Sabtu, 04 Desember 2021

Rauna dan Diba

 RAUNA DAN DIBA

Oleh: Munif Akhsan


Gambar ilustrasi: Google

Sudah dua bulan berlalu sejak kedatangan Belanda di negeri mereka. Diba dan Rauna adalah sepasang kekasih yang berjuang untuk merebut kembali tanah mereka. Beserta pengikut kecilnya mereka berusaha mengusir Belanda.

“Nanti malam saya akan menyabotase gudang senjata di Tapah Sari. Saya butuh sembilan orang untuk menemani saya. Sisanya tetap berjaga- jaga di bukit. Siapa yang bersedia?” tanya Panglima Diba. Beberapa tangan terangkat menyatakan kesediaannya.

“Bang, apo idak urungkan sajo niat abang malam ko. Raso hati awak dak nyaman. Takut terjadi apo-apo.” Rauna membujuk Diba untuk tidak keluar malam ini, walaupun dia tahu percuma saja membujuk Diba yang teguh hatinya.

“Dak apo Dik. Galonyo lah ado yang mengatur, lah ado yang Kuaso. Allah tuhan kito Maha Tahu, dak perlu risau. Abang selamonyo tetap akan mencintai kau”, ucap Diba sembari mengelus rambut Rauna yang tidur di pangkuannya lalu mencium kening Rauna. Diba selalu tahu kelemahan istrinya itu supaya diam dan tenang.

Diba teringat dua bulan lalu saat dia dan Rauna menikah, tamu tak diundang datang. Bukan untuk memberi selamat dan doa, melainkan merusak acara perkawinan mereka. Belanda datang merampas semua pangan dan hasil bumi. Tak sedikit yang melawan nyawanya melayang, termasuk orang tua dan mertua Diba. Diba dan Rauna berhasil melarikan diri dan bersembunyi di Bukit Harapan. Malam yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan dan tawa, malah penuh dengan kesedihan dan lara.

***

Tengah malam, pasukan itu mendekat ke gudang senjata. Tetapi ada yang aneh, gudang senjata itu sepi tak ada seorangpun yang menjaga. Tak ada  juga mobil patroli yang biasa terparkir di bawah beringin. Diba mengendap-endap sendiri dengan bambu runcing teracung siaga. Pintu berderik saat dia dorong. Kosong. Ruangan itu kosong tak ada senjata satupun di sana. Tiba-tiba.

Dor. Dor. Dor. Dor. Dor. Dor. Dor. Dor.

Terdengar bunyi letusan senapan di luar. Diba berlari keluar saat seluruh senapan mengarah padanya. Semua teman- temannya telah meninggal dan di seret di halaman gudang.

“Panglima Diba. Maaf telah membuatmu terkejut. Gara-gara ulahmu akhir-akhir ini, kami mengalami kerugian. Saya akui kamu memang benar-benar licin untuk di tangkap”,ucap seorang Belanda.

“Oh ya. Alangkah baiknya jika anda mengetahui nama saya sebelum peluru ini menembus kepalamu. Perkenalkan nama saya Van De Moor”, lanjutnya sambil tersenyum licik.

“Pantas saja”, gumam Diba setelah melihat orang yang berdiri di samping Van De Moor.

DOR

***

“Nyai..Nyai...Panglima Diba, Panglima Diba meninggal tertembak Belanda!” teriak Milzam, salah satu anggota pasukan gerilya. Pasukan beranggotakan sepuluh orang itu berencana menyerbu gudang senjata milik Kompeni. Belum teratur napasnya setelah berlari dari lereng bukit  dengan membawa kabar buruk.

“Diba?”tanya perempuan yang dipanggil Nyai. Raut wajahnya tak berubah, tetap terlihat teguh walaupun matanya mulai sembab. Hatinya menangis tatkala mendengar raga kekasihnya tak bisa kembali.

“Semuanya meninggal kecuali saya Nyai. Mulanya Belanda hanya menangkap mereka, tetapi sebab Panglima melawan jadilah mereka ditembak ditempat.”

“Lalu, bagaimana kau bisa selamat sendiri? Mengapa kau tinggalkan teman-temanmu?”

“Hmm.... Malam itu saya terpisah dengan mereka. Ketika saya kembali, mayat mereka telah bergeletakan di depan gudang senjata. Maaf Nyai.”

“Kumpulkan semua anggota kita di sini, Milzam!” Milzam mengangguk lalu beranjak melaksanakan instruksi Rauna.

“Seperti kita ketahui bahwa ketua kita, Panglima Diba dan pasukan gerilya gugur tadi malam. Oleh karena itu, kepemimpinan gerakan ini saya ambil alih. Saya Rauna Putri Alam bersumpah akan meneruskan perjuangan Panglima Diba, mengusir Belanda dari tanah kita. Gugurnya satu bunga akan menumbuhkan seribu lainnya. Hidup ini tidak lepas dari namanya perjuangan. Jangan menyerah, ayo kerahkan kekuatan bersama untuk menunjukkan bahwa marwah kita masih ada dan masih diperhitungkan,” teriak Rauna membangkitkan api semangat yang membara.

“MERDEKA, MERDEKA, MERDEKA!”

***

“Awi, saya ada tugas untukmu,”ucap Rauna pada seorang pengikutnya.

“Apa yang harus saya lakukan, Nyai?”tanya Awi. Awi mengangguk paham  setelah Rauna membisikkan sesuatu padanya.

“Bagaimana Awi?”

“Siap Nyai. Saya akan menjaga kepercayaan anda Nyai”.

Malam tiba, Awi pergi mengintai gudang senjata di Tapah Sari. Benar, dugaan Rauna selama ini bahwa ada pengkhianat dalam gerakan mereka.

“Bagaimana Milzam? Apakah gerakan mereka masih memiliki kekuatan?”,tanya Van De Moor.

“Tanpa Panglima Diba mereka tidak ada apa apanya, Tuan. Besok pagi langsung saja habisi mereka. Tapi Tuan, anda ingatkan perjanjian kita bahwa jangan sampai anda lukai Rauna sedikitpun.”

“Tenang saja, wanita idamanmu itu akan menjadi milikmu. Baiklah kita istirahat dahulu. Besok akan kita bantai tikus-tikus pengganggu”.

Mendengar hal itu, Awi segera melapor pada Rauna di Bukit Harapan. Rauna yang sudah menduga langsung mengerahkan kekuatan untuk menggempur gudang senjata tersebut. Di gudang senjata para tentara Belanda dan Milzam sedang tidur. Keadaan ini dimanfaatkan untuk melucuti senjata Belanda. Satu persatu tentara Belanda di ringkus hingga tersisa Van De Moor, dua orang bawahannya dan Milzam yang kaget bukan kepalang. Dua puluh senapan mengarah kepada mereka berempat.

Dor. Dor. Dor

Van De Moor dan dua bawahannya mati tepat saat mereka akan berbicara. Milzam mengangkat tangan ketakutan di hadapan Rauna yang menatapnya.

“Bicaralah! Mengapa kau tega, ha?”teriak Rauna.

“Am. Ampun Rauna. Aku sebenarnya hanya cemburu pada Diba, dari kecil saya menyukaimu. Tapi kau malah menikah pada Diba.”

“Alasan seperti masih kau ucap kan. Andai kau tahu Milzam. Aku dahulu menunggumu untuk melamarku. Kau tak datang-datang hingga Diba melamarku. Dan kini seenaknya kau bicara begitu, kau renggut sandaran hidupku, berharap aku menjadi milikmu. Omong kosong,”ucap Rauna sembari menarik pelatuk senapannya.

Dor

(Salatiga,01 Desember 2021)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar