Kamis, 24 Maret 2022

Ilat-ilatan Sendang

 Ilat-Ilatan Sendang

Oleh : M.K. Abid



“Duarr” Suara petir menyambar pohon keramat yang berada disamping sendang itu.

Pohon setinggi 40 meter itu akhirnya patah karena sambaran petir diserti hujan yang mengguyur langit Sendangagung malam itu. 

Keesokan harinya, kelompok Ki Baron murka melihat pohon keramat itu patah menjadi dua.

“Kurang ajar Rohim dan pengikutnya! Ini pasti perbuatan mereka! Bedebah!” Tuduh Ki Baron.

“Benar Ki, ini pasti semalam Rohim dan pengikutnya menyuruh Tuhan mereka menghancurkan ilat-ilatan ini” Imbuh Nyi Ijah.

“Mari kita musnahkan mereka Ki!” Tutur Slamet.

“Benar katamu Met” Setuju Ki Baron.


Di sisi lain Kyai Rohim, seorang ulama’ pendatang tengah melakukan pengajian di langgar penggrong bersama para muridnya.

“Allah adalah tuhan satu-satunya yang wajib kita sembah. Tiada sekutu bagi-Nya dan tiada yang mampu menandingi kekuasaan-Nya” Tutur Kyai Rohim.

“Keluar kau Rohim! Dasar biadab! Keluar kau!” Teriak Ki Baron.

“Astaghfirullah ada apa Ki Baron?” Tanya Kyai Rohim terkejut.

“Jangan pura-pura bego kamu! Kamu kan yang meminta Tuhanmu untuk menghancurkan pohon keramat kami!” Tuduh Nyi Ijah.

“Demi Allah Nyi saya tidak melakukan itu” Elak Kyai Rohim.

“Halah jangan mengelak kamu! Dulu sebelum kamu datang ke desa ini kami hidup tentram. Pohon ilat-ilatan kami juga baik-baik saja walaupun usianya sudah ratusan tahun. Tetapi sejak batang hidungmu menginjakkan kaki di desa ini, malapetaka terus saja datang” Tuduh Slamet.

“Emang kalian punya bukti menuduh kami melakukan itu? Jangan asal tuduh kalian dasar penyembah setan!” Teriak Siti.

“Diam kamu wanita jalang! Baru tobat kemaren sore sudah berani menceramahi kami. Jika saat itu aku tidak menyembuhkanmu, pasti saat ini kau pasti sudah mati!” Bentak Ki Baron.

“Sunguh, demi Allah kami tidak melakukan apa yang kalian tuduhkan. Mungkin ini teguran dari Allah agar kalian bertobat dan menghentikan perbuatan musyrik ini” Tutur Kyai Rohim.

"Jangan sok suci kamu! Awas jika memang ini perbuatanmu tunggu saja pembalasanku” Ancam Ki Baron.


Ki Baron pun kembali ke pohon keramat itu untuk memuja danyang yang dianggap menjadi penunggu pohon keramat di desa. Mereka membawa bermacam sesajen mulai dari jajanan pasar, ayam jago putih hingga kemenyan untuk persembahan. Mantra-mantra dikomat-kamitkan dari mulut mereka.

“Sun matek aji, ajiku semar mesem. Krecek-krecek uyuh’e ki semar ireng. Ora ono wong bagus kejobo aku. Ora biso turu yen durung ketemu aku ….sido atut katut manut turut Si jabang bayine Retno Mangali. Sudah beres Lih, tunggu saja sebentar lagi anak kepala des aitu akan jadi istrimu” Kata Ki Baron yakin.

“Baik Ki terima kasih. Ini bayaran Aki. Jangan kuatir nanti kalau Ratna menjadi istriku akan kuberikan uang yang lebih banyak lagi. Saya pamit dulu Ki” Tutur Galih meninggalkan tempat pemujaan.

“Gawat Ki, gawat!” Seru Slamet sambil berlari.

”Apanya yang gawat?” Tanya Ki Baron penasaran.

“Anu Ki, ada banyak rombongan orang dari desa tetangga menemui Kyai Rohim. Tampaknya mereka ingin berobat Ki” Tutur Slamet sambil terengah-engah.

“Kurang ajar! Pantas saja akhir-akhir ini orang-orang sepi ketempatku, ternyata dia biang keroknya!” Murka Ki Baron.

“Benar Ki, semenjak pohon ini patah, banyak orang yang tidak percaya pada Aki lagi” Slamet meyakinkan.

“Kumpulkan orang-orang kita! Nanti malam kita santet dan teluh mereka!” Perintah Ki Baron.


Surya sudah beristirahat. Langit mulai menghitam. Terdengar alunan tahlil, tasbih dan takbir dari langgar penggrong milik Kyai Rohim. Di tempat lain, Ki Baron dan para pengikutnya tengah mengadakan pemujaan untuk membunuh Kyai Rohim dan pengikutnya. 

“Bagaimana Nyi? Apakah semua persiapan sudah siap?” Tanya Ki Baron memastikan.

“Sudah Ki, semua sudah siap. Tinggal tunggu saat yang tepat untuk mengirim santet dan teluh ke mereka” Tutur Nyi Ijah tak sabar.

Lantunan dzikir masih terdengar dari langgar penggrong itu. Tasbih Kyai Rohim terus saja berputar. Dari kejauhan terdengar langkah kaki yang berlari kencang menuju kearah suara dzikir”

“Assalamualaikum Kyai! Gawat Kyai gawat!” Teriak Mukidi dari luar.

“Waalakum Salam warohmatullah. Ada apa Di?” Tanya Kyai Rohim.

“Gawat Kyai, Ki Baron dan pengikutnya ingin membunuh kita dengan santet dan teluh mereka. Saat saya lewat tadi, saya tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Lalu apa yang harus kita lakukan Kyai?” Panik Mukidi.

“Astaghfirullah, apa salah kita pada mereka, tega-teganya mereka ingin membunuh kita. Ya sudah Di, ambil air wudhu dan kita lanjutkan dzikir kita. Kita memohon perlindungan dari Allah” Kata Kyai Rohim menenangkan Mukidi dan muridnya.

Di tempat pemujaan, Ki Baron dan pengikutnya mulai berkomat-kamit melangitkan mantra santet dan teluh. Diiringi bau kemenyan yang menjalar kepenjuru desa. Tak berselang lama, petir bergemuruh. Dengan seketika ilat-ilatan yang tinggal separuh itu hancur berkeping-keping tersambar petir. Hal ini mengejutkan Ki Baron dan pengikutnya dan menambah kemurkaan mereka.

“Kurang ajar! Tunggu pembalasanku Rohim!” Teriak Ki Baron Murka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar