Sabtu, 23 Oktober 2021

Manusia Ashabul Kahfi

 

Manusia Ashabul Kahfi

(Menuai Nilai-nilai Budaya Ashabul Kahfi di Era Modern)

Ali Hamidi

 


ilustasi: google


Amat lucu sekaligus sungguh keliru, apabila kita memaknai kisah Ashabul Kahfi hanya sebagai dalih penguat kegiatan tura-turu[1] atau sebatas kisah menyepi selama 309 tahun di dalam gua. Al-Qur’an sebagai kitabullah yang diturunkan pada Nabi Muhammad SAW memiliki cakupan kebenaran dan kemukjizatan dalam berbagai ruang lingkup pembahasan, qosas atau kisah merupakan salah satunya, adapun ilmu lain seperti ilmu makkiyah, madaniyah, asbabun nuzul, qira’at, aqsam, naskh mansukh dan sebagainya (Hamid. 2002, hlm, 186).

Kisah merupakan kejadian/riwayat (KBBI) yang dijadikan salah satu cara menyampaikan pesan-pesan moral, dalam upaya pembentukan karakter umat selaras dengan tujuan Nabi Muhammad SAW (Istiqamah. 2021, hlm 14). Manna al-Khallil al-Qaththan memberi definisi bahwa kisah dalam al-Qur’an merupakan sebuah pemberitaan dari al-Qur’an mengenai suatu kejadian, keadaan, peristiwa atau hal-hal terkait suasana sosial para Nabi dan umat terdahulu, atau sejarah-sejarah yang bersifat empiris, dengan menunjukan peninggalan, data dan bukti-bukti di tempat tersebut (Ma’zumi, dkk. 2021, hlm 16). Berbagai kisah disampaikan dalam al-Qur’an dengan tujuan seperti sebagai metode pendidikan, penjelasan historis, suri tauladan, pelajaran, peringatan dan lain-lain. Banyak kisah-kisah populer dalam al-Qur’an yang kemudian dijadikan wacana penelitian maupun kajian-kajian islami, salah satunya kisah tentang Ashabul Kahfi.

Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy mengistilahkan kisah dalam al-Qur’an sebagai kumpulan khabar al-Qur’an yang menjelaskan keadaan umat yang terjadi di masa lalu, atau pada masa kenabian sebelumnya yang memuat peristiwa dan kejadian tertentu (Safitri. 2019, hlm 25). Pengertian tersebut dilengkapi juga dengan segala hal ihwal para Nabi dan umat terdahulu yang menjelaskan sejarah keadaan bangsa-bangsa, negeri, peninggalan dan jejak-jejak (Sari. 2016, hlm, 93). Namun kisah dan dongeng memiliki spesifikasi berbeda meski terkadang keduanya memiliki kaidah ketentuan yang sama, seperti gaya penarasian lebih menarik. Namun diferensiasi keduanya terletak pada tujuan yang berbeda, dimana dongeng hanya cenderung sebagai hiburan yang tidak selalu memiliki nilai edukasi, sementara kisah lebih menekankan unsur seni dan tujuan menekankan suatu pelajaran tertentu (Dalimunthe. 2016, hlm 276)

Beberapa hari lalu saya telah membaca dengan hatam novel kisah Ashabul Kahfi (Muhammad El Natsir, Diva Press, 2010), diceritakan ada seorang Raja bernama Diqyanius yang menguasai secara paksa Kota Ephesus (sekarang: Turki), tempat para Ashabul Kahfi dulunya hidup makmur di bawah ajaran Nabi Isa AS. Kota Ephesus kemudian menjadi kota yang buruk akhlak dan tauhid, karena para rakyat dipaksa menyembah sang Raja Diqyanius atau akan dihukum mati, disiksa para prajurit kerajaan. Pilihan yang amat sulit, maka enam pemuda pengawal raja dan seorang gembala ditemani anjingnya yang menjadi tokoh kisah ini sedang melarikan diri, sekaligus merencanakan pemberontakan untuk melawan kedzholiman (Hikmah. 2020, hlm, 2).

Ashabul Kahfi, Kisah yang Hidup

Pesan tersirat tentang Ashabul Kahfi bukan sekedar kisah mati yang terjadi pada pertengahan abad ke 3 silam (Muhammad El Natsir. 2010, hlm 5), melainkan sebenarnya kisah Ashabul Kahfi tetap hidup sebagai implementasi dari peran pemuda dalam kehidupan sosial era modern. Dalam kisah ini ditemukan pula muatan “nilai-nilai”, perangkat kepercayaan yang dapat dimanfaatkan bagi umat manusia sebagai tauladan dari sikap maupun tingkah laku (Anang. 2016, hlm 8). Kisah tersebut memiliki beberapa nilai budaya bagi pemuda yang aktual jika dipraktikkan di era modern ini.

Beberapa nilai tersebut yaitu, pertama, daya nalar. Dengan analogi yang sederhana, “Kalau Diqyanius mengaku Tuhan, kenapa dia makan, minum dan tidur seperti kita, manusia. Kenapa ia bertingkah dan memiliki kebutuhan layaknya manusia? Apakah dia ikut membuat bumi? Atau menyangga langit? Tidak mungkin dia menciptakan sesuatu sementara dirinya dulu juga tidak ada/belum ada” (Muhammad El Natsir. 2010, 125-126).

Mulanya keyakinan itu mereka sembunyikan rapat-rapat, sembari menghindari perayaan atau proses penyembahan yang dilakukan masyarakat terhadap Diqyanius (Rahmansyah. 2020, hlm 77). Kemampuan nalar itu menyadarkan ke enam pemuda pengawal raja melarikan diri dari Ephesus demi menyelamatkan iman, dalam perjalanan mereka bertemu seorang pengembala dan anjing bernama Khitmir yang dapat berbicara atas rahmat Tuhan. Bukan hanya kaum muda, bahkan seluruh manusia diwajibkan untuk mencari ilmu dan melatih kecerdasan akal, kemudian dari bekal tersebut manusia dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya (adil), serta mampu menalar suatu permasalahan dengan putusan-putusan yang sesuai hati nuraninya.

Kemudian, nilai intelektual. Terlepas dari kebesaran Allah atas kisah Ashabul Kahfi, nilai intelektual merupakan kegiatan yang bukan hanya terletak pada ranah pendidikan. Seperti para pemuda Ashabul Kahfi, intelektual manusia modern harus mampu membawanya pada keimanan dan kemampuan menangkap tanda-tanda dari Allah lainnya, seperti pergantian malam dan siang, hujan, gunung dan semua fenomena yang ada di semesta. Sebab tanpa keimanan, ilmu dan kecerdasan intelektual hanya akan menjadi buas (Anang. 2016, hlm 81), maka keseimbangan antara iman dan intelektual merupakan paduan yang perlu ditekankan pada generasi muda saat ini.

Selanjutnya ketika membaca Ashabul Kahfi secara kontekstual, membuat saya selalu berpikir bahwa “menyendiri” demi menjauhi hal-hal yang salah atau tidak sesuai dengan kebenaran juga perlu sesekali kita lakukan, meski hal tersebut berlawanan dengan sikap banyak orang. Dalam jarak pikir yang jauh, hal itu menjadi obat untuk diri kita pribadi agar tidak menjadi orang yang mudah terbawa atau terombang-ambingkan oleh “Arus” kehidupan, juga melakukan sesuatu dengan taklid buta atau ikut-ikutan orang saja tanpa tahu maksud tujuannya. Seorang tokoh, Emha Ainun Najib atau yang akrab dipanggil Cak Nun pernah memberi kalimat bahwa, “Hidup itu melawan arus. Hanya sampah dan ikan mati yang ikut arus.” Setidaknya hal itulah fakta sosial yang sedang terjadi. Dimana generasi muda lebih mudah ikut, terprovokasi dan menjadi objek peradaban tanpa merdeka terhadap dirinya sendiri. Akhir-akhir ini, apa saja yang viral maka dia akan jadi kiblat kebudayaan. Demikian yang saya baca dan temukan dalam cerita Ashabul Kahfi, mereka adalah orang-orang yang tak pernah ikut arus sosial atau kontrol luar terhadap diri mereka, demi menyelamatkan diri dari pengaruh buruk atau sesuatu yang tak menjadikannya sampai pada kebaikan dan kebenaran.

Terakhir, di akhir kisah, ketika para Ashabul Kahfi dibangunkan oleh Allah SWT setelah 309 tahun dari tidurnya. Saat itu Kota Ephesus dipimpin Raja Abdurrahman yang bijaksana dan masyarakat Ephesus sudah kembali ke ajaran Nabi Isa AS. Mengetahui kisah Thamlika (salah satu Ashabul Kahfi) dari pengakuan uang dan kesaksian tempat tinggalnya yang dapat dibuktikan, Thamlika dieluh-eluhkan dan dimintai berkah oleh masyarakat, dengan bijak Thamlika hanya menjawab, “Saya manusia biasa seperti kalian, kejadian yang kami alami bukan karena kemampuan kami, namun kuasa Allah SWT” (Muhammad El Natsir. 2010, hlm 271-272).

Ketika ditarik kasus dari cerita akhir mereka, dalam bahasa terkini para Ashabul Kahfi tak mau menjadi orang yang “viral”, mereka takut akan menjadi orang-orang yang dimuliakan dan terlena olehnya, maka kemudian mereka sepakat berdo’a agar dijemput ajalnya di goa tempat mereka tidur seperti semula, tanpa menemui Raja Abdurrahman dan masyarakat yang menunggu mereka di luar goa. Akhir yang sangat menampar diri saya sendiri, saya teringat pula seniman Pidi Baiq berkata, “Kalau kamu kucing jangan berkeinginan untuk menggonggong, meski menggonggong itu sedang viral”, dimana sebagai manusia pada umumnya, terkadang terselip perasaan ingin dipuji dan diberi perhatian lebih dari yang lain. Dan menjadi terkenal/viral ialah kenikmatan yang sedang dicari-cari di era modern ini, bahkan dengan cara memotong urat malu sekalipun.

Kisah Ashabul Kahfi menjadi cerminan keimanan, kecerdasan dan sikap yang baik dalam menanggapi persoalan zaman yang makin tak karuan. Kisah-kisah tersebut akan selalu hidup di tengah-tengah masyarakat sebagai suatu nilai tata prilaku dan pola berfikir orang Islam, khususnya para pemuda sebagai tonggak peradaban dan generasi yang akan datang.

 

  

Daftar Pustaka


Anang, 2016. Nilai-nilai Pendidikan dalam Kisah Ashabul Kahfi. Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Dalimunthe, Sehat Sultoni, (2016). Metode Kisah dalam Prespektif al-Qur’an. Vol 23 No 2, Jurnal Tarbiyah, UIN Sumatera Utara, Medan.

El Natsir, Muhammad. Ashabul Kahfi, Jogjakarta: Diva Press, 2010.

Hamid, Shlahudin. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT Intimedia Ciptanusantara, 2002.

Hikmah, Fathul. 2020. Kisah Ashabul Kahfi Dan Relevansinya Dengan Generasi Terkini Menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi. Skripsi: UIN Sultan Syarif Kasim Riau. Istiqamah, Siti, 2021. Kisah Ashabul Kahfi Dalam Al-Qur’an. Skripsi: IAIN Ponorogo.

Istiqamah, siti. 2021. Kisah Ashabul Kahfi Dalam Al-Qur’an (Studi Komparatif Tafsir Al-Misbah Dengan Tafsir Ibnu Katsir). Skripsi: IAIN Ponorogo.

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Ma’zumi, dkk. (2021). Nilai Pendidikan Dalam ‘Ibrah Qashash Al-Qur’an (Analisis Sintesis Terhadap Kisah-Kisah Dalam Al-Qur’an, Volume 7. Jurnal Pendidikan Karakter “Jawara” (Jpkj).

Rahmansyah, 2020. Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Kisah Aṣḥābul Kahfi. Tesis: UIn Sumatera Utara Medan.

Safitri, Mariani Eka, (2019). Pendidikan Sabar dalam Kisah Nabi Ayyub (Kajian Tafsir Surat Shad ayat 41-44). Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sari, Abu, (2016). The stories in al-Qur’an/Kisah-kisah dalam al-Qur’an, Vol 1 no 1, Putih: Jurnal Pengetahuan tentang Ilmu dan Hikmah. Surabaya: Ma’had Aly al-Fithrah.



[1] Tidur berlebihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar