arif dengan nada rendah. Aku menduga sudah jadi apa orang itu.

Setelah mendapat cerita dari Mas Arif, kutulis sebuah berita dan kukirim melalui e-mail ke alamat kantorku di Semarang. Cukup aneh tulisanku tapi begitulah apa adanya cerita, orang-orang mempunyai cerita sederhana namun dapat mengubah hidupnya, seajaib itu Tuhan memberi inspirasi dan rahmatnya. Akupun pulang setelah diajak makan dan berkunjung ke pos becak dan peternakan milik teman Mas Arif di Indramayu, sengaja aku ambil foto agar menambah data riset beritaku. Terkahir kunjunganku ialah rumah sakit jiwa, lalu pulang ke Semarang.

Di rumah sakit jiwa itu kulihat seorang laki-laki kurus kering yang melamun saban hari, kata Mas Arif, temannya yang bernama Anun itu setelah lulus kuliah dengan nekat mendaftar kepala desa di daerahnya. Ia menghabiskan seluruh harta orang tuanya dengan janji menang dan pangkat yang tingi untuk dirinya. Namun, kenyataan berbicara lain, ia kalah sembari menghabiskan harta dan hutang yang melimpah. Ayah dan ibunya sakit lalu meninggal, anak satu-satunya di keluarganya itu hidup menanggung hutang, malu dan tekanan batin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar