SALATIGA, KabarMa’had - Gus
Miftah adalah ulama NU kharismatik. Kali ini beliau diundang untuk mengisi
acara Pengajian Akbar Hari santri Nasional yang diselenggarakan oleh Ma’had
Al-Jamiah IAIN Salatiga. Ulama
Milenial ini memberikan tauisyah yang berisi tentang peranan santri di masa modern dan toleransi beragama.
“Bangsa Indonesia masih berfikir negatif tentang
santri. Kebanyakan orang tua menganggap
‘untuk apa
anak dimasukkan ke pondok pesantren, nanti kelak mau jadi apa?’. Kebanyakan
orang tua lebih memprioritaskan pendidikan umum dibanding pendidikan
pesantren dan agama. Selama ini pondok pesantren hanya dijadikan second
opinion setelah tidak diterima di sekolah negeri,” tegas Gus Miftah
Habiburrohman saat pembukaan Tausyiah di IAIN Salatiga, Jumat (11/10/19).
Menurut Gus Miftah orang tua memiliki
kewajiban kepada anak-anaknya, yaitu memberi nama yang baik, mengajarkan
Al-Quran dan memberi air susu ibu. Sesuai dengan maqolah Al- jannatu Tahta
Aqdamil Ummahat, orang tua harus menjadi surga bagi
anak-anaknya.
Berdakwah Kepada Para Pendosa
Gus Miftah tidak hanya melakukan dakwah
kepada orang-orang yang sudah baik dan lurus jalannya. Beliau juga melakukan
dakwah kepada kaum pendosa dan wanita penghibur malam. Menurut beliau meskipun
mereka adalah kaum yang dipandang sebelah mata dan buruk dimata masyarakat,
Tetapi sesungguhnya mereka juga ingin menemukan jalan untuk bertaubat dan
hatinya rindu akan siraman rohani. Gus Miftah memiliki julukan tersendiri yang
diberikan oleh para kaum nakal ini, yaitu “ Presiden para pendosa”
Dengan konsep dakwahnya yang relevan di berbagai kalangan,
menjadikan banyak muallaf lokal maupun mancanegara yang dengan bangga
melafalkan kalimah syahadat. Mereka menilai bahwa "Islam is Very Happy", Islam itu menyenangkan. Dalam pengajian kali ini, seorang wanita kristiani
yang sempat menjadi buddhis bernama Bekti melafalkan kalimah syahadat dengan
dituntun oleh Gus Miftah dan disaksikan ribuan jama’ah yang hadir.
Konsep Tasamuh
Gus Miftah juga memaparkan bahwa Konsep
Tasamuhnya Nahdlatul Ulama
(NU) yang mampu bergaul
dengan siapapun, kapanpun, dan dimanapun. NU tidak membeda-bedakan ras, suku, dan
golongan manapun dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut beliau orang-orang non-Islam tidak
membaca Al-Quran dan Hadist, tetapi membaca tingkah laku kaum
muslimin. Maka Beliau menghimbau kepada seluruh muslimin untuk mencerminkan
hidup bahwa Islam itu Asyik. Tasamuh dalam jiwa santri itu merupakan
cerminan kepribadian Rasulullah yang mempunyai Akhlak Al-Quran dan
memandang manusia dengan pandangan kasih sayang. Pada penutup tausyiah,
Beliau berpesan kepada seluruh Santri untuk menjadi agen perdamaian bagi dunia dan
senantiasa menjaga keutuhan NKRI. (Anwar Fuadi/red.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar