Mak… kulo pamit
Oleh : M.K. Abid
Kamis petang ku langkahkan kakiku berlari secepat kilat. Ku bawa obat yang ku beli di apotek sambil membelah derasnya hujan. Perasaan yang campur aduk karena emak yang sedari kemaren terbaring lemas. Tiba di rumah langsung ku hampiri emak yang tengah berbaring lemas. “Mak ini obatnya.” “Terima kasih nak. Mak sudah nggak kuat lagi. Jaga dirimu baik-baik dan jangan lupa do’akan mak di sana. La ilaaha illallah.” “ Emaakkkk.” Ku goyang-goyangkan tubuh emak sambil tak henti-hentinya ku manangis. Bu Rosma emak angkatku yang merawatku sejak beliau menemukan ku di pembuangan sampah lima belas tahun lalu. Dan kini tinggal ku sendiri sebatang kara tak punya siapa-siapa lagi di dunia.
Hari demi hari ku lalui tanpa sosok yang selama ini membuatku tersenyum. Pagi ini ku langkahkan kakiku menuju ladang peninggalan emak. Ku bawa keranjang, clurit dan ku kenakan topi tani milik emak. Beruntunglah aku dulu sering membantu emak menanam berbagai macam sayuran dan di ajarkan berbagai macam ilmu pertanian. Jadi, bisa ku praktekkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berbagai macam sayuran dan umbi-umbian memenuhi ladang kami. Ku panen sayuran dan umbi jalar serta ketela pohon dan ku jual ke pasar. Dengan mengendarai sepeda astrea peninggalan emak ku susuri jalanan yang remang-remang dengan udara pagi khas pedesaan yang sejuk tak tertandingkan. Sambil sesekali para pedagang berlalu lalang yang memulai aktivitasnya pergi ke pasar.
Sampainya di pasar segera ku turunkan hasil ladangku dan langsung ku bawa ke tengkulak langgananku. “Ini Ko uangnya tigaratus ribu dan ini uang yang kemaren limaratus ribu.” “Nggeh pak maturnuwun.” Di pasar tak lupa ku beli sarapan pagi. Biasanya aku membeli dua bungkus nasi jagung lengkap dengan lauk dan sambalnya. Tetapi kini hanya satu bungkus yang ku beli. Setibanya di rumah berbegas ku bersihkan diriku dan bersiap untuk pergi ke sekolah. Sambil menikmati sarapan nasi jagung dan secangkir kopi sesekali ku teringat kenangan bersama emak. Tak jarang air mata menetes dengan sendirinya. Setelah sarapan segera ku kenakan sepatu dan pergi ke sekolahan yang tak jauh dari rumah. Sepuluh menit ku lalui pematang sawah dan sesekali menyebrang sungai akhirnya sampai juga di sekolah.
Hari demi hari ku lalui. Tak kusangka perputaran waktu telah membawaku ke bangku kelas akhir tingkat MA. Satu minggu lagi ujian nasional. Para siswa-siswi sedang sibuk dan asyik belajar untuk perispan ujian. Sambil ku lalui lorong pinggir kelas tak sengaja mata ini melihat pengumuman beasiswa perkuliahan. Ku baca dengan seksama dan ada rasa tertarik untuk mengikutinya. Di rumah tak hentinya aku memikirkan beasiswa tadi. Gejolak hati bercampur aduk dengan keruwetan yang ada di kepala. “Atau aku tanya Pak Kiyai Romli saja ya? Okelah sehabis mengaji nanti ku tanyakan.” Seperti biasa sehabis salat asar kegiatan di ladang ku lanjutkan. Sore ini jadwalnya menanam kangkung dan sawi. Ku bungkukkan tubuhku dan mulai menanam. Sambil bersalawat ria ku tanam biji kangkung dan sawi. Tak terasa matahari sudah hampir tenggelam dengan sempurna. Ku sudahi cocok tanam sore ini dengan mengucap syukur pada Allah SWT. Segera ku kemasi perkakasku dan kembali pulang.
Sebentar lagi waktu maghrib akan tiba. Ku langkahkan kaki ini menuju surau kecil terbuat dari bambu milik Pak Kiyai Romli. Guru ngajiku sejak kecil dulu. Ku kumandangkan azan dan setelahnya ku senandungkan salawat untuk menunggu orang-orang datang. “komat-komat cung!”. Salat jaamah pun telah usai. Ku baca Al-qur’an dan di simak oleh Pak Kiyai Romli. Sesekali ku salah dalam membaca. Dan tentunya beliau dengan sigap membetulkan. “kurang dowo cung, iki wacanan mad wajib muttasil.” Suasana mengaji terasa sangat khusu. Usai mengaji segera ku tanyakan kegundahan hatiku pada beliau. Belum ku mulai pembicaraan beliau sudah tahu bahwa ada masalah pada diriku. Maklum sejak dulu aku sering bercerita tentang persoalan yang belum aku ketahui atau sekedar curhat. Wajah keriput tetapi tetap sejuk bagi mata untuk menatapnya dengan senyuman khas yang membuat diri ini betah untuk berlama-lama mengobrol. “Ono opo cung? Katone kok ono masalah?” Tanya beliau memulai pembicaraan. Dengan jujur ku sampaikan kegundahan hati ini. “Anu Pak Yai teng sekolahan wonten beasiswa kuliah, tapi kuliah e teng kota. Kulo ajeng daftar tapi kulo minder. Terus kedah pripun niki?” “Daftar cung sopo ngerti bejomu ono nang kuto.” Jawab beliau sambil memberikan nasihat. Setelah pembicaraan kami selesai dilanjutkan salat isya berjamaah. Ku kecup tangan beliau dan pamit pulang.
Keesokan harinya seperti biasa kulangkahnkan kaki menuju ladang dan pergi ke pasar. Hari ini adalah hari jumat. Pembelajaran di sekolah libur. Jadi agak sedikit santai saat di pasar. Sejenak ku mengobrol dengan pedagang penjual nasi jagung langgananku. Hanya sekedar bercerita dan bercanda ria. Setelah dari pasar aku tak langsung pulang. Aku pergi ziarah ke makam emak. Di atas pusaranya ku panjatkan do’a dan bercerita tentang kehidupan ku ini. Tak terasa air mata ini mengalir dengan derasnya.
Hari ujian telah tiba. Tes beasiswa pun juga telah ku ikuti. Ku isi lembar ujian nasional dengan sangat hati-hati. Ku jawab soal demi soal dengan serius. Bel berbunyi. Pertanda ujian telah usai. Ku regangkan tubuhku karena capek dua jam hanya duduk dan menguras pikiran. Sambil menunggu ujian selanjutnya ku putuskan beristirahat di kantin bersama teman-teman. Sambil ngobrol asik dan bercanda ria kami menikmati makanan dan minuman yang kami pesan. Jam ujian kedua telah berbunyi. Kami pun segera beranjak menuju kelas.
Satu minggu setelahnya ku masuki gerbang madrasah. Pak satpam memberiku selamat. Entah mengapa beliau memberiku selamat. Teman-teman ku pun sama. Sepanjang jalan menuju kelas mereka menjabat tangan ku dan memberikan selamat. Aku hanya berterima kasih sambil bingung dengan sikap mereka. Setibanya di kelas aku bertanya pada Arman, sahabatku. ”Ada apa Man mengapa semua orang mengucapkan selamat kepadaku?” Dia hanya nyengir dan berkata “Coba saja lihat di papan pengumuman.” Ku berlari menuju papan pengumuman. Ku cermati tulisan di atas kertas tersebut. Dengan terkejut ku lihat nama Joko Susanto ada dalam daftar nama yang lolos beasiswa. Ku sujudkan diri ini ke lantai seraya bersukur pada Allah SWT. Arman yang sedari tadi melihatku dari kejauhan langsung menghampiriku dan membangunkan ku dari sujudku. Ku rangkul erat tubuhnya dengan air mata kebahagiaan.
Setelah wisuda kelulusan ku siapkan barang-barang untuk pergi ke kota melanjutkan pendidikan. Ladang sudah ku titipkan pada orang tua Arman untuk digarap. Sebelum berangkat ku sempatkan berpamitan pada Pak Kiyai Romli dan memohon do’a restu dari beliau. “Ati-ati cung nang kuto. Mugo-mugo sukses.” “Inggih Yai, matur nuwun.” Sambil ku kecup tangan beliau. Tak lupa ku pamitan pada emak yang kini hanya nisannya saja yang ku ajak bicara.”Mak kulo pamit kesah sekolah teng kuto. Mugi pinaringan sukses lan lancar sedoyonipun.” Ku kecup nisan emak dan setelah itu ku panjatkan do’a. Sebelum aku meninggalkan pusara emak ku rangkul pusara emak sebagai salam perpisahan.
Ku naiki bus untuk pergi ke kota. Perjalanan dua jam membuat ku lelah dan ketiduran. “Mas sudah sampai, silahkan turun!” seru kondektur bus yang membangunkanku. Turun dari bus ku tatap wajah perkotaan dengan penuh harap. Setelah itu, segera kulangkahkan kaki mencari kos-kosan untuk ku tempati.
Di kota, hari-hari ku diwarnai dengan dunia perkuliahan. Teman-teman baru, linkungan baru dan tentunya suasana baru. Pagi hari ku langkahkan kaki ku menuju ruang kelas sebuah kampus ternama di kota untuk belajar. Malam harinya ku gerakkan tubuh ini untuk mencari tambahan uang dengan bekerja di sebuah kafe sebagai pelayan. Capek? sudah pasti. Tapi mau bagaimana lagi uang beasiswa dan hasil ladang dari kampung ternyata tidak cukup untuk biaya hidup di kota. Selepas dari kampus ku istirahatkan sejenak tubuhku di kasur lantai kosanku. Setelah itu langsung ku kerjakan tugas kuliah karena malam harinya aku harus bekerja.
Empat tahun sudah ku geluti dunia perkuliahan. Aku lulus menjadi lulusan terbaik sarjana manajemen bisnis. Aku berhasil mendapatkan beasiswa S2 di Amerika karena menjadi lulusan terbaik. Aku kembali ke kampung halamanku untuk berziarah ke makam emak yang empat tahun terakhir ini tidak pernah aku kunjungi. Sebelum itu, ku sempatkan berkunjung ke rumah Pak Kiyai Romli untuk berpamitan. Terlihat raut wajah senang saat ku beri tahu soal beasiswa S2 ku. Beliau berpesan dan mendoakan ku. Setelah itu, ku kecup tangan beliau dan pamit undur diri. Tak lupa ku kunjungi rumah sahabatku, Arman. Terlihat raut wajah yang gembira bercampr bangga. Begitu pula dengan orang tuanya. Ku pasrahkan kembali ladang dan rumah peninggalan emak untuk dirawat oleh mereka.
Di pusara emak ku panjatkan do’a. ku kenang kembali masa-masa bahagia kami dulu. Emak yang selalu tersenyum walaupun beribu masalah beliau hadapi. Sambil ku peluk erat pusara beliau seakan-akan ku peluk erat tubuh beliau. Air mata yang sedari tadi ingin jatuh, kini terjun bebas membasahi pipi. “Mas maaf, sebentar lagi pesawatnya berangkat. Takut nanti terlambat. Belum lagi perjalanan dari kampung ke kota memakan banyak waktu.” Ucap Mas Adi, sopir mobil yang ku sewa dari kota. “Baik Mas, tunggu sebentar lagi.” Dan kedua kalinya aku berpamitan pada emak “Mak kulo pamit, assalamualakum.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar