Jumat, 07 Mei 2021

Haji Muamalah

 Haji Muamalah

Ali Hamidi
Gambar ilustrasi dari google


Sejak dalam perjalanan, kutengok kiri kanan rumah-rumah tetanggaku yang terlihat televisenya masih menyala, dengan rakus mereka tertawa terbahak-bahak, asap rokok mengepul. Rumah-rumah orang awam itu nampak gaduh oleh anggota rumahnya sendiri. Dengan stagnan, kutarik pedal gas motor tanpa gigi yang baru saja datang beberapa hari lalu. Aku membelinya karena setiap pergi ke masjid dengan berjalan kaki, memerlukan waktu lama dan sialnya aku bukan menjadi yang pertama datang ke masjid.


Sesampainya di pertigaan jalan sebelum menyeberang menuju kawasan masjid, terlihat pula orang-orang dengan berpakaian kumuh dari sebelah utara. Mereka berjajar mengendarai sepeda ontel butut, badan penuh lumpur dan bau amis ikan tambak. Dalam hati aku bertanya, darimanakah orang-orang itu? Tak tahukah mereka bahwa sebentar lagi adzan isya berkumandang dan sholat terawih akan dilaksanakan?


“Monggo Pak Haji” ujar salah seorang dari mereka menyapaku.

Aku tersenyum saja.


Parkiran masih sepi, dengan awas kulihat tempat parkir di pelataran masjid, aku memilih tempat paling ujung dan menurutku yang paling aman. Motor baru ini harus diberi perhatian khusus dibanding motor lawas milik jamaah lain. Setelah kuparkir motorku, sengaja kukunci stang agar makin aman. Kulirik kiri kanan, masjid masih sepi. Sebelum memasuki masjid, kuambil minyak wangi di kantongku. Demi mengikuti sunnah Nabi, sengaja setahun lalu aku membeli parfum agak banyak ketika pulang melaksanakan ibadah haji. Tak hanya parfum sebenarnya, tasbih, sajadah dan air zam-zam sengaja kubawa lebih banyak untuk oleh-oleh atau barang pribadi.


Setelah kurasa lumayan harum, kulangkahkan kakiku dengan pelan. Karena tanah masjid agaknya masih pasir, sengaja aku berjalan agak ke samping, sayang apabila sandal yang sengaja kubeli beberapa hari lalu dari Pekalongan ini kotor. Kutaruh, sandal itu di pojokan masjid sembari menyenderkannya pada dinding masjid agar tak terinjak orang lain.


Dua rakaat aku sholat tahiyatul masjid, shalawat tarhim berkumandang. Tanda lima menit lagi adzan isya juga ikut dikumandangkan.


“Nah, kenapa orang-orang yang duduk di shaf depan ini tak sholat sunnah dulu” tanyaku dalam hati, setelah melakukan sholat ba’diyah isya.

“Imamnya siapa ini Pak Haji?” tanya seorang takmir padaku.

Aku diam saja. Memejamkan mata sambil berdzikir.

“Apakah belum datang?” agak kesal kutatap takmir itu dengan tajam, menandakan bahwa aku tak mau diganggu. Kuputar lagi biji tasbihku satu demi satu.


Ketika imam terawih datang, aku agak menyndirnya dengan lebih dulu berdiri ketika jamaah lain sedang duduk. Mengisyaratkan bahwa aku lebih siap, dibandingkan guru ngaji yang masih dua puluhan tahun itu. Pemuda bau bawang itu kurang menghargai jamaah karena telat datang saat jadwal imamnya. Setelah tarawih dimulai, aku teringat ketika usiaku masih dua puluhan tahunan. Aku sudah aktif menjadi anggota remaja masjid yang dikenal di seluruh desa. Aku aktif menyelengarakan kegiatan dan memakmurkan masjid.


Ketika umurku menginjak tiga puluhan aku sudah memiliki istri, anak dan rumah sendiri. Namun kusempatkan untuk ikut berbagai kegiatan masjid yang regenerasinya menurun dari pada kehebatan angkatanku dulu. Setelah berangkat haji, orang-orang memanggilku Pak Haji, panggilan yang pas untukku setelah apa yag kulalui semasa hidup, dan jerih payahku dalam menyempurnakan rukun islam yang terakhir itu. Aku sering mendapat undangan menjadi pemimpin acara, ceramah, agenda tahlil bahkan acara-acara keluarga di desa setempat.


Hingga akhirnya, usahaku bersama istri dalam mengembangkan ternak sapi milik mertua juga menghasilkan. Tiap dua tahun sekali aku berangkat ke tanah suci, sudah tiga kali kulakukan hal itu. Tiap jum’at aku juga bersedekah di masjid-masjid terdekat, meski nominalnya tak seberapa setidaknya namaku selalu ditulis di papan pengumuman pengeuaran masjid. Sebagai satu-satunya orang di desa yang paling istiqomah dalam bersedekah.


Anakku sudah agak besar, rencana dia akan kusekolahkan di kota nantinya. Agar tidak seperti anak-anak tetangga samping rumah yang tak terurus dan tak berpendidikan. Banyak yang mengabarkan bahwa ketika aku berangkat haji, remaja tanggung sekitar rumahku ketahuan hendak mencuri di rumahku. Padahal rumaku sudah kupagari rapat, memang didikan mereka yang salah. Makanya menta mereka ialah seorang pencuri.


“Assalamualaikum warahamatullah” suara imam membuyarkan lamunanku.

Tak sadar aku bahwa terawih juga witir telah usai.

Entah kenapa wajah orang itu begitu asing, dengan seutas senyum yang cerah ia mendekat dan mengelus punggungku.


“Apa aku mengenalmu?” tanyaku lirih. Masjid sudah sepi, karena aku baru selesai I’tikaf di sana. Langit nampak cerah di atas sana, cukup terang. Sementara jalanan sekitar sudah sepi.


Aku agak takut, akan tetapi mana mungkin ada orang yang macam-macam dengan Pak Haji sepertiku, “Ada keperluan apa?” tanyaku.


“Saya mau bercerita” ujar lelaki itu tiba-tiba.

“Saya dapat kabar bahwa semua ibadah anda termasuk haji anda itu sia-sia” dengan lancang lelaki itu berbicara seperti itu padaku.

“Memangnya anda siapa bisa menerka begitu” bantahku.

“Selama ini sampean tidak menyembah Tuhan, melainkan menyembah diri sampean sendiri. Menyembah ego dan nafsu sampean sendiri” aku terkejut mendengarnya, berani sekali orang ini.


Ketika hendak membantah, tiba-tiba aku tak dapat mengeluarkan kata-kata. Rasanya aku bisu ketika itu, dan lelaki itu terus tersenyum kepadaku.


“Cobalah, buka pagar rumah sampean dan berjalan-jalanlah ke tetangga. Mereka kelaparan, tak bisa tidur tak punya biaya hidup. Sementara sampean dengan bangga pergi berhaji hanya untuk citra dan menilai diri sampean sendiri.”


“Lihatlah” ia menunjuk ke belakangku. Aneh, namun aku melihat beberapa peristiwa yang sama persis dengan yang kulihat sebelum beangkat ke masjid tadi, suasana rumah dan wajah para tetanggaku. “Mereka yang tertawa di rumah itu sedang mensyukuri nikmat Tuhan dengan berbagi kepada sesama. Mereka yang mengayuh sepeda ialah pekerja kasar yang berpuasa namun tak sempat berbuka, sementara keluarga mereka dengan sabar menunggunya. Mereka yang sholat itu sedang khusu’ memikirkan Tuhan, bukan memuja dirinya sendiri seperti sampean.”


“Ayolah. Mari kita menyembah Tuhan, bukan menyembah diri sendiri dan berpura-pura untuk mendapat penilaian dari manusia.”

“Mari menyembah Tuhan. Dia marah bukan karena dosa dan kesalahan, akan tetapi Tuhan tak mau ada yang pura-pura menyembahnya” ujar lelaki itu. Sekelabat ia naik, terbang ke langit begitu cepat lalu ia dengan ajaib berubah menjadi rembulan. Dan aku masih terdiam di situ, membisu lalu mataku gelap. Aku ingin sekali menangis malam itu.

“Pak Haji Muamalah”

“Pak Haji Muamalah”

“Apa sampean tidak apa-apa? Sampean terjatuh dari tangga masjid ketika hendak memakai sandal” ujar beberapa orang mengerumuni tubuhku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar