Pesan Senja Amak
Oleh: Munif Akhsan
Gerimis yang menyapa dedaunan tak mengurangi indahnya matahari terbenam. Sepiring pisang goreng buatan Ayuk menemani nyanyian katak di tepi Sungai Batang Hari.
"Alam, jangan kau lupa kata kata Amak ini. Amak ingin kau kelak jadi manusia yang bertakwa, berbudi, amanah, dan sportif. Entah profesi apa yang akan kau geluti kelak. Hidup bukan hanya materi, tetapi juga harga diri. Hidup bukan sebatas menang atau kalah tetapi kenyamanan dalam menjalaninya. Arti sebuah kenyamanan bukanlah kesuksesan atau kemenangan, tetapi ketenangan jiwa bersama orang orang di sekitar kita."
"Siap Mak. Tapi Alam kelak mau jadi penambang pasir Batang Hari saja Mak. Alam tidak mau tinggalkan Amak dan Ayuk, Alam sayang kalian." Amak, begitulah Alam memanggil ibunya. Secarik senyum dan kesedihan tersirat di wajah Amak. Ibu dan anak tersebut menghabiskan sore dengan petuah petuah bijak.
Di ruang terpisah, Ayuk yang juga mendengar petuah Amak sambil memandang foto sepasang suami istri dengan anak perempuannya.
"Apakah kau tetap menyayangi kami, jika kau mengetahui kebenarannya?" ucap Ayuk dalam hati.
***
Sepuluh tahun kemudian nasib berkata lain, Alam sudah menyelesaikan pendidikan s-2 nya. Dia mengubah cita - citanya, dari penambang pasir Batang Hari menjadi Bupati Batang Hari. Sedangkan Ayuk yang memutuskan untuk berhenti kuliah demi adiknya, sekarang dia menjaga warung makan warisan ibunya. Amak telah meninggal saat Ayuk duduk di bangku kuliah. Jadilah dia tulang punggung keluarga kecil itu.
"Yuk, bagaimana menurut Ayuk, kalau Alam kalah dalam pemilihan bupati besok?" tanya Alam sembari menyeruput kopi Kerinci.
"Ingatkah kau, kata kata Amak dulu. Hidup bukan sebatas menang atau kalah tetapi.."
"Kenyamanan dalam menjalaninya." Alam memotong ucapan kakaknya.
Segala persiapan persiapan pemilihan umum mulai di jalani Alam. Kampanye sana sini, teriak teriak sampai suara serak di nikmati nya bersama orang orangnya. Di sela sela kegiatan itu seseorang menghampirinya.
"Maaf mengganggu waktunya Pak Alam. Di sini saya menawarkan bantuan untuk memenangkan pemilihan bupati besok."
"Bantuan bagaimana yang anda maksud?"
"Saya pinjamkan anda sejumlah uang tambahan dan sembako antara lain beras, minyak dan gula. Kita berikan sembako itu kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk anda."
"Tidak mau saya, itu namanya politik uang, curang." Alam menolak.
"Tidak apa apa Pak. Toh lawan anda juga melakukannya. Saya menawarkan bantuan ini karena saya tahu bapak bukan dari kalangan berada seperti lawan anda." Alam berpikir sejenak, pendiriannya mulai goyah. Dia mulai tertarik tawaran tersebut, toh ini juga sudah jadi tradisi di Indonesia. Paling masyarakat juga sudah memakluminya.
"Ya sudah pak. Kalau dipikir pikir dulu, nanti kalau sudah yakin hubungi saya." ucap orang tersebut sembari memberikan kartu nama bertuliskan Jan Ellex.
***
Di rumah Alam merasa kebingungan, dia memutuskan untuk membicarakannya pada Ayuk.
"Yuk, tadi siang ada orang menawarkan bantuan kepada saya untuk menang dalam pemilihan umum. Caranya dengan politik uang. Bagaimana menurut Ayuk?" Alam bertanya yang langsung menyapu senyum di wajah Ayuk.
"Ayuk tidak akan berpendapat kali ini. Ayuk hanya ingin kau tahu sebuah rahasia. Mungkin saat ini adalah waktu yang pas untuk menceritakan kejadian tersebut. Tetapi, setelah Ayuk cerita, Ayuk mohon supaya kamu tidak membenci Amak dan Ayuk." Mata mereka saling menatap sebelum Ayuk menunduk dan mulai bercerita.
"Kejadian ini terjadi saat Ayuk berusia delapan tahun. Kala itu Bapak mencalonkan diri menjadi kepala desa. Bapak berambisi untuk menjadi kades dengan segala cara. Seminggu sebelum Pilkades, bapak menyabotase kendaraan lawannya. Alhasil terjadi kecelakaan yang menewaskan lawan dan istrinya, sedangkan bayi mereka selamat. Sampai sekarang kejadian tersebut masih dianggap kecelakaan, tidak ada yang pernah curiga dengan Bapak. Tetapi Bapak menyesal dan membawa pulang bayi mereka. Amak yang tahu kejadian tersebut langsung marah besar pada bapak. Keluarga kami tidak harmonis lagi walau Amak mencoba menutupi nya. Tidak lama Bapak meninggal akibat stress. Ayuk yang tahu akan hal ini, diperintah Amak untuk merahasiakan nya."
"Apakah bayi itu adalah Alam?" Alam menyela, matanya sembab menahan tangis. Ayuk hanya mengangguk yang membuat tangisan Alam pecah.
"Maafkan kami Alam," gumam Ayuk sembari melihat Alam berlari menuju kamar lantas membanting pintu kamar.
DYARRR
***
Suasana di meja makan pagi itu berbeda dari hari-hari biasanya. Ayuk telah menyiapkan sarapan. Keheningan menyelimuti ruangan, hanya bunyi sendok dan piring yang terdengar.
"Alam?"Ayuk mencoba memecah kesunyian.
"Tidak apa-apa Yuk. Itu bukan salah Ayuk, Alam hanya kaget bahwa selama ini Alam bukan dari keluarga ini."
"Ayuk minta maaf, sebab Bapak Ayuk lah orang tuamu meninggal. Karena haus kekuasaan lah, Bapak sampai tega..."
"Sudahlah. Tidak usah dibahas lagi. Kita ambil hikmahnya saja, bahwa kita harus bersaing secara sportif. Cerita itu meyakinkan Alam supaya tidak bermain curang pada pemilihan bupati besok." Alam menyela, senyuman kecil tersirat di wajahnya walau matanya masih terlihat habis menangis.
***
Penghitungan suara sedang berjalan di beberapa TPS. Kebanyakan dari penghitungan dan rekapitulasi tersebut menunjukkan bahwa Alam mendapat suara sedikit. Pada akhirnya, akhirnya lawan dinyatakan unggul dengan persentase 59% suara, sedangkan Alam dinyatakan kalah. Hal ini tidak membuat Alam patah semangat begitu saja. Dia berpikir, bahwa 41 % dari masyarakat masih memberikan suara untuknya yang murni tanpa kecurangan. Baik dalam bentuk money politic, penggelembungan suara, penyalahgunaan jabatan, maupun pemalsuan dokumen.
"Pak Gubernur, acara peresmian pasar rakyat Ayam Duo akan dimulai 30 menit lagi,"seorang pria berjas hitam mengingatkannya. Alam tersadar dari lamunannya.
"Baik, ayo berangkat. Jangan sampai terlambat, gubernur harus tepat waktu." Alam beranjak dari duduknya meninggalkan pusara kedua orang tua nya.
(Salatiga, 17 November 2021)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar