SERIUS INI PAK KYAI?
Oleh : M.K. Abid
“cung” panggilan bapak yang menyadarkan ku dari lamunan. “sapine wes dipakani po urung? Tanya bapak sambil merapikan alat-alat pertaniannya. “sampun Pak” jawabku singkat. “lek uwis ayo ndang bali wes dalu.” Kami pun pulang bersama sambil melewati jalan pintas di tengah kuburan saat matahari ingin istirahat di bagian barat. Mungkin karena terbiasa lewat tengah kuburan, hawa mistis tak terasa.
Aku Reza. Usiaku sudah terbilang matang yaitu 24 tahun. Orang tuaku adalah petani. Sebagai anak tunggal aku dibesarkan dengan pendidikan mental yang kuat sejak dini. Sehingga aku tumbuh menjadi pribadi yang kuat dalam menghadapi pahitnya kehidupan.
Setibanya di rumah ku letakkan kayu bakar yang ku bawa dari ladang di dapur. Maklum orang kampung masih menggunakan tungku untuk memasak. Habis itu ku bersihkan diriku dan sholat maghrib berjamaah di musholla dekat rumah. Sholat maghrib pun telah usai. Segera ku langkahkan kaki ku menuju tempat ngaji kitab kuning di sebuah musholla milik pa kyai Anwari. Sembari berjalan ku sapa orang yang lewat dan terkadang ada yang menegurku sekedar hanya untuk bertanya. Budaya seperti inilah yang membuat hubungan antar masyarakat menjadi lebih rekat.
“waqoola… lan ngendiko sopo kanjeng Nabi Muhammad SAW… Annikahu utawi kawin…iku sunnati… setengah saking sunah ingsun….. ” ku simak dan ku goyangkan pena ku di atas kitab kuningku. Penjelasan yang beliau berikan ku dengarkan dengan seksama dan sesekali ku catat keterangan di buku tulis. Ngaji kali ini terasa seru karena pak kyai membahas bab nikah. Aku senyum-senyum sendiri saat beliau berkata “nikah itu 5 persennnya enak. Sisanya enak banget”. Tak terasa diri ini mulai membayangkan hal-hal yang beliau jelaskan. Hehehehehe maklumlah Namanya juga lelaki normal dan sudah usia nikah.
Larut dalam penjelasan dari pak kyai tak terasa aku melamun. Dalam lamunan aku bertanya-tanya apakah ada yang mau menikah denganku. Statusku yang hanya petani kampung membuat ku minder saat ku mulai mendekati cewek. Istilahnya PDKT lah. Ditambah lagi saat aku diputuskan kekasihku saat ku masih SMA membuat trauma sampai saat ini. Ditambah lagi orang tuaku yang selalu menanyakan kapan aku bisa membawa calon istri ke rumah menemui mereka. Haduhhh serasa mau pecah kepala ini. Sejak saat diputuskan oleh kekasihku hari itu, serasa diri ini tak lagi bergairah untuk mencari pengganti. Entah karena belum bisa muve on atau memang terlalu sayang.
Tak terasa adzan isya sudah mulai terdengar. Dan aku masih asik dengan lamunan ku tadi. Hingga tak kusadari pengajian sudah selesai. Pak kyai ternyata sedari tadi memperhatikan ku yang melamun. Beliau mendekatiku dan menepuk Pundakku. Sontak ku langsung terperanjat karena kaget. “ lapo cung kok ngelaamun?” tanya beliau santai. “anu pak yai anu.” Jawabku sambil malu-malu kucing. “anu lapo jal cerito” tawar pa kyai. “anu pak yai niki kulo kan sampun wayah nikah, lha kulo niki mikir jodoh kulo niku sinten kok dereng muncul-muncul” jawabku jujur sambil senyum-menahan menahan malu. Sambil tertawa pa kyai kemudian berkata “lha ngono wae dipikir.” “lha ajeng pripon yai?” tanyaku sambil keheranan mendengar perkataan beliau. “ wes ngene wae tak golekno calon po piye?” tawar pa kyai. “Haa apa telinga ini tidak salah dengar? Pak yai mau mencarikan aku calon istri?” bisik ku dalam hati. Aku hanya melongo tak berkata apapun. Rasanya bagaikan hujan petir di siang bolong. Ini mimpi atau imajinasi yang kurasakan. “heh! Malah mlongo. Gelem opo ora ?” bentak yai sambil senyum-senyum melihat tingkahku yang mulai salah tingkah. Dengan ragu dan menganggukkan kepala ku jawab pertanyaan pa yai tadi “ng…..gehh pak yai. Tapi niki serius toh?” “ lha yo serius mosok aku guyonan.” Jawab pak yai dengan yakin. “wes wes ayo sholat isya sek masalah calon bojomu gampang sisuk tak golekno.” Seru pak yai. Aku hanya menganggukkan kepala sembari bertanya-tanya dalam pikiran apakah ini serius?
Setibanya di rumah seperti biasa kami berkumpul di ruang tamu dan makan malam bersama. Hidangan sederhana sudah tersedia di hadapan muka. Sayur lodeh, ikan pindang, tahu tempe goreng menu makan malam kali ini. Emak tengah sibuk menghidangkan makanan dalam piring bapak. Dan aku masih terus saja kepikiran kata pak yai tadi. Hingga bapak pun mengagetkan ku dengan menepuk Pundak ku. “mikir opo cung? Ayo ndang mangan ojo nglamun ae.” Kata bapak sambil senyum-senyum. “mboten pak” Jawabku singkat. Tiba-tiba emak bertanya tentang calon istriku “kapan calon bojomu di kenalke mak bapak? Mak bapak iki wes tuo pengen gendong putu?” “ehek-ehek” segera ku ambil gelas minum dan meneguk air karena tersedak makanan. “sabar mak sabar. Dereng wancine”. “hemmm lha kapan wayah iki? Tanya emak tak sabar.
Seusai makan malam aku langsung masuk kamar dan terus kepikiran hal yang tadi. Malam semakin malam tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Dengan yakin akhirnya aku mengambil kesimpulan “paling pak yai guyon, biasanya kan beliau suka guyon”. Lalu aku memutuskan untuk tidur. Ditambah mata ini sudah lelah ingin istirahat.
Keesokan harinya aku terbangun karena mendengarkan lantunan adzab subuh dari musolla di dekat rumahku. Berbegas ku langkahkan kaki ini ke kamar mandi untuk wudlu dan pergi jamaah sholat subuh di musolla. pulang dari musolla ku sempatkan membaca alqur’an sebentar. Habis itu ku persiapkan diri untuk melanjutkan kegiatan di ladang.
Tak terasa sudah tiga hari sejak tawaran pak yai hari itu. Adzan maghrib terdengar nyaring seantero kampung. Seperti biasa ku langkahkan kaki ke musolla dekat rumah untuk sholat berjamaah. Setibanya di ruma, baru saja ku mau keluar untuk melanjutkan ngaji kitab di musolla pak yai, mobil avansa hitam tiba-tiba datang dan parkir di halaman rumahku. Ku kira itu hanya orang yang numpang parkir atau hanya sekedar putar arah. Tetapi setelah ku tatap mobil itu ternyata ada pak yai Anwari bersama seorang lelaki seusia beliau, seorang Wanita paruh baya dan seorang Wanita sekitar usianya dibawahku. Aku kaget Ketika pak yai tiba-tiba mengucapkan salam kepadaku. Dengan heran dan bertanya tanya ku jawab salam pak yai dan ku persilahkan masuk. Dengan ramah emak dan bapak menyambut tamu kami dan mempersilahkan duduk. Emak langsung bergegas menyiapkan minuman dan makanan untuk disuguhkan kepada tamu. “monggo di unjuk” kata bapak mempersilahkan tamunya untuk minum. “ maaf pak kami tidak bisa bahasa jawa” jawab lelaki yang bersama pak yai tadi. “oh iya maaf pak, silahkan diminum” Kembali bapak mempersilahkan.
Setelah para tamu meminum suguhan kami, pak yai memulai pembicaraannya “ begini pak, kedatangan kami ke rumah bapak yang pertama adalah untuk silaturrahmi dan yang kedua ingin melamar nak Reza untuk dijadikan suami nak Rani putri teman saya, Bapak Tomi dan Ibu Rahma. Mereka ini dari Jakarta dan baru pindah ke Lamonagn beberapa bulan ini” Mendengar penuturan pak yai bapak dan emak saling memandang dengan wajah heran tak percaya. Aku yang mendengarkannya pun ikut kaget dan mlongo. Dalam benakku aku berkata “ternyata pak yai tak bercanda mencarikanku calon istri.” “ini serius apa guyonan pak yai ?” tanya bapak masih tak percaya. “ ya serius to Pak masak mau bercanda masalah beginian. “ jawab pak yai sambil senyum. “benar pak, buk, kedatangan kami kesini ingin melamar putra bapak dan ibu.” Tambah Pak Tomi. Sudah menjadi adat orang Lamonagn kalau perempuan melamar lelaki jadi jangan kaget yaaa…. “ aduh gimana ya Pak, kalau kami sebagai orang tua ya tergantung anak saja Pak.” Jawab emak pasrah. “jadi bagaimana Reza apakah kamu beredia?” tanya pak yai. Mendengar pertanyaan pak yai membuatku kaget. Karena sedari tadi aku hanya terfokus pada Rani yang sedari tadi duduk termenung dan menundukkan kepala. “kalau saya tergantung sama Raninya, mau apa tidak.” Jawabku sambil menunduk. “Rani kamu mau apa tidak?” tanya pak yai pada Rani. Sambil tersenyum malu Rani menganggukkan kepala. “Alhamdulillah” Seru Pak Tomi dan Bu Rahma. “ jika memang kedua nya sudah siap dan bersedia alangkah baiknya kita langsung membahas hari pernikahannya saja.” Tawar pak yai. “baik pak yai.” Jawab singkat dari bapak.
Setelah sekitar 2 jam mereka berunding, akhirnya diputuskan hari pernikahan kami. Setelah itu mereka pun pamitan untuk pulang. Setelah mereka pulang kami bertiga masih tidak percaya. Emak dan Bapak terlihat seperti orang bingung bercampur bahagia.
Tiba pada hari pernikahan kami. Ku ucapkan qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkur.. haalan. Pertanda Dek Rani telah sah menjadi istriku. Dia mencium tangan ku sebagai rasa penghormatan seorang istri dan ku kecup keningnya sebagai rasa kasih sayang seorang suami. Setelah acara ijab Kabul usai, berganti pada acara resepsi pernikahan dirumahku. Teman sekolah ku tampak hadir di barisan tamu undangan. Mereka kemudian menyalamiku dan Sebagian mereka menggodaku tentang malam pertama. Tampak wajah istriku yang malu sambil tersenyum menunduk. Menanggapi guyonan temanku aku hanya bisa tersenyum dan sesekali membayangkannya. Ihhh pasti ngeri-ngeri sedap. Hehehe.
Acara demi acara pun telah selesai. Tiba saatnya kami untuk beristirahat. Kami masuk kamar bersama yang telah dihias sedemikian rupa dengan ornamen khas pengantin baru. Rasa deg-degan bergemuruh di hati ini. Ku tatap dek Rani yang sedari tadi duduk di sampingku. Dengan ragu, ku mulai percakan untuk memecah keheningan. Ku bertanya mengapa dia mau menikkah dengan ku. Dia menjawab dengan suara yang sangat halus yang menggetarkan jantungku. Setelah lama kami mengobrol tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. “Dek” sapa ku “iya dalem mas” jawab rani dengan suara halusnya. “emmmm inikan sudah malam, apakah Dek Rani sudah siap?” tanyaku sambil senyum-senyum salah tingkah. Sepertinya Dek Rani paham apa yang ku maksudkan. “ sudah mas, tapi….” Jawab Dek Rani. “Tapi Apa dek?” tanyaku penasaran dan tak sabar. “ tapi ayo sholat isya dulu ya mas, habis itu terserah mas mau ngapain adek. Adek sudah siap lahir batin.” Mendengar jawaban istriku aku hanya senyum-senyum malu sambil ku garuk kepalaku yang tidak terasa gatal. Entah mengapa diri ini menjadi tak sabar untuk melakukan ritual sebagai pengantin baru. “ iya dek mas lupa hehehe .”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar