Selasa, 20 April 2021

Memberi Nama Anakku

 Memberi Nama Anakku

Ali Hamidi


Gambar ilustrasi dari google


Salatiga, pertengahan Maret 2021, entah tanggal berapa hari ini aku lupa. Namaku Sutomo, mungkin usiaku hampir satu abad dan aku masih diizinkan Gusti Allah untuk hidup. Kuketik tulisan ini, setelah cucu Suratin tetanggaku membisik ke telingaku, bahwa ia melihat ada lomba menulis oleh Berita Kehilangan Kontras. Cucu Suratin tau bahwa sedikit banyak aku bisa menulis, lomba itu mengharuskan seseorang harus menceritakan tentang betapa miris dan tragisnya orang-orang yang hilang pada tahun 60-an, mereka yang dipaksa menghilang, dibawa ke pengasingan, dibunuh dan disiksa di depan orang banyak.


Sambil mengumpulkan ingatanku, kubaca-baca ulang dari berita online dan koran-koran lama koleksiku, sebab dulu aku ialah wartawan. Alangkah lemasnya tubuhku, tulisan dan foto itu seketika mengingatkanku pada berpuluh tahun lalu ketika aku masih baru berkeluarga. Lalu suara-suara itu kembali datang ke telinga, ingatan yang sudah hilang beberapa tahun lamanya. Kemudian tiba-tiba nafasku sesak sebab rasanya orang-orang itu menusukku kembali, ke ingatanku.


Samar-samar dari luar kamarku terdengar suara geruduk kaki, langkah-langkah buas berbunyi, di teras rumah itu terdengar lagi suara mereka. Apakah orang-orang yang telah dihabisi militer itu bangkit dari kubur dan melakukan pembantaian lagi? Suara itu makin mendekat dan makin jelas kudengar ketika itu, perasaan ketakutan sebab di jalan-jalan kampung banyak tercecer darah, tangis dan orang-orang bersenjata itu haus darah seperti bukan manusia.


Nafasku makin sesak namun suara itu makin mendekat, makin keras, setelah suara itu berhenti di depan pintu, mereka dengan kasar membuka pintu, memaksa masuk. 


“Kakeeeek. Apa arti nama kami?” ternyata kedua cucuku tiba-tiba datang agak berlari ke kamarku, kamar kecil di rumah tua yang terbuat dari kayu.


“Kenapa Kakek berkeringat?” tanya cucu lanang-ku memakai pakaian kuning yang lucu, wajahnya agak mirip seperti istriku.


“Ini minum dulu Kek” kakak perempuannya memberikanku segelas air, ia perhatian seperti anakku, almarhum bapaknya, dan wajahnya mirip perangai ibunya.


“Apa arti nama kami Kakek?” mereka berdua menarik sarungku, memaksaku untuk segera menjawab.


“Nama kalian itu lebih dari sekedar arti, Nak” tegasku pada mereka tentang sebuah nama.


“Lalu jika Ibu Guru Matematika bertanya lagi, apa yang bisa kami jawab?” akhirnya aku tahu siapa dan kenapa mereka bertanya tentang arti sebuah nama.


“Begini saja” aku mencoba mengatur duduk dan merangkul kedua cucuku di sebelah kiri dan kanan. Kuelus-elus anak yatim ini, atau kukatakan separuh yatim, ah biar saja kujelaskan di akhir cerita nanti. “Nama kalian itu diberi bukan karena arti saja cucuku, di dalam namamu, bapakmu juga merangkum cerita dan perasaannya ketika itu. Mungkin untuk mengabadikan dirinya kepada identitas anaknya, meski di suatu hari nanti ia mesti tiada.”


Aku mengerutkan kening. Ternyata aku salah memilih redaksi sebab kedua cucuku yang masih sering pipis di celana ini tak mampu menelan penjelasanku.


“Aku kasih cerita saja bagaimana?” tawarku. “Cerita tentang bagaimana Kakek dulu memberi nama bapakmu saja ya” aku menyanggupi, kupikir cerita ini akan sesuai dengan isi dalam lomba yang ditunjukkan cucu Suratin tadi.


Mereka mengangguk dengan cepat, membenarkan tempat duduk. Lalu dari jendela terlihat sebuah kereta dengan suara yang keras melewati rumahku, memang letak rumahku berdekatan dengan kereta api. Cepat dan selalu dalam lajunya, kukira kereta api ialah kendaraan yang paling teratur dan rapi jalannya, kalau diibaratkan kehidupan kereta api pasti makhluk yang monoton, tak seru, tak punya kenangan dan perjuangan. Sebab tak punya arah lain kecuali rel.


Rasanya kereta tua itu mengingatkanku pada suatu kisah yang akan kuceritakan kepada cucu-cucuku, tentang 1965 beserta kenangan dan perjuangannya yang berliku-liku. Namun aku juga tak mungkin menceritakan kepada mereka tentang anggota partai komunis yang melakukan pembantaian, aku tidak mungkin menceritakan bahwa bekas luka di punggungku ialah pisau yang menancap dahulunya, mereka tak pernah tau betapa banyak lubang rumah ini bekas hujan peluru,  atau betapa takutnya aku jika menceritakan semua itu,, sebab ketika itu setiap malam aku tak bisa tidur karena berjaga sambil membawa pedang dan bambu runcing di kedua tanganku, melindungi nyawa keluargaku.


“Ayo cepat Kakek” mereka membuyarkan lamunanku.

“Tahun itu September 1965. Kakek sudah berada di Stasiun Tuntang, Salatiga, hendak mangkal untuk meliput berita tentang peninggalan bangunan kuno Belanda yang tak terawat hingga kini itu. Saat hendak masuk ke sana, Eh Suratin temanku datang berlari terbirit-birit.”


“Anakmu Mas, anakmu mau lahir” ia sambil tersenyum sumringah mengagetkanku, “Ayo cepat, sudah kupanggil dukun bayi ke rumah” hingga malam hari, perjalanan kami menaiki becak cukup lama, pukul 23.00 pun kita masih dalam perjalanan.


Aku menghentikan ceritaku.

Ingin kujelaskan dan kuceritakan kepada mereka tentang malam itu, dimana ketika memasuki perkampungan kami, di tengah kegelapan itu suara jeritan dan tembakan pistol seketika bergemuruh dan kulihat dari jauh sekelompok orang menusuk, menembak, dan menyiska siapa saja yang ditemuinya. Aku dan Suratin terkejut.


“Mas, Mas, ada apa ini” Suratin panik dan berteriak agak kencang, “Turun Pak turun” mintaku sebelum berlari pontang-panting.


Secepat mungkin kami berlari ke hutan hutan menyelamatkan diri dan tiba-tiba suara peluru memburu ke arah kami.


“Kakek kenapa berhenti?” tanya cucu lanang-ku menghentikan lamunanku lagi.

“Ah tidak mengapa, Kakek sedang mengingat-ingat”.

“Apa setelah perjalanan itu Kakek sudah sampai?” giliran cucu wadon-ku yang berntanya.


Aku mengangguk saja, namun dalam batinku menjawab, “Sekitar setengah jam aku dan Suratin terus berlari menyelamatkan diri dari kejaran orang-orang yang tak kami kenal, mereka memakai ikat kepala bergambar palu dan sabit, sedang memburu nyawa kami. Hingga akhirnya aku sampai di rumah melalui pintu belakang sambil menangis, air mataku jatuh sejak Suratin mengorbankan dirinya demi membiarkanku bertemu anak pertamaku, ‘Tolong jaga keluargaku Mas’ permintaan terakhirnya sebelum memancing arah kejaran orang-orang itu ke arah lain. Sebelum masuk ke rumah pun di depan pintu sempat suara pistol mengarah padaku, seseorang menyerangku. Kemudian aku berkelahi dengan seorang entah siapa hingga ia berhasil menusuk punggungku. Untungnya ia berhasil kudorong ke sumur”


“Iya, Kakek sampai. Setelah itu Kakek pindah ke gubug di sawah, bersama keluarga Pak Suratin sebelah rumah itu” jelasku kepada mereka.


“Kenapa pindah Kek? Di kebun kan banyak nyamuk” tanya mereka. Aku yakin kedua cucuku akan menjadi cerdas suatu hari nanti, sebab rasa ingin tahu mereka sangatlah besar.


Kurajut kembali ingatanku, malam itu aku datang dengan baju compang-camping, penuh keringat dan kaki gemetar, serta darah di tubuhku. Beberapa suara teriak orang mondar-mandir di perkampungan desa, menyeret paksa orang-orang setempat dan dibawa mobil besar entah kemana. Entah bagaimana bisa kulihat mereka bersama Suratin waktu kami masih melarikan diri, mereka tertawa-tawa seakan mendapat kesenangan dengan menyiksa atau membunuh orang-orang. Aku ajak istri dan anakku yang baru lahir, serta keluarga Suratin untuk bersembunyi di gubuk sawah kami agar selamat dari peristiwa ini.


Hanya aku satu-satunya laki-laki dewasa di gubuk itu, tiga hari aku tak bisa tidur dan kita memakan sesuatu yang ada di sekitar gubuk, lalu mengendap-endap mencari bahan makanan. Anakku tak henti-hentinya menangus, hingga tiap malam aku berjaga di depan pintu gubuk, dibalik kayu-kayu. Membawa pedang dan bambu runcing mengamati sekelilingku barangkali orang-orang jahat yang tak kukenal itu datang ke gubuk kami ketika mendengar suara angis bayi.


Setelah beberapa hari, terdengar dari radio, televise dan koran-koran ketika aku sembunyi-sembunyi keluar gubuk, bahwa pembantaian pada bulan September 1965 entah tanggal berapa aku lupa, telah digagalkan oleh militer. Negara sudah aman. Orang-orang berpaham kiri atau komunis itu tiba-tiba melakukan kejahatan genosida sebab terdoktrin pemikiran komunisme, ingin menciptakan revolusioner atas nama persamaan tanpa penindasan. Mereka yang tak ikut: mati, mereka yang menolak: mati, bahkan mereka yang tak tau apa-apa: mati. Akhirnya aku dan semua orang di gubuk bisa keluar meski masih was-was.


“Kakek malah melamun. Kenapa pindah ke gubuk Kek, kan kecil?” tanya mereka lagi.

“Karena Kakek ingin memberi kejutan pada orang-orang desa, makanya Kakek sembunyi dulu” kemudian aku mengajak kedua cucuku makan agar mereka tak bertanya tentang hal itu lagi, “Sudah-sudah ayo makan dulu” aku bediri pelan-pelan.


“Eh Kakek pikun, kan pertanyaan kami belum dijawab, lalu bagaimana bisa nama Bapak kami itu muncul?”

Kugandeng tangan mereka berdua.

“Anakku waktu itu kuberi nama Salam, berasal dari Bahasa Arab, artinya selamat. Kakek berdo’a untuk keselamatannya”.


“Waah ceritanya singkat juga Kek, lalu kalau Bu Guru Matematika bertanya arti nama, apa yang aku jawab Kek, apa harus bercerita juga?” tanya cucu lanang-ku.

“Kau ceritakan saja cerita kancil seperti biasa, lalu jika Bu Guru masih bertanya lagi apa arti namamu, ceritakan soal kelinci dan kura-kura, jika bertanya lagi, ceritakan legenda Maling Kundang” aku tersenyum.


Kemudian kedua cucuku tertawa cekikikan.

Anakku, Salam. Kuberi dia nama begitu agar hidup dan matinya selalu diberi keselamatan. Tiap mengingat nama Salam, aku mengingat rangkaian peristiwa itu. Bahwa beberapa tahun, kalau tidak salah dua tahun lalu, 1998. Ternyata nama Salam hanya menyelamatkannya pada cerita masa kecilnya, bukan pada tahun 1998 itu. Anakku menghilang begitu saja tanpa diketahui jejaknya, setelah melakukan perlawanan pemerintahan orde baru dengan menulis sastra kritikan untuk mereka. Entah kenapa kata-kata bisa sedahsyat itu, menakuti orang-orang besar dan orang-orang besar ketakutan.


Orang-orang yang membunuh, menyakiti dan menghilangkan orang tak akan pernah tau rasanya betapa sulitnya menemukan nama, seperti menemukan nama untuk anakku. Mungkin itu yang dirasakan tiap orang tua yang kehilangan, hanya menikmati nama pemberian untuk anaknya, sementara anaknya raib entah kemana, sengaja dihilangkan demi suatu kepentingan. Mungkin juga pada orang tua enam jenderal yang dibunuh itu juga.


Kemudian aku menyuruh cucu Suratin mengirim tulisan ini ke panitia lomba Berita Kehilangan Kontras, entah akan bagaimana tulisan ini nantinya. Aku ucapkan terima kasih sebab telah membantuku mengumpulkan kenangan untuk kupelajari, bahwa hidup ialah mengumpulkan amal-amal baik dan mengumpulkan cerita-cerita yang bermanfat. Aku sudah tua, setua ini hingga terkadang lupa menghitung usiaku senidiri. Semoga Gusti Allah mengampuni orang yang lemah ini, sebab aku yang sudah renta ini hanya sibuk menulis dan menunggu mati.


1 komentar: