Manusia Ashabul Kahfi
(Menuai
Nilai-nilai Budaya Ashabul Kahfi di Era Modern)
Ali
Hamidi
Amat
lucu sekaligus sungguh keliru, apabila kita memaknai kisah Ashabul Kahfi hanya sebagai
dalih penguat kegiatan tura-turu[1]
atau sebatas kisah menyepi selama 309 tahun di dalam gua. Al-Qur’an sebagai
kitabullah yang diturunkan pada Nabi
Muhammad SAW memiliki cakupan kebenaran dan kemukjizatan dalam berbagai ruang
lingkup pembahasan, qosas atau kisah
merupakan salah satunya, adapun ilmu lain seperti ilmu makkiyah, madaniyah,
asbabun nuzul, qira’at, aqsam, naskh mansukh dan sebagainya (Hamid. 2002, hlm,
186).
Kisah
merupakan kejadian/riwayat (KBBI) yang dijadikan salah satu cara menyampaikan
pesan-pesan moral, dalam upaya pembentukan karakter umat selaras dengan tujuan
Nabi Muhammad SAW (Istiqamah. 2021, hlm 14). Manna al-Khallil al-Qaththan
memberi definisi bahwa kisah dalam al-Qur’an merupakan sebuah pemberitaan dari
al-Qur’an mengenai suatu kejadian, keadaan, peristiwa atau hal-hal terkait suasana
sosial para Nabi dan umat terdahulu, atau sejarah-sejarah yang bersifat
empiris, dengan menunjukan peninggalan, data dan bukti-bukti di tempat tersebut
(Ma’zumi, dkk. 2021, hlm 16). Berbagai kisah disampaikan dalam al-Qur’an dengan
tujuan seperti sebagai metode pendidikan, penjelasan historis, suri tauladan,
pelajaran, peringatan dan lain-lain. Banyak kisah-kisah populer dalam al-Qur’an
yang kemudian dijadikan wacana penelitian maupun kajian-kajian islami, salah
satunya kisah tentang Ashabul Kahfi.
Tengku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy mengistilahkan kisah dalam al-Qur’an sebagai
kumpulan khabar al-Qur’an yang menjelaskan keadaan umat yang terjadi di masa
lalu, atau pada masa kenabian sebelumnya yang memuat peristiwa dan kejadian
tertentu (Safitri. 2019, hlm 25). Pengertian tersebut dilengkapi juga dengan
segala hal ihwal para Nabi dan umat terdahulu yang menjelaskan sejarah keadaan
bangsa-bangsa, negeri, peninggalan dan jejak-jejak (Sari. 2016, hlm, 93). Namun
kisah dan dongeng memiliki spesifikasi berbeda meski terkadang keduanya
memiliki kaidah ketentuan yang sama, seperti gaya penarasian lebih menarik.
Namun diferensiasi keduanya terletak pada tujuan yang berbeda, dimana dongeng
hanya cenderung sebagai hiburan yang tidak selalu memiliki nilai edukasi,
sementara kisah lebih menekankan unsur seni dan tujuan menekankan suatu
pelajaran tertentu (Dalimunthe. 2016, hlm 276)
Beberapa
hari lalu saya telah membaca dengan hatam novel kisah Ashabul Kahfi (Muhammad
El Natsir, Diva Press, 2010), diceritakan ada seorang Raja bernama Diqyanius
yang menguasai secara paksa Kota Ephesus (sekarang: Turki), tempat para Ashabul
Kahfi dulunya hidup makmur di bawah ajaran Nabi Isa AS. Kota Ephesus kemudian
menjadi kota yang buruk akhlak dan tauhid, karena para rakyat dipaksa menyembah
sang Raja Diqyanius atau akan dihukum mati, disiksa para prajurit kerajaan. Pilihan
yang amat sulit, maka enam pemuda pengawal raja dan seorang gembala ditemani
anjingnya yang menjadi tokoh kisah ini sedang melarikan diri, sekaligus merencanakan
pemberontakan untuk melawan kedzholiman (Hikmah. 2020, hlm, 2).
Ashabul Kahfi, Kisah yang
Hidup
Pesan
tersirat tentang Ashabul Kahfi bukan sekedar kisah mati yang terjadi pada
pertengahan abad ke 3 silam (Muhammad El Natsir. 2010, hlm 5), melainkan sebenarnya
kisah Ashabul Kahfi tetap hidup sebagai implementasi dari peran pemuda dalam
kehidupan sosial era modern. Dalam kisah ini ditemukan pula muatan “nilai-nilai”,
perangkat kepercayaan yang dapat dimanfaatkan bagi umat manusia sebagai
tauladan dari sikap maupun tingkah laku (Anang. 2016, hlm 8). Kisah tersebut
memiliki beberapa nilai budaya bagi pemuda yang aktual jika dipraktikkan di era
modern ini.
Beberapa
nilai tersebut yaitu, pertama, daya nalar. Dengan analogi yang sederhana, “Kalau
Diqyanius mengaku Tuhan, kenapa dia makan, minum dan tidur seperti kita,
manusia. Kenapa ia bertingkah dan memiliki kebutuhan layaknya manusia? Apakah
dia ikut membuat bumi? Atau menyangga langit? Tidak mungkin dia menciptakan
sesuatu sementara dirinya dulu juga tidak ada/belum ada” (Muhammad El Natsir.
2010, 125-126).
Mulanya
keyakinan itu mereka sembunyikan rapat-rapat, sembari menghindari perayaan atau
proses penyembahan yang dilakukan masyarakat terhadap Diqyanius (Rahmansyah.
2020, hlm 77). Kemampuan nalar itu menyadarkan ke enam pemuda pengawal raja melarikan
diri dari Ephesus demi menyelamatkan iman, dalam perjalanan mereka bertemu
seorang pengembala dan anjing bernama Khitmir yang dapat berbicara atas rahmat
Tuhan. Bukan hanya kaum muda, bahkan seluruh manusia diwajibkan untuk mencari
ilmu dan melatih kecerdasan akal, kemudian dari bekal tersebut manusia dapat
menempatkan sesuatu pada tempatnya (adil), serta mampu menalar suatu
permasalahan dengan putusan-putusan yang sesuai hati nuraninya.
Kemudian,
nilai intelektual. Terlepas dari kebesaran Allah atas kisah Ashabul Kahfi, nilai
intelektual merupakan kegiatan yang bukan hanya terletak pada ranah pendidikan.
Seperti para pemuda Ashabul Kahfi, intelektual manusia modern harus mampu
membawanya pada keimanan dan kemampuan menangkap tanda-tanda dari Allah lainnya,
seperti pergantian malam dan siang, hujan, gunung dan semua fenomena yang ada
di semesta. Sebab tanpa keimanan, ilmu dan kecerdasan intelektual hanya akan
menjadi buas (Anang. 2016, hlm 81), maka keseimbangan antara iman dan
intelektual merupakan paduan yang perlu ditekankan pada generasi muda saat ini.
Selanjutnya
ketika membaca Ashabul Kahfi secara kontekstual, membuat saya selalu berpikir
bahwa “menyendiri” demi menjauhi hal-hal yang salah atau tidak sesuai dengan kebenaran
juga perlu sesekali kita lakukan, meski hal tersebut berlawanan dengan sikap
banyak orang. Dalam jarak pikir yang jauh, hal itu menjadi obat untuk diri kita
pribadi agar tidak menjadi orang yang mudah terbawa atau terombang-ambingkan
oleh “Arus” kehidupan, juga melakukan sesuatu dengan taklid buta atau
ikut-ikutan orang saja tanpa tahu maksud tujuannya. Seorang tokoh, Emha Ainun
Najib atau yang akrab dipanggil Cak Nun pernah memberi kalimat bahwa, “Hidup itu melawan arus. Hanya sampah dan
ikan mati yang ikut arus.” Setidaknya hal itulah fakta sosial yang sedang
terjadi. Dimana generasi muda lebih mudah ikut, terprovokasi dan menjadi objek
peradaban tanpa merdeka terhadap dirinya sendiri. Akhir-akhir ini, apa saja
yang viral maka dia akan jadi kiblat kebudayaan. Demikian yang saya baca dan
temukan dalam cerita Ashabul Kahfi, mereka adalah orang-orang yang tak pernah
ikut arus sosial atau kontrol luar terhadap diri mereka, demi menyelamatkan
diri dari pengaruh buruk atau sesuatu yang tak menjadikannya sampai pada
kebaikan dan kebenaran.
Terakhir,
di akhir kisah, ketika para Ashabul Kahfi dibangunkan oleh Allah SWT setelah
309 tahun dari tidurnya. Saat itu Kota Ephesus dipimpin Raja Abdurrahman yang
bijaksana dan masyarakat Ephesus sudah kembali ke ajaran Nabi Isa AS. Mengetahui
kisah Thamlika (salah satu Ashabul Kahfi) dari pengakuan uang dan kesaksian tempat
tinggalnya yang dapat dibuktikan, Thamlika dieluh-eluhkan dan dimintai berkah
oleh masyarakat, dengan bijak Thamlika hanya menjawab, “Saya manusia biasa
seperti kalian, kejadian yang kami alami bukan karena kemampuan kami, namun
kuasa Allah SWT” (Muhammad El Natsir. 2010, hlm 271-272).
Ketika
ditarik kasus dari cerita akhir mereka, dalam bahasa terkini para Ashabul Kahfi
tak mau menjadi orang yang “viral”, mereka takut akan menjadi orang-orang yang
dimuliakan dan terlena olehnya, maka kemudian mereka sepakat berdo’a agar
dijemput ajalnya di goa tempat mereka tidur seperti semula, tanpa menemui Raja
Abdurrahman dan masyarakat yang menunggu mereka di luar goa. Akhir yang sangat
menampar diri saya sendiri, saya teringat pula seniman Pidi Baiq berkata, “Kalau
kamu kucing jangan berkeinginan untuk menggonggong, meski menggonggong itu
sedang viral”, dimana sebagai manusia pada umumnya, terkadang terselip perasaan
ingin dipuji dan diberi perhatian lebih dari yang lain. Dan menjadi
terkenal/viral ialah kenikmatan yang sedang dicari-cari di era modern ini,
bahkan dengan cara memotong urat malu sekalipun.
Kisah
Ashabul Kahfi menjadi cerminan keimanan, kecerdasan dan sikap yang baik dalam
menanggapi persoalan zaman yang makin tak karuan. Kisah-kisah tersebut akan
selalu hidup di tengah-tengah masyarakat sebagai suatu nilai tata prilaku dan
pola berfikir orang Islam, khususnya para pemuda sebagai tonggak peradaban dan
generasi yang akan datang.
Daftar
Pustaka
Anang,
2016. Nilai-nilai Pendidikan dalam Kisah Ashabul Kahfi. Skripsi: UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
Dalimunthe,
Sehat Sultoni, (2016). Metode Kisah dalam Prespektif al-Qur’an. Vol 23 No 2,
Jurnal Tarbiyah, UIN Sumatera Utara, Medan.
El
Natsir, Muhammad. Ashabul Kahfi, Jogjakarta: Diva Press, 2010.
Hamid,
Shlahudin. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT Intimedia Ciptanusantara, 2002.
Hikmah, Fathul. 2020. Kisah Ashabul Kahfi Dan
Relevansinya Dengan Generasi Terkini Menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi. Skripsi:
UIN Sultan Syarif Kasim Riau. Istiqamah, Siti, 2021. Kisah Ashabul Kahfi
Dalam Al-Qur’an. Skripsi: IAIN Ponorogo.
Istiqamah, siti. 2021. Kisah Ashabul Kahfi Dalam Al-Qur’an (Studi
Komparatif Tafsir Al-Misbah Dengan Tafsir Ibnu Katsir). Skripsi: IAIN Ponorogo.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Ma’zumi,
dkk. (2021). Nilai Pendidikan Dalam ‘Ibrah Qashash Al-Qur’an (Analisis Sintesis
Terhadap Kisah-Kisah Dalam Al-Qur’an, Volume 7. Jurnal Pendidikan Karakter
“Jawara” (Jpkj).
Rahmansyah, 2020. Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam
Kisah Aṣḥābul Kahfi. Tesis: UIn
Sumatera Utara Medan.
Safitri,
Mariani Eka, (2019). Pendidikan Sabar dalam Kisah Nabi Ayyub (Kajian Tafsir
Surat Shad ayat 41-44). Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sari,
Abu, (2016). The stories in al-Qur’an/Kisah-kisah dalam al-Qur’an, Vol 1 no 1,
Putih: Jurnal Pengetahuan tentang Ilmu dan Hikmah. Surabaya: Ma’had Aly
al-Fithrah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar