Rabu, 31 Maret 2021

Tak Ada yang Sama

 Tak Ada yang Sama

Oleh: Mulyani


(gambar ilustrasi: google) 


Sssstttttt..... 


Menunggu dia harus ekstra sabar ya, sampai-sampai kaki ini gemetar tak karuan. Walaupun ujungnya terbalas dengan senyuman yang menggoda dari bibir manis itu. Tak ketinggalan raut muka dia yang menyebalkan terpampang nyata kupandang.

Memang jarang sekali momentum pertemuan ini. Aku yang harus sabar mengantri dengan seribu kesibukan dia yang lain. Kadang ingin aku menyerah tapi hati kecilku tak mudah goyah. “Aku setia”, ucapnya lirih dengan penuh harap bahagia.

Mana matahari tidak bisa diajak kompromi, panasnya menyengat kulit. Whatsapp-nya sudah aku spam chat, nomor yang lainnya juga kucoba hubungi, tapi nihil respon. “Harus sampe kapan nunggu?”, batinku. Kaki ini melangkah untuk berteduh, tetap saja berdiri. Setidaknya aku tidak pingsan karena matahari bersinar terlalu terang.

Selesai olahraga apa gimana sih, bajuku mulai basah. Badan mulai lengket, tak betah dibuat oleh keringat yang semakin deras bercucuran. Satu jam menunggu tanpa kepastian. Pikiranku ingin aku pulang saja, tapi kalah lagi dengan semangat hati yang paling dalam. Handphoneku mendapat notifikasi, pesan suara dari dia. “Otw, ini di lampu merah. Bentar lagi nyampe”, suaranya bising. Aku menghela nafas panjang tentunya.

Jengkel aku dibuatnya. Berhenti tidak sesuai ditempat janjian. Aku harus berjalan kaki sekitar satu menit untuk menghampiri dia. Sudah lelah, baju mulai lusuh, harus terus melangkah.

Disodorkan helm untukku. “Kenapa nggak sekalian dipasangin sih”, mataku melolot kepadanya. Dia hanya melihatku dengan sinis. Eh, tiba-tiba senyum dong dia. Memandang matanya indah sekali, bahagia terpancar jelas. Tertawa bersama itu menyenangkan bukan? Si Kuning dia gas, setan memang. Dia selalu diam seribu kata, harus aku yang selalu memulai percakapan. Ujungnya malah ribut disepanjang jalan. Itulah kita berdua jika disatukan.

Rem dia injak dadakan tepat di depan APILL. Seperti biasa aku hanya menepuk punggungnya saja, agak sedikit kenceng sih. Mataku menikmati pemandangan hilir mudik kendaraan lain. Tengok kanan, tengok kiri, persis seperti orang mau menyeberang jalan. Aku melirik ke spion, ternyata dia sedang mengamatiku. Geleng-geleng kepala aku, senyum manis tersembunyi dibalik masker yang aku kenakan.

Berbeda, kali ini dia melaju dengan kecepatan lambat. “Cape?”, tanyanya berbarengan dengan mengusap dengkulku. Tangan dia langsung mengarahkan tanganku satu persatu masuk saku jaketnya. Dagu kutempelkan tepat dipundaknya, kepalaku hanya menggeleng. Manis banget sikapnya.

Entah apa yang membuat dia tau tentang kehidupanku. Tanpa menceritakannya, dia selalu ada ketika aku ada masalah. Malam itu, aku menangis hingga pagi buta. Dibuat kalut oleh keadaan yang nampak tidak menguntungkan bagiku. Hanya karena aku salah memilih teman bermain. Aku terbulai oleh penampilannya yang alim. Ah sudahlah, nasi usdah menjadi bubur.

Sial memang, tapi dia itu sangat membantu. Perlahan dia menasehatiku banyak hal, seputar kehidupan tentunya. “Jangan terlalu percaya sama orang. Apalagi sudah melakukan kesalahan yang sama untuk sekian kalinya”. Kalo sudah bicara, sampe tidak memberi ruang untuk aku menjawab. Walaupun begitu, satu kata pun yang dia lontarkan tak ada yang menyakiti. Adem banget dengernya. Caranya memang beda dari yang lain. Sikapnya dingin, perhatiannya hangat. 

Kebiasaan, pergi selalu tak ada tujuan. Dua kabupaten telah kita putari. Rehat sejenak untuk mengisi usus, biar ada kerjaan. Kali ini dia yang pesan menu. Dua mangkok bakso dan dua gelas es teh diantar ke meja kita. “Panas, nunggu adem dulu”, sambil menepis tanganku yang hendak makan. Aku hanya menyeringai.

Makannya super cepat, aku kalah. “Nggak usah buru-buru, habisin semuanya aja dulu”. Dia selalu mengingatkan, harus habis makannya tak boleh bersisa secuil pun. Kenyang, pulang waktunya. Rasanya memang tak ingin berpisah, selalu bersama lebih baik. Aku tak boleh egois. Dia juga punya kegiatan lainnya.

Sudah menjadi kebiasaan, saat pulang jatahnya aku yang menyetir. Dengan santai aku gas motor itu. Tiba-tiba, dia melingkarkan tangan dipinggangku. “Kerudungnya terbang, aku pegangin”. Jatungku semakin cepat berdetak. Darah ini serasa berhenti beredar. “Skenario apa lagi ini Tuhan?”, gumam mulutku.

“Semakin gendut saja kau ini”, ucap dia berbisik. Seketika otakku berfikir apa yang dia ucapakan. “Mas kentut? Aku nggak denger jelas.”, jawabku. Dia tertawa terbahak-bahak. Aku hanya ketawa kecil. Telingaku menjadi tuli, mungkin akibat helm yang terlalu pas-pasan. Seneng banget bisa liat dia tertawa lepas. Jarang sekali, hal yang sangat langka.

“Dah sampai”, ucapku lirih. Aku turun menyerahkan helm. Baru satu langkah, tanganku ditarik olehnya. “Bayar bensin sama makan”, tangan kanannya tepat berada di depan mukaku. Persis seperti orang meminta yang kutemui di samping jalan. Dari dulu tak pernah berubah. Gila memang punya teman diajak main selalu bayar sendiri. Giliran aku yang bayarin, disuruh ikhlas. Teman teraneh, tapi ya dia sangat berarti.

Kita dipertumakan disalah satu tempat ternyaman di dunia. Kakak kelasku juga waktu di SMA. Terpaut tiga tahun di atasku. Aku akui, sikapnya sangat dewasa. Berwiba pula. Ledekan temen, “Kenapa kalian nggak pacaran aja sih?” bahkan ada yang bilang “Kalian berdua nikah ajalah”.

Entah mengapa, kita tidak pernah membicarakan hal itu. Topik yang selalu kita bahas adalah bagaimana cara menyelesaikan masalah yang aku hadapi. Keluh kesalku selalu dia tanggapi dengan tenang. Rasanya sudah seperti kakakku sendiri. Aku tak mengerti sebenarnya bagaimana perasaanku untuk dia.

“Mas, aku mimpi nikah sama Mas”, chatku pada dia. Responnya hanya tertawa. Ya sudahlah, mimpi itukan sebagai bunga tidur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar