Sabtu, 01 Januari 2022

Gara-Gara Rotan

 GARA-GARA ROTAN

Oleh: Munif Akhsan


Gambar ilustrasi dari Googke


"San, lagi ngapain?", tanya Rafi suatu malam di serambi mushola. 

"Eh. Kaget aku. Muncul tiba-tiba, mau jadi hantu kamu?", jawab seorang pria berkulit putih bersarung hitam yang dipanggil San tadi. Syahrus Sani, santri kelas 12 asal Sulawesi Tenggara yang sudah dua tahun lebih nyantri di Rembang. 

"Makanya, jangan melamun malam-malam gini. Nanti kesambet lho", ucap Rafi sambil memakan roti yang baru dibelinya di koperasi. Di pesantren ini jadwal makan hanya dua kali sehari, pagi sebelum berangkat sekolah dan malam sebelum sholat isya. Kalau sudah larut malam biasanya para santri membeli roti seribuan untuk mengganjal perut yang keroncongan.

"Siapa yang melamun, nggak lihat aku lagi menulis puisi ini?", jawab Sani tak terima. Jemarinya memutar-mutarkan pena hitam, seakan bisa membantu menyelesaikan puisi. Sani membuat puisi untuk mengobati rindu rumah. Sebenarnya Sani sedang memikirkan kemana dia melanjutkan pendidikannya setelah lulus. Kuliah atau mondok. Dia ingin kuliah, tetapi biaya yang tidak sedikit membuatnya ragu.

"San..San...Zaman sekarang masih buat puisi. Tidak ada gunanya, cari di google banyak. Hafalan imrithi saja, besok setoran Pak Hasan lebih berguna, biar kamu gak kena hukum lari jongkok", ucap Rafi sambil mengulurkan roti pada Sani.

"Makasih. Santailah kalau hafalan. Ke kamar yuk, keburu kehabisan tempat", ajak Sani sembari beranjak dari obrolannya. Sudah dua malam Sani kedinginan tidur di serambi mushola, karena kuota kamar yang tidak cukup. Pondok mereka yang tepat berada di pinggir laut, membuat udara panas saat siang dan dingin saat malam. Siapa cepat dia dapat, itulah semboyan para santri.

***

Ctas. Ctas. Ctas

"Bangun! Bangun! Bangun!", bentak Pak Hasan yang sedang mengayunkan rotannya ke paha santri yang malas. Nasib malang kini berpihak pada Sani, salah satu korban rotan Pak Hasan. Biasanya Sani bangun sebelum adzan subuh, selain untuk menghindari rotan juga untuk menghindari antri di kamar mandi. Belum lagi kalau kehabisan air, lengkap sudah bumbu emosi di pagi hari.

Tetapi nasib malang belum ingin berpisah dengan Sani. Ketika wiridan berlangsung dia tertidur. Kali ini bukan rotan yang bergerak melainkan semprotan air. Tembakan tepat di kening membuat target langsung terlonjak kaget. Tidak sakit memang tapi efeknya lebih manjur.

"Ada apa teman? Mukamu bagaikan teh tanpa gula...", tanya Rafi yang memperagakan gerakan ahli puisi. Sani tidak menjawab, rasa jengkel masih menyelimutinya. Mereka berdua bersama santri lain masuk ke kelas masing- masing. Hari ini adalah jadwal setoran hafalan nazhom imrithy. Hanya dengungan santri yang memenuhi seisi ruangan. Sani merasa gugup setelah tahu bahwa hafalannya salah bab. Sedangkan yang disetorkan hari ini dia belum paham betul. Satu persatu santri di panggil ke depan, dimulai dari Dika, Rafi, Ahmad, dan Wijaya.

"Syahrus Sani", panggil Pak Hasan.

"Wan nashbu bil fi'lil ladzi bihi jaro, kasirtu milan wa'takaftu asyhuro. Au lailatan au yauman au sinina, au muddatan au jum'atan au hina. Au qum shobahan au masa an au sahar, au muddatan au jum'atan au hina", Sani menyetorkan ingatannya.

"Heh. Ulangi!", bentak Pak Hasan. Sudah tiga kali Sani mengulang, tetap saja dia berputar-putar di bait kedua. Peraturannya jika tiga kali mengulang salah, maka lari jongkok konsekuensinya. "Bagi yang mendapatkan hukuman, silakan nanti sore berkumpul di halaman asrama putri. Selain lari jongkok, khusus hari ini saya ", kata Pak Hasan dengan nada lembut.

***

Lebih dari seratus bola mata memandangi lima orang di halaman. Bukan kyai, bukan guru, bukan selebriti, dan juga bukan pejabat. Hanya santri yang sedang menjalani hukuman Pak Hasan. Tertatih-tatih lari dengan berjongkok, jatuh terserempet sarung sendiri. Tujuh kali bolak balik seperti sa'i di Makkah. Di sambung membaca kitab Fathul Qorib. Termasuk dari mereka adalah Sani dan Wijaya.

"Wah. Ini dia artis dadakan kita! Syahrus Sani...!", sambut Ferri dengan nada mengejek melihat kedatangan Sani. "Capek?" tanya Rafi sambil menggumamkan bacaan Al-Quran. Mengejar target tiga puluh juznya.

"Capek sih kagak. Tapi malunya itu bro. Masya Allah", gerutu Sani. Rambut hitamnya tertiup angin laut, mensyukuri karunia Allah berupa pemandangan matahari tenggelam. Sani membuka buku catatannya, tertera disana puisi kemarin malam. Sani yang rindu orang tuanya biasa mencurahkan isi hatinya dalam bentuk puisi. Wajar saja, dia tak bisa menelpon keluarganya terkendala jaringan yang nihil di daerahnya.

"San, kamu sama Wijaya dipanggil Bu Ratna di kantor", kata Ferri teman sekelasnya. "Ada apa?", tanyanya bingung bersamaan dengan Wijaya. "Ya gak tahu, kok tanya aku", jawab Ferri. Di kantor guru sejarah berkaca mata itu mengarahkan mereka ke teras kantor.

"Ibu kemarin lihat kalian dihukum lari jongkok sama baca kitab. Menurut Ibu bacaan kalian berdua bagus. Jadi, Ibu di sini mau menawarkan sesuatu. Kalian berdua mau tidak ibu daftarkan PBSB?", tanya Bu Ratna yang membolak-balikkan lembaran di tangannya. Lalu menyodorkan lembaran tersebut kepada Sani dan Wijaya. PBSB, Pendaftaran Beasiswa Santri Berprestasi. Tertera juga di sana ketentuan dan persyaratan yang berlaku.

"Jadi, ini beasiswa penuh kuliah khusus untuk santri berprestasi Bu?", tanya Sani bingung.

"Ya. Tetapi nanti masih ada tiga penyeleksian meliputi persyaratan, pengetahuan, dan baca kitab. Ibu rasa kalian berdua bisa diajukan ikut, itupun kalau kalian bersedia," jawab Bu Ratna.

Sepulang dari sekolah Sani mengobrol dengan Rafi dan Wijaya mengenai PBSB sambil melipat pakaiannya. Dia bingung ikut atau tidak, yang mengganjal adalah persyaratan umur maksimal 20 tahun. Sedangkan dia telah berumur 21 tahun sebab putus sekolah setelah lulus SMP.

"Gak ada salahnya mencoba, San. Lagian pendaftarannya juga gratis", saran Wijaya yang memandang lautan biru. "Bener tu, kata Jay. Kesempatan tidak datang dua kali", tambah Rafi yang sedang merapikan lemarinya.

Sani beruntung memiliki teman yang baik. Tak pernah sekalipun menyinggung permasalahan usia. Berbeda dengan sekolah menengahnya dahulu, perundungan sosial yang diterimanya setiap hari membuat Sani memutuskan untuk berhenti sekolah. Perundungan bukan hanya berakibat pada melemahnya mental, tetapi juga masa depan. Setelah dua tahun, Sani bangkit dari keterpurukannya, mencoba menggapai mimpinya. Di sini, mereka bertiga saling bersaing secara sehat, saling mendukung.

***

Tujuh hari berlalu semenjak Sani dan Wijaya mendaftar PBSB. Tibalah hari pengumuman, Wijaya lolos seleksi tahap satu, tetapi tidak bagi Sani. "Selamat ya, Jay", ucap Sani seraya menjabat tangan Wijaya. Wajahnya tersenyum walaupun masih tersirat raut kecewa. Wijaya mengangguk memilih untuk diam, tidak enak hati. Rafi yang membaca kejanggalan ini, mencoba menetralkan keadaan.

"Satu bulan lagi kita lulus, jadi hari ini kalian berdua ku traktir bakso Pak Mat. Ayo, sebelum moodku hilang", ujar Rafi di antara mereka sembari menarik tangan mereka. "Sowan yok, ke Abah Kyai. Minta restu mau ngelanjutin sekolah dimana?", usul Rafi membuka pembicaraan. "Boleh. Ide bagus itu," sambung Wijaya.

Bakso daging sapi menemani siang hari mereka. Menghilangkan kekakuan yang sempat menerpa. Adzan dzuhur berkumandang, para santri mulai menuju ke mushola. Melepas lelah sebentar, tenggelam dalam kekhidmatan sembahyang.

***

"Rafi, mau lanjut dimana?", tanya Abah Kyai. Wajahnya yang teduh, membuat siapa yang melihatnya tenang. Seteduh pekarangan rumah yang hijau dan asri. "Saya mau ke Mesir. Universitas Kairo," jawab Rafi hormat.

"Kalau Wijaya, mau kemana?", tanya Abah Kyai. Rambutnya yang mulai memutih tidak membuat wajahnya tua. "Saya ikut PBSB, Abah. Kalau tidak di Malang, ya di Semarang", jawab Wijaya sopan.

"Sani?", tanya Abah Kyai. Seakan paham apa yang Sani pikirkan Abah Kyai tidak menunggu jawaban Sani. "Sani, mengabdi di pesantren ini saja ya. Bantu-bantu pesantren, kasihan pesantren kekurangan pengurus", saran Abah Kyai. "Sendiko dawuh Abah," jawab Sani patuh. Dia tak berani mengangkat kepalanya sedikitpun. Semua perintah Kyainya adalah yang terbaik untuknya. Abah Kyai tersenyum melihat santrinya yang satu ini. apa yang Sani pikirkan Abah Kyai tidak menunggu jawaban Sani. "Sani, mengabdi di pesantren ini saja ya. Bantu-bantu pesantren, kasihan pesantren kekurangan pengurus", saran Abah Kyai. "Sendiko dawuh Abah," jawab Sani patuh. Dia tak berani mengangkat kepalanya sedikitpun. Semua perintah Kyainya adalah yang terbaik untuknya. Abah Kyai tersenyum melihat santrinya yang satu ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar